ulasan
Review Film Before We Forget: Menyulam Ingatan yang Nggak Pernah Terucap

Yoursay.id - Ada film-film yang terasa seperti sapuan kuas di atas kanvas ingatan. Rasanya tuh lembut, penuh warna, dan menyimpan detail yang perlahan-lahan bikin kita senyum sendiri.
Nah, Film Before We Forget buatan Juan Pablo Di Pace, mungkin salah satunya. Film ini nggak hanya mengupas persoalan memori dan nostalgia, tapi juga kerinduan dan cinta yang nggak pernah terwujud. Dan lebih dari itu, film ini mengajak kita mencerminkan kembali peristiwa masa lalu dengan semua rasa sesal, tanya, dan ketidaktahuan yang dulu membelenggu.
Disutradarai dan dibintangi langsung sama Juan Pablo Di Pace sebagai Matias bersama Andrés Pepe Estrada (yang juga merangkap co-writer dan editor), Film Before We Forget terasa sangat personal.
Film ini terinspirasi dari kisah nyata dan ingatan Di Pace sendiri, lho. Ya, tentang cinta pertamanya, dan pertanyaan-pertanyaan yang nggak pernah berhenti menghantuinya. Misalnya, “Haruskah aku bilang sesuatu waktu itu? Apa dia merasakan hal yang sama? Akankah aku merasakan rasa sedalam itu lagi?”
Sekilas tentang Film Before We Forget
Film ini rilis 2024 secara terbatas sebelum akhirnya ditayangkan lebih luas lagi pada Juli 2024. Kisahnya tentang Matias si sutradara film yang sedang menyelesaikan proyeknya sendiri, yakni film semi-autobiografi tentang cinta masa lalunya. Di hari terakhir syuting, Matias bersikeras menambahkan satu adegan penting (momen saat karakter yang ‘mewakilinya’ menyentuh wajah orang yang pernah dia cintai.
Namun produsernya, Paulo (Juan Cruz Márquez de la Serna), menolak. Waktu sudah habis, kru sudah letih. Akhirnya, film itu harus selesai tanpa adegan itu.
Ternyata proses editing nggak sesederhana memotong dan menyusun gambar. Bagi Matias, setiap frame membawa arus ingatan yang nggak bisa ditolaknya. “Kupikir dengan mengerjakan ini, kenangannya akan memudar. Tapi ternyata sebaliknya,” ucapnya.
Melalui kilas balik, film dalam film, dan cuplikan home video, kita menyaksikan kembali kisah cinta Matias muda (Santiago Madrussan) dengan Alexander (Oscar Morgan), siswa asal Swedia. Alexander adalah segalanya yang membuat hati remaja Matias bergetar; flamboyan, cerdas, dan terlalu memesona.
Pertemuan mereka dimulai di United World College of the Adriatic,sekolah internasional di Italia. Matias yang pemalu dipaksa tampil di panggung, dan memukau penonton lewat tarian tango. Dari sanalah Alexander menyapanya dengan julukan ‘Fred Astaire’, dan berkata, “Aku harus jadi temanmu.”
Apakah itu sebatas persahabatan? Ataukah ada sesuatu yang lebih? Pertanyaan itu terus menghantui Matias hingga bertahun-tahun kemudian.
Review Film Before We Forget
Asli, kisah bromance macam ini agaknya memang kurang diterima di negara ini, tapi penikmatnya? Jelas ada!
Hal yang membuat film ini begitu menarik terkait bagaimana memadukan realita dan kenangan. Sang sutradara menghadirkan masa lalu bukan hanya lewat flashback, tapi juga lewat ‘film dalam film’, dan video dokumentasi dari Paulo.
Aku pun diajak menyaksikan kembali momen liburan Natal saat Matias remaja mengunjungi rumah Alexander di Swedia. Di sana, dia disambut hangat keluarga Alexander, termasuk adik perempuannya, Kathrine (Julia Bender), yang menaruh hati pada Matias.
Eh, Alexander tiba-tiba jadi dingin. Apakah karena cemburu? Atau karena beban yang dia pikul diam-diam, menjelang keberangkatannya ke sekolah militer? Aku dibuat kepo deh.
Seiring durasi bergulir, aku pun menikmati laju kisahnya. Kini ke lompatan dua dekade berselang. Kathrine dewasa (Krista Kosonen) mengundang Matias ke pernikahannya, sebuah kesempatan untuk bertemu kembali dengan Alexander setelah semua tahun-tahun yang berlalu.
Dan lagi-lagi, setiap momennya bikin diriku senyum-senyum.
Asli deh, nonton Film Before We Forget kayak lagi membaca surat lama yang pernah ditulis tapi nggak pernah dikirim. Rasanya pribadi, dekat, menyayat tapi juga hangat. Juan Pablo Di Pace memerankan Matias dengan lembut dan humor natural yang menyeimbangkan beratnya tema. Ya, aku bisa merasakan kebingungan Matias dewasa yang masih mencoba memetakan ulang perasaannya sendiri.
Oscar Morgan tampil oke sebagai Alexander muda, dengan aura misteriusnya yang membuat Matias (dan diriku) terus bertanya-tanya.
Ada juga permainan visual yang subtil tapi penuh makna. Misalnya, scene undangan dari Alexander dan Kathrine ditulis di kertas yang sama, rumah keluarga yang tetap sama seperti dua dekade lalu, dan Matias selalu naik van yang identik di masa lalu dan masa kini. Detail-detail ini mempertegas bahwa waktu bisa berubah, tapi perasaan masih sama.
Film ini sejujurnya agak tergesa-gesa di bagian akhir. Mungkin disengaja, tapi ‘Before We Forget’ berhasil menyuguhkan penutup yang puitis terkait momen imajinatif ketika Matias akhirnya bisa menyentuh wajah Alexander, sesuatu yang nggak pernah dia lakukan saat muda.
Aku bahkan disuguhi rekaman asli dari masa kuliah sang sutradara, yang mempertegas kisah ini nyata dan sepersonal itu. Buat kamu yang nggak suka bromance, nggak perlu nonton!
Skor: 3,5/5