kolom
Jadi Ketua RT Bukan Cuma Urusan Bapak-Bapak, Gen Z Siap Pegang Wilayah?

Yoursay.id - Anak muda jadi RT? Emang bisa? Mungkin itu kalimat pertama yang terlontar dari pembicaraan para tetangga. Jabatan Ketua RT yang biasanya diisi oleh bapak-bapak senior penghuni wilayah dengan songkok hitam yang melekat di kepalanya. Tetapi, apa jadinya jika terdapat seorang anak muda yang diragukan karena minim pengalaman hidup menjadi pemimpin kampung?
Di tengah stereotip Gen Z yang kerap dibilang generasi pemalas dan hanya ingin sesuatu serba instan, malah muncul fenomena unik di mana Gen Z mulai mengisi jabatan struktural. Sebuah pemandangan sosial yang tidak seperti biasanya. Di saat anak muda seusia mereka masih sibuk mencari kesenangan, nongkrong tanpa arah bahkan mabuk percintaan, Gen Z muncul sebagai pendobrak kebiasaan sosial lingkungan.
Memang belum terlihat sebagai trend, namun kehadiran Gen Z menjadi pemimpin di tengah warga yang umurnya mungkin sepantaran Bapak mereka sendiri patut diapresiasi. Fenomena ini membuktikan jika ketua RT (Rukun Tetangga) bukan lagi jabatan ekslusif yang diisi hanya untuk kalangan umur tertentu.
Generasi Baru, Pembawa Semangat Baru
Generasi Z atau yang akrab disapa dengan Gen Z merupakan generasi yang tumbuh pada era digital. Masuknya generasi ini kedalam lingkup jabatan lingkungan tentu menarik perhatian tersendiri. Mereka berani untuk memegang tanggung jawab lebih, rasa inisiatif dan peduli akan lingkungan sekitarnya.
Bukan sekedar ikut-ikutan tapi mereka hadir karena ingin mengambil peran dan berkontribusi secara nyata. Stereotip generasi ini dibilang malas sepertinya tidak dapat digunakan lagi setelah fenomena ini muncul. Gen Z yang berani menjadi ketua RT membuktikan bahwa generasi baru ini peka pada lingkungan sekitar dan tidak anti sosial. Mereka seolah-olah membawa semangat baru dengan menekankan rasa partisipatif.
Namun, perjalanan mereka mungkin tidak selalu berjalan mulus. Tantangan selalu ada, gaya kepemimpinan baru yang mereka usung mungkin membuat warga tidak bisa langsung menerimanya. Jika sebelumnya ketua RT diisi oleh warga senior dengan gaya kepemimpinan berbeda, mungkin butuh waktu lama bagi mereka untuk menerima gaya kepemimpinan Gen Z ini. Tetapi semangat baru yang mereka tunjukkan membawa arah positif untuk menyegarkan bukan menggantikan.
Perbedaan Nilai dan Pandangan Antar Generasi
Memang terdapat tantangan besar menjadi pemimpin muda di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas berusia jauh di atasnya. Mungkin sebagian warga terutama yang lebih tua merasa kurang percaya dan cenderung meragukan kapasitas anak muda terlebih Gen Z sebagai ketua RT. Anggapan bahwa mereka masih anak-anak, belum cukup sabar menghadapi keluhan warga hingga kurang memiliki pemahaman mendalam atas adat dan istiadat lokal.
Jabatan dalam kepemimpinan yang biasanya dipandang sebagai posisi yang harus dihormati, dapat cenderung lebih fleksibel di mata Gen Z. Melalui perspektif ini pemimpin yang layak adalah seseorang yang diistilahkan sudah kenyang makan “asam garam” dunia, bukan sekedar membawa semangat baru. Sehingga tidak dapat dipungkiri ketika anak muda masuk pada jabatan struktural RT dengan gaya yang lebih fleksibel dan cair akan membuat warga senior lain merasa ragu ataupun canggung.
Menjadi Pemimpin Tak Harus Tunggu Tua
Gen Z menjadi ketua RT tidak pantas dibilang sebagai ancaman, tetapi sebuah potensi besar. Di tengah dunia yang bergerak begitu cepat, pemimpin dari generasi yang adaptif terhadap perubahan menjadi alternatif penggerak lingkungan.
Meski masih berumur sebiji jagung, umur bukanlah menjadi tolak ukur layak tidaknya sebagai seorang pemimpin. Ada parameter lain yang tidak boleh terlewatkan seperti kemauan mereka untuk mendengarkan dan belajar daripada pendahulunya. Tidak ada salahnya memberi ruang lebih bagi anak muda untuk memimpin dan berkontribusi nyata pada lingkungan sendiri.
Kerjasama Lintas Generasi Menjadi Kunci
Kesuksesan wilayah bukan hanya berkat satu generasi saja yang tampil di muka umum. Gotong royong dan kerjasama lintas generasi menjadikan kepemimpinan warga lebih kuat. Gen Z yang adaptif terhadap perubahan dapat berkolaborasi dengan orang tua yang memberi arahan dan berbagi pengalaman. Dari situ tercipta pondasi akar rumput yang membawa dampak nyata.
Gen Z memang belum memiliki pengalaman panjang dibanding generasi pendahulunya. Tetapi mereka membawa semangat dan perspektif baru dengan kemauan mendengar, terbuka terhadap masukan dan adaptif pada perubahan. Pada akhirnya ini bukanlah soal siapa yang menjadi pemimpin, tetapi bagaimana saling mendukung.
Mungkin sudah waktunya kalimat “anak muda memangnya bisa apa?” berhenti untuk diucapkan. Memberi kepercayaan dan ruang bagi Gen Z pada ruang-ruang kecil seperti ketua RT bisa menjadi awal dari perubahan besar.