kolom
Wacana Ibu Rumah Tangga Produktif Diabaikan dalam Narasi Ekonomi RI?

Yoursay.id - Dalam setiap pidato pembangunan dan laporan pertumbuhan ekonomi yang sering disebut adalah kontribusi sektor industri, teknologi, dan UMKM. Namun, ada satu kelompok besar yang nyaris tak pernah masuk dalam angka dan narasi resmi: ibu rumah tangga. Padahal, peran mereka dalam menopang ekonomi keluarga dan pada skala yang lebih besar ekonomi negara jauh dari kata tidak produktif.
Ibu rumah tangga dianggap “tidak bekerja” karena tidak menghasilkan gaji tetap atau tidak tercatat dalam data ketenagakerjaan formal. Padahal, mereka menjalankan fungsi logistik, finansial, manajerial, hingga emosional dalam rumah tangga. Mulai dari mengatur pengeluaran harian, mengelola konsumsi, memastikan gizi anak, hingga merawat lansia semua ini dilakukan tanpa jam kerja yang pasti dan tanpa upah.
Menurut laporan BPS (2024), lebih dari 49% perempuan usia kerja di Indonesia tercatat sebagai “tidak aktif secara ekonomi” karena memilih menjadi ibu rumah tangga. Istilah “tidak aktif” itu sendiri bermasalah. Ia menghapus fakta bahwa banyak dari mereka menjalankan usaha kecil berbasis rumah menjadi reseller daring menjahit pesanan membuka jasa katering rumahan atau mengelola komunitas arisan dan keuangan informal. Semua aktivitas itu menghasilkan nilai ekonomi nyata, tapi kerap dilabeli sebagai “sekadar aktivitas tambahan”.
Ketimpangan ini berakar dari cara kita memahami kata “produksi”. Selama produktivitas hanya dihitung dari nilai tambah industri atau jasa formal, maka kerja domestik akan selalu dianggap invisibel. Padahal, jika fungsi domestik ini tidak dilakukan maka produktivitas anggota rumah tangga lainnya bisa terganggu secara signifikan. Seorang ayah mungkin tidak bisa berangkat kerja tepat waktu tanpa bantuan pengasuhan di rumah dan anak-anak tidak bisa tumbuh optimal tanpa dukungan emosional yang konsisten dari orang tua.
Negara seharusnya tidak hanya menghitung angka PDB, tetapi juga menakar nilai kerja-kerja reproduktif yang menopang struktur ekonomi secara tidak langsung. Di negara-negara seperti Kanada dan Selandia Baru, kebijakan penghitungan "unpaid care work" sudah mulai diintegrasikan ke dalam statistik nasional. Hal ini memungkinkan kebijakan sosial, seperti tunjangan pengasuhan atau insentif kerja fleksibel, dibuat lebih tepat sasaran.
Sayangnya, di Indonesia penghargaan terhadap kerja domestik masih bersifat simbolis. Hari Ibu dirayakan dengan upacara atau potong tumpeng, tapi kebijakan struktural yang memberi pengakuan atas peran nyata ibu rumah tangga masih jauh panggang dari api. Bahkan, dalam kampanye politik sekalipun narasi pemberdayaan perempuan masih terbatas pada partisipasi kerja formal, seolah ibu yang memilih tinggal di rumah belum benar-benar “berkontribusi”.
Sudah saatnya negara tidak hanya menghitung apa yang bisa dikenai pajak, tetapi juga memperhitungkan kerja-kerja domestik yang menopang sistem ekonomi berjalan. Ibu rumah tangga tidak sedang menganggur mereka justru bekerja sepanjang waktu, tanpa hari libur, tanpa tunjangan, dan tanpa pengakuan formal. Mereka hanya tidak disebut tidak dihitung dan tidak dihargai sebagaimana mestinya dalam sistem ekonomi nasional yang masih bias terhadap kerja berbayar.
Menurut laporan Bank Dunia bertajuk “Women, Work, and Unpaid Labor in Southeast Asia” (2025), perempuan Indonesia menghabiskan rata-rata 6,7 jam per hari untuk pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan tanpa bayaran angka tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Filipina. Angka ini dua kali lipat dari waktu yang dihabiskan laki-laki. Namun, seluruh beban kerja itu tidak tercermin dalam indikator ekonomi makro seperti Produk Domestik Bruto (PDB) ataupun anggaran sosial pemerintah.
Yang lebih mengkhawatirkan, kerja tak berbayar ini kerap dianggap sebagai “pilihan pribadi”, bukan sebagai bagian dari kontribusi struktural terhadap keberlangsungan ekonomi masyarakat. Padahal, jika seluruh kerja domestik dihentikan satu hari saja, dampaknya akan sangat terasa: anak tidak diantar ke sekolah, lansia tidak diurus, makanan tidak disiapkan, emosi keluarga tidak dikelola. Kerja ini memang tidak menghasilkan profit, tapi ia menopang produktivitas seluruh rumah tangga, termasuk mereka yang tercatat secara formal sebagai “pekerja aktif”.
Di beberapa negara seperti Australia dan Kanada, nilai kerja rumah tangga bahkan dimasukkan ke dalam estimasi pendapatan domestik melalui pendekatan satelit akun nasional. Di Indonesia, belum ada regulasi yang secara eksplisit mencatat atau mengonversi nilai kerja ibu rumah tangga ke dalam pengukuran ekonomi. Padahal, jika dihitung secara konservatif, total nilai ekonomi dari kerja domestik perempuan Indonesia mencapai hampir Rp3.800 triliun per tahun setara dengan lebih dari 20 persen PDB nasional tahun 2024 (Bappenas, 2025).
Angka-angka ini seharusnya cukup untuk membantah anggapan lama bahwa ibu rumah tangga tidak berkontribusi secara ekonomi. Justru merekalah yang selama ini menopang struktur sosial dan stabilitas rumah tangga, yang menjadi fondasi dari pasar tenaga kerja formal itu sendiri. Masalahnya, negara hanya menghitung yang bisa dilaporkan dan dipajaki. Sementara yang dilakukan diam-diam, setiap hari, di dalam rumah dianggap tak pernah ada.