Ulasan
Ulasan Novel Terusir: Diskriminasi Wanita dari Kacamata Budaya dan Sosial

Yoursay.id - Dalam sepak terjang kariernya sebagai sastrawan, Hamka atau yang dikenal juga sebagai Buya Hamka tidak pernah ragu menyuarakan isu tentang perempuan dari kacamata sosial dan budaya. Tulisannya mampu menyihir pembaca, sekaligus membuka kesadaran terhadap isu sosial yang begitu kompleks ini. Salah satu novel karya Hamka yang mengangkat topik tersebut adalah Terusir.
Pertama kali ditulis pada tahun 1963, novel Terusir bisa dibilang sebagai sastra klasik yang visioner. Gagasan tentang posisi perempuan dalam kelas sosial yang dibahas masih terasa relevan hingga sekarang. Di samping itu, lewat narasi-narasi yang disusun ciamik, Hamka juga seolah ingin membagikan pandangannya terhadap sejumlah polemik sosial budaya dan perdebatan batin individu secara umum.
Novel ini mengisahkan perjalanan hidup Mariah, yang digambarkan sebagai seorang wanita berbudi luhur dan berperilaku terpuji. Pernikahannya dengan Azhar yang berasal dari keluarga terpandang rupanya menjadi awal petaka dalam hidup Mariah. Semua permasalahan hidup Maria lantas bermula dari difitnah terhadap dirinya yang disebut-sebut bermain api di belakang sang suami.
Merasa sakit hati, Azhar langsung tutup mata dan tidak mau mendengar penjelasan istrinya. Ia mengusir Mariah dan melarang wanita itu pergi membawa anak mereka, Sofyan. Sejak peristiwa malang itu, Mariah keluar dari rumahnya dan hidup seorang diri tak tentu arah.
Beberapa kali Mariah berpindah tempat tinggal. Sampai akhirnya ia mendapat pekerjaan sebagai pembantu di rumah orang Belanda. Selama bertahun-tahun pula Mariah bisa hidup dari penghasilannya sebagai pembantu. Akan tetapi, pekerjaannya berakhir saat tuannya memutuskan pulang ke Belanda. Pada momen inilah, ia akhirnya menikah lagi dengan rekan kerjanya saat masih jadi pembantu dulu.
Sayangnya, malang tidak bisa terbendung karena untuk kesekian kali Mariah mendapat kesialan lagi. Suaminya yang diharapkan bisa menjadi sosok pelindung, justru bersikap kasar dan suka berfoya-foya sehingga harta hasil ia bekerja dulu habis digunakan sang suami. Sejak peristiwa itu juga, hidup Mariah berubah menjadi tragedi. Ia akhirnya terjerumus dalam kehidupan malam yang liar yang mendorongnya untuk mengubah identitas diri menjadi Neng Sitti. Ia kemudian dikenal sebagai pelacur yang tersohor pada masanya.
Di awal bab, pembaca akan merasakan sentuhan adat Minangkabau yang cukup kental. Pertentangan adat istiadat inilah yang kemudian menjadi pengantar konflik bagi Mariah dalam kacamata sosial dan budaya. Di samping itu, latar belakang adat pun diabadikan sebagai atribut sampul novel yang turut memperkuat kesan pilu dalam penceritaan nasib Mariah sepanjang cerita nantinya.
Sosok Mariah dalam karangan Hamka mencerminkan nasib perempuan di dunia nyata yang seringkali mendapat perlakuan tidak adil dari masyarakat. Dalam kacamata sosial budaya, latar belakang Mariah yang berasal keluarga biasa saja membuatnya tidak dihargai oleh keluarga suami karena dianggap tidak setara. Meskipun pemikiran tersebut tampak seperti sistem tradisional, tetapi realita di zaman modern kerap menampakkan nasib perempuan yang dilihat sebelah mata hanya karena latar belakang yang tidak terpandang.
Di samping itu, novel ini juga menyoroti isu pelacuran dan menguraikan sebab akibatnya dari sudut pandang yang lebih humanis. Saya menyukai cara Hamka menggambarkan Mariah sebagai tokoh yang memegang teguh value diri dan selalu menghindari pekerjaan di dunia malam. Meski selanjutnya Mariah malah menjadi pelacur, Hamka tetap mempertahankan nilai diri pada sosok Mariah yang sudah menjelma sebagai seorang pekerja seks komersial (PSK).
Novel ini juga memotret kecacatan sistem sosial yang tidak memihak perempuan. Dalam novel diceritakan bahwa Maria terpaksa menjadi PSK karena tidak bisa mendapat pekerjaan yang layak dan berusaha untuk terus bertahap hidup. Realita saat ini pun menunjukkan bahwa banyak perempuan yang tidak bisa mendapat pekerjaan layak sehingga menempuh jalan ninja dan terpaksa bekerja di dunia malam.
Di luar isu yang dibahas, novel ini juga tidak luput dari kepiawaian Hamka dalam bercerita. Tulisannya menggunakan narasi yang terkesan halus, tetapi tetap menohok kala memperlihatkan realita kehidupan yang pahit. Tokoh utama di novel ini didesain memiliki karakter abu-abu karena tidak memperlihatkan kebaikan dan kejahatan secara mutlak, tetapi ada sebab akibat di balik perilakunya dan alasan tersebut terkesan logis.
Meskipun hanya terdiri dari 100-an halaman, konflik dalam novel ini bisa dikupas tuntas dengan apik. Terkadang memang ada kesan kalau penyelesaian perkara yang dialami tokoh dirampungkan dengan singkat, tetapi tidak ada plot hole atau alur yang dipaksakan. Overall, novel ini sangat cocok dijadikan bahan bacaan dengan topik sosial dan feminisme.
Identitas buku
Judul: Terusir
Penulis: Hamka
Penerbit: Gema Insani
Tahun terbit: edisi cetak, 2020
Tebal buku: 142 halaman





