ulasan
Review Novel Malice dan Yellowface: Kebenaran di Balik Dunia Penerbitan

Yoursay.id - Baru kali ini saya merasakan ketidaknyamanan yang ketara. Saya membaca Malice sekitar 3 tahun yang lalu, dan baru-baru ini menamatkan Yellowface.
Sudah cukup lama saya mengagumi gaya penulisan dan ide-ide brilian yang Keigo Higashino tuangkan dalam buku-bukunya. Oleh karena itu, ketika teman saya merekomendasikan Yellowface dengan iming-iming: "Ini mirip seperti Malice." tentu saja saya langsung tertarik dan lekas membuat antrean peminjaman buku Yellowface.
Kedua buku itu ditulis oleh penulis berbeda, dengan asal negara dan gaya penulisan yang juga tidak sama. Malice ditulis oleh Keigo Higashino dan diterbitkan ke bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2020. Sementara itu, Yellowface ditulis oleh R. F. Kuang dan diterbitkan ke bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2023.
Secara garis besar, Malice dan Yellowface sama-sama mengangkat isu yang berpusat pada dunia penerbitan. Lebih tepatnya, dunia penerbitan yang secara gamblang melibatkan penulis. Kedua buku ini sama-sama mengungkap kebusukan di balik penulisan naskah dan penerbitan buku.
Saya selalu melihat dunia penerbitan sebagai sebuah tempat yang sakral. Tempat di mana buku-buku disunting demi mencapai kesempurnaan sebelum dicetak dan sampai ke tangan pembaca. Namun, membaca Malice dan Yellowface membuat saya menyadari bahwa dunia memang benar-benar tidak sehitam-putih itu.
Sinopsis Malice Karya Keigo Higashino
Seorang novelis terkenal, Hidaka Kunihiko, tewas di rumahnya pada malam sebelum dia pindah ke Kanada. Namun, ada kejanggalan, bahwa jasadnya ditemukan di ruang kerja yang terkunci di rumah yang juga dikunci oleh istri dan sahabatnya. Istri dan sahabat Hidaka Kunihiko (Nonoguchi Osamu) punya alibi kuat.
Kasus pembunuhan diselidiki oleh Detektif Kaga. Dari penyelidikan, terungkaplah bahwa hubungan antara Hidaka Kunihiko dengan Nonoguchi Osamu tidak seperti yang diceritakan oleh Nonoguchi Osamu. Pertanyaannya bukanlah siapa atau bagaimana, tetapi kenapa?
Sinopsis Yellowface Karya R. F. Kuang
Mengisahkan tentang June Hayward dan Athena Liu yang sama-sama penulis. Namun, Athena yang merupakan keturunan Asia lebih naik daun namanya dibanding June yang orang kulit putih. Ketika Athena meninggal karena tersedak, June mencuri manuskrip Athena dan mengeklaim sebagai karyanya.
Karya hasil curian itu menerima respons positif dari pihak penerbit, bahkan mereka membuatkan citra baru bagi June: mulai dari menonjolkan nama tengah dan foto ambigu terkait etniknya. Meskipun bukunya sukses besar, June tidak bisa lepas dari bayangan Athena yang seolah menghantui. Dari sinilah June menyadari seberapa jauh dia berani bertindak untuk mempertahankan apa yang menurutnya layak didapatkan.
Usai membaca Malice, saya hanya bisa terdiam memandangi tembok. Kalau dipikir-pikir lagi pun, Malice-lah yang mengenalkan saya pada penulis hebat sekelas Keigo Higashino. Starting off strong by reading Malice benar-benar baru terpikir saat ini.
Kesan campur aduk jadi perasaan yang mendominasi selama saya mencerna tiap kata, kalimat, dan alur cerita. Saya merasa dibawa ke sana-kemari, terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian, yang di ujungnya ada pusaran besar bernama plot twist.
Malice menyadarkan saya bahwa cara terbaik mengobrak-abrik perasaan pembaca adalah dengan membuat perangkap sejelas mungkin. Ketepatan porsi yang sesuai membuat twist menyakitkan mudah sampai kepada pembaca.
"Bagaimana rasanya memercayai seseorang yang salah?" Kurang lebih, itulah yang saya rasakan. Amarah, ketidakpercayaan, dan penyesalan. Semua tercampur aduk jadi satu dalam novel bergenre misteri detektif dengan sedikit bumbu menegangkan.
Berbeda dari Malice, membaca Yellowface seakan melihat dunia berlangsung di depan mata, begitu nyata. Pahit, menyakitkan, menyedihkan, miris, dan entah kata apa lagi yang tepat untuk menggambarkan perasaan saya saat itu.
Satire yang dituangkan (atau mungkin lebih tepatnya ditumpahkan) dalam tiap narasi, monolog, dan dialog membuat saya bertanya-tanya, "Ini betulan karya fiksi?" sebab begitu dekat dengan keadaan di sekeliling kita.
Saya paham benar bahwa fiksi merupakan cerminan dari realitas, tetapi Yellowface seolah menyentuh tempat terdalam pada diri setiap pembaca.
Ketidaknyamanan yang saya rasakan pada tiap halaman dalam Yellowface sama sekali tidak dibuat-buat. Di samping itu, saya sangat mengapresiasi keberanian R. F. Kuang dalam mengeksekusi plotnya.
Yellowface secara gamblang mengeksplorasi tema cultural appropriation, rasisme, metafiksi media sosial, serta kompleksitas dalam dunia literatur. Semua itu merupakan hal baru bagi saya, mungkin dari sinilah bibit ketidaknyamanan muncul dalam hati. Meskipun demikian, Yellowface tetaplah bacaan mengesankan yang tidak saya sesali dalam lamanya menunggu antrean baca.
Jika Malice lebih dekat dengan sisi psikologis manusia, saya rasa Yellowface lebih tepat disebut bersisian dengan empati dalam diri pembaca.
Keduanya punya jalan cerita dan sudut pandang yang berbeda. Namun, baik Malice maupun Yellowface sama-sama mengulik dunia penulisan dan penerbitan.
Kalau kamu ingin membaca buku yang mengungkap kebenaran secara perlahan dengan sedikit bumbu menegangkan, Malice sangat cocok dibaca sebagai pengisi waktu luang. Sementara itu, kalau kamu ingin membaca yang berbeda dari Malice, yaitu bermain pada perasaan empati manusia dengan kebenaran gamblang di depan mata, maka Yellowface-lah jawabannya.