Ulasan
Review Film The Long Walk: Survival Thriller yang Nggak Ada Ampun!

Yoursay.id - Halo, Sobat Yoursay! Kalau kamu lagi nyari film yang bikin kamu duduk gelisah di kursi bioskop, sambil mikir "Aku bisa bertahan nggak ya kalau lagi-lagi jalan terus?" – langsung cus nonton The Long Walk.
Ini adaptasi novel Stephen King yang pertama kali dia tulis di usia 18 tahun (di bawah nama samaran Richard Bachman), dan hasilnya? Gila! Film ini dirilis mulai tanggal 10 September 2025, disutradarai Francis Lawrence – yap benar banget, yang bikin The Hunger Games series itu, jadi kamu bisa bayangin level distopian survival-nya.
Rasanya seperti lari maraton sambil dikejar hantu. Oh iya, ini bukan tentang jalan-jalan santai di mall, tapi trek neraka yang bikin kamu mikir ulang soal privilege dan ketahanan mental. Langsung aja simak ulasannya. Monggo!
Ceritanya sederhana tapi nendang banget. Di Amerika dystopian ala 1970-an yang dikuasai rezim totaliter, ada event tahunan gila bernama The Long Walk.
Lima puluh laki-laki remaja, dipilih dari relawan di seluruh negara bagian, harus jalan kaki non-stop di jalan raya panjang itu.
Aturannya brutal: minimal 3 mil per jam (sekitar 4,8 km/jam), kalau drop di bawah itu, dapat warning dulu (sampai tiga kali), abis itu? Bam! Ditembak mati sama tentara pengawal. Hadiahnya? Uang tunai gede buat pemenang tunggal, plus status seleb nasional.
Tapi ini bukan game show biasa – ini disiarkan live ke seluruh negeri, mirip reality show ala Squid Game tapi versi low-budget, cuma jalan doang.
Protagonisnya, Ray Garraty (diperanin Cooper Hoffman, anaknya Philip Seymour Hoffman yang debutnya langsung ngena), laki-laki biasa yang ikut buat alasan pribadi.
Dia langsung nyambung sama Peter McVries (David Jonsson, aktor Inggris yang chemistry-nya meledak), sahabat baru yang sarkastik tapi setia. Dari situ, aku bisa merasakan mereka ngobrol, berteman, ribut, sambil liat satu per satu walker ambruk – entah karena kram, halusinasi, atau putus asa.
Hal yang bikin film ini berbeda, bukan cuma gore-nya yang bikin mual (aku sampai nutup mata pas adegan tank ngehancurin kaki seseorang), tapi gimana Lawrence ngebangun ketegangan dari hal-hal kecil.
Bayangin: kamu liat para laki-laki ini mulai pagi-pagi, semangat 45, tapi seiring matahari terbenam, badan mulai lemes, pikiran mulai liar.
Ada yang ngomongin mimpi masa depan, ada yang curhat soal keluarga, ada juga yang jadi antagonis seperti Barkovitch yang suka sabotase teman sendiri. Ini mirip banget sama Lord of the Flies versi on foot, atau The Hunger Games tapi tanpa senjata canggih – cuma sepatu compang-camping dan tekad.
Skenario JT Mollner nggak menambahkan elemen sci-fi berlebih, malah fokus ke dialog yang raw dan emosional. Jujur sih aku jadi ikutan capek bareng mereka. Dan Major-nya, diperanin Mark Hamill (ya, Luke Skywalker itu!), jadi villain yang creepy abis – kayak host game show psikopat yang senang lihat darah.
Review Film The Long Walk

Performa cast-nya? Top tier! Cooper Hoffman membawakan nuansa vulnerable yang bikin aku kasihan, tapi juga kuat – mirip ayahnya di Almost Famous.
David Jonsson? Wah, dia yang bikin hatiku hancur; karakternya yang penuh luka tapi tetep bercanda itu relatable banget di era kita yang lagi chaotic.
Supporting cast seperti Garrett Wareing, Charlie Plummer, Ben Wang, sampai Tut Nyuot, semuanya dapat spotlight masing-masing, nggak ada yang cuma jadi korban doang.
Judy Greer sebagai ibunya Ray juga nambah lapisan emosi, nunjukin sisi keluarga di balik kegilaan ini. Secara visual, Jo Willems (DP-nya) pakai shot long take yang bikin aku meerasa ikut jalan, dengan warna pudar ala dystopia yang bikin suasana makin gloomy.
Soundtrack Jeremiah Fraites? Minimalis tapi haunting, seperti langkah kaki yang bergema di kepalaku pas pulang dari bioskop.
Secara keseluruhan, The Long Walk dapet pujian merata dari kritikus. Di Rotten Tomatoes, skornya 91% fresh dari 139 review, dengan audience score 85% – salah satu adaptasi King terbaik sejak The Shawshank Redemption.
Metacritic 80/100, banyak yang bilang ini "riveting" dan "soulful" meski ada kritik soal ending yang predictable atau pacing agak lambat di tengah. Tapi hey, itulah pesona King: nggak selalu happy ending, tapi bikin aku sedikit mikir.
Tema soal persahabatan di tengah represi, rasisme subtle, dan gimana masyarakat nontonin penderitaan orang lain buat hiburan – relevan banget sama kondisi negara kita sekarang, apalagi pas lagi banyak isu politik panas.
Ini bukan film ringan buat weekend santai sih menurutku, ini yang bikin aku keluar bioskop dengan pertanyaan: "Aku rela mati buat apa?"
Nah, di Indonesia sendiri, film ini udah tayang di bioskop sejak 10 September 2025! Ya, lebih cepat dari rilis global di AS yang 12 September.
Jadi, buruan booking tiket di CGV, XXI, atau Cinepolis – Aku saranin nonton malam biar efeknya makin nempel. Kalau kamu fans survival thriller seperti Battle Royale atau The Platform, ini must-watch sih.
Tapi warning: rated R buat kekerasan berdarah, bahasa kasar, dan referensi dewasa, jadi nggak cocok buat yang di bawah 17. Siap jalan? Go watch it, and don't stop walking!