ulasan
Novel Before the Coffee Gets Cold: Perjalanan Waktu Lewat Secangkir Kopi

Yoursay.id - Before the Coffee Gets Cold adalah novel debut karya Toshikazu Kawaguchi yang menghadirkan sebuah konsep waktu yang unik dan memikat, dengan balutan nuansa khas Jepang yang tenang namun emosional.
Di sebuah kafe kecil dan tua yang terletak di sudut gang Tokyo, tersembunyi sebuah rahasia besar. Ternyata, ada suatu cara di sana yang dilakukan untuk melakukan perjalanan ke masa lalu. Namun, tentu semua itu ada batasnya.
Kafe itu tak pernah berubah sejak beberapa dekade lalu. Para pelanggannya pun terkesan biasa saja. Tapi mereka tahu, jika seseorang memesan kopi tertentu, dan duduk di kursi tertentu, maka mereka bisa kembali ke masa lalu.
Namun, ada satu hal penting yang harus diperhatikan. Pelanggan hanya bisa kembali ke masa lalu sampai kopi yang dipesan menjadi dingin. Setelah itu, mereka akan kembali ke masa kini.
Dari premisnya saja, sudah terdengar menarik, bukan? Memang, ide cerita yang ditawarkan Kawaguchi terasa segar, meskipun tetap menyimpan nuansa melankolis yang akrab ditemukan dalam karya-karya sastra Jepang.
Konsep ini menurut saya cukup menarik. Kalian seperti diajak berpikir. Jika memiliki kesempatan untuk kembali ke masa lalu, apa yang akan kalian lakukan?
Ada empat cerita dalam novel ini dengan karakter yang berbeda-beda. Semua kisah tersebut memiliki satu benang merah yang kuat, yaitu perempuan. Meski begitu, setiap ceritanya memiliki alur cerita yang berbeda.
Ada seorang wanita cerdas yang ditinggalkan suaminya, perempuan yang sabar merawat suaminya yang sakit, seorang kakak yang kehilangan adiknya, hingga ibu yang harus melahirkan anaknya sendirian.
Keempat cerita ini memberikan warna yang berbeda, tapi semuanya disampaikan dengan nada lembut dan reflektif. Cerita-ceritanya tidak dramatis secara berlebihan, namun justru di situlah kekuatannya: pada kesederhanaan yang menyimpan emosi dalam.
Namun, harus diakui, dari segi penyampaian cerita, novel ini terkadang terasa agak kaku. Alur ceritanya terasa sedikit lambat, bahkan terkesan datar di beberapa bagian. Mungkin ini dipengaruhi oleh gaya terjemahan yang tidak sepenuhnya menangkap kehangatan dan kehalusan nuansa bahasa aslinya.
Beberapa bagian juga terasa repetitif dan agak kurang hidup, sehingga pembaca harus sedikit bersabar untuk bisa sepenuhnya tenggelam dalam dunia yang dibangun Kawaguchi.
Tema yang diangkat sebenarnya bukan sesuatu yang benar-benar baru. Sudah cukup banyak novel Jepang yang mengisahkan seseorang yang datang ke tempat tertentu, entah itu restoran, perpustakaan, atau kafe, dan menemukan pencerahan atau solusi atas permasalahannya.
Pola semacam ini cukup familiar, sehingga bagi pembaca yang sudah sering menjelajahi fiksi Jepang, Before the Coffee Gets Cold mungkin terasa sedikit bisa ditebak.
Namun demikian, buku ini tetap memiliki pesona tersendiri. Keempat cerita tersebut terasa seperti memiliki benang yang membuatnya saling menyatu.
Fokus pada tokoh-tokoh perempuan memberi lapisan emosi yang lebih kaya, yang membuat kisah-kisah ini terasa lebih dekat dan menyentuh. Beberapa momen bahkan bisa bikin kita tersenyum simpul, atau diam-diam merasa haru tanpa disadari.
Before the Coffee Gets Cold sendiri bukanlah tipe novel yang mengandalkan kejutan atau alur yang menegangkan. Sebaliknya, buku ini lebih seperti obrolan lembut di sore hari yang tenang, pelan, tapi penuh makna.
Ia berjalan pelan, namun menyajikan pertanyaan-pertanyaan penting tentang penyesalan, penerimaan, dan hubungan antarmanusia.
Jika kamu mencari kisah perjalanan waktu yang penuh aksi dan plot twist, mungkin ini bukan untukmu. Tapi jika kamu ingin menikmati cerita yang lembut, penuh makna, dan menyentuh sisi-sisi emosional yang tersembunyi, maka secangkir kopi ini layak kamu nikmati, sebelum dingin, tentu saja.