ulasan
Review Film Seribu Bayang Purnama: Membumi, Menyentuh, dan Menginspirasi

Suara.com - Di tengah gempuran film horor dan romansa yang mendominasi layar lebar Indonesia, Seribu Bayang Purnama hadir bak angin segar yang membawa aroma tanah sawah dan perjuangan petani.
Film produksi Baraka Films yang disutradarai oleh Yahdi Jamhur ini resmi tayang pada 3 Juli 2025 di bioskop nasional seperti XXI, CGV, dan Cinepolis.
Dengan durasi 128 menit, film ini bukan cuma sekadar drama keluarga, tapi juga sebuah kritik sosial yang dikemas dengan visual memukau dan cerita yang bikin penonton termenung. Yuk, kita kupas tuntas apa yang bikin film ini spesial!
Seribu Bayang Purnama mengisahkan perjuangan Putro Hari Purnomo (diperankan apik oleh Marthino Lio), seorang pemuda yang pulang ke desa setelah gagal mengejar mimpinya di kota.
Sebagai anak petani, Putro yang besar di keluarga sederhana—dengan ayahnya, Budi (Nugie), sebagai petani konvensional—punya visi besar: mengenalkan metode pertanian alami yang ramah lingkungan dan hemat biaya.
Metode ini, yang terinspirasi dari kisah nyata seorang petani muda di Nusa Tenggara Timur (NTT), diklaim bisa memangkas biaya produksi sampai 80% dan membebaskan petani dari jerat rentenir serta ketergantungan pada pupuk kimia yang mahal.
Namun, perjuangan Putro nggak mulus. Ia berhadapan dengan resistensi dari warga desa, terutama keluarga saingan yang punya toko pupuk kimia. Konflik semakin pelik ketika Putro jatuh cinta pada Ratih (Givina Lukita Dewi), anak dari keluarga rival yang justru jadi simbol dari sistem yang ingin ia ubah.
Ditambah lagi, ada kompetisi pertanian bergengsi yang jadi ajang pembuktian visi Putro. Cerita ini nggak cuma soal pertanian, tapi juga tentang idealisme, dilema cinta, dan perjuangan melawan stigma bahwa jadi petani itu “gelap” dan tanpa harapan.
Review Film Seribu Bayang Purnama

Yahdi Jamhur, dengan pengalamannya sebagai jurnalis dan pembuat film dokumenter, berhasil menghadirkan visual yang bikin penonton serasa jalan-jalan di pedesaan Yogyakarta. Lokasi syuting di Bantul dan Sleman menampilkan hamparan sawah hijau, langit senja, dan kehidupan desa yang otentik.
Setiap frame terasa hidup, dengan sinematografi yang nggak cuma indah tapi juga penuh makna, menggambarkan hubungan erat manusia dengan alam. Kamu bakal merasa pengen pulang kampung saking eksotisnya pemandangan yang disuguhkan.
Marthino Lio sebagai Putro tampil sangat natural. Ia berhasil memerankan karakter yang penuh semangat tapi juga rapuh, membuat penonton ikut merasakan beban idealismenya.
Givina Lukita Dewi sebagai Ratih juga nggak kalah memukau, membawa chemistry yang bikin kisah cinta mereka terasa nyata meski penuh konflik.
Nugie sebagai Budi, sang ayah, memberikan sentuhan emosional yang bikin penonton tersentuh, apalagi saat adegan-adegan yang memperlihatkan hubungan ayah-anak yang sederhana tapi mendalam. Pemeran pendukung seperti Whani Darmawan (Gatot) dan Aksara Dena juga menambah warna pada dinamika desa.
Skenario karya Swastika Nohara, yang pernah meraih dua Piala Maya, patut diacungi jempol. Dialognya mengalir, nggak kaku, dan berhasil menyeimbangkan drama keluarga, romansa, serta kritik sosial tanpa terasa menggurui.
Konflik antara pendukung pertanian alami dan juragan pupuk kimia disajikan dengan cerdas, bikin penonton ikut mikir soal realita pahit petani Indonesia.
Lagu Fajar yang dinyanyikan oleh Tanita dan Nugie sebagai OST film ini jadi pelengkap sempurna. Liriknya yang penuh harapan dan melodi yang emosional bikin beberapa adegan terasa lebih menyentuh. Lagu ini nggak cuma sekadar pengiring, tapi juga memperkuat pesan film tentang kebangkitan dan cinta pada tanah air.
Hal yang bikin Seribu Bayang Purnama beda adalah misi sosialnya. Seluruh keuntungan tiket film ini didedikasikan untuk program pemberdayaan petani, seperti pelatihan metode pertanian alami dan pengembangan akses pasar.
Film ini juga ingin menggugah generasi muda untuk nggak memandang sebelah mata profesi petani. Yahdi dan produser eksekutif Joao Mota, yang terinspirasi dari Metode Tani Nusantara, jelas punya visi besar: mengubah stigma bahwa petani adalah profesi “keterdesakan” menjadi gaya hidup yang bermartabat.
Film ini juga menyoroti isu nyata seperti marginalisasi petani, mahalnya pupuk kimia, dan minimnya regenerasi petani muda—bahkan diprediksi pada 2035 Indonesia bisa kehabisan petani jika kondisi ini terus berlanjut. Pesan ini disampaikan dengan cara yang nggak bikin bosan, malah bikin penonton pengen ikut berkontribusi untuk perubahan.
Meski punya banyak kelebihan, film ini bukan tanpa cela. Menurutku ritme ceritanya agak lambat di paruh awal, terutama saat membangun konflik. Ada juga beberapa subplot, seperti rivalitas keluarga, yang terasa sedikit klise meski tetap dieksekusi dengan baik. Tapi, kekurangan ini nggak terlalu mengganggu pengalamanku menonton secara keseluruhan sih.
Seribu Bayang Purnama adalah film yang nggak cuma menghibur, tapi juga membuka mata tentang realita petani Indonesia. Dengan akting yang kuat, visual yang memanjakan, dan pesan sosial yang menggugah, film ini sukses jadi tontonan yang relevan dan bermakna.
Buat kamu yang bosan dengan cerita urban atau genre yang itu-itu aja, film ini wajib masuk watchlist. Lebih dari sekadar film, ini adalah panggilan untuk peduli pada petani, tulang punggung pangan bangsa. Jadi, siap-siap bawa tisu dan hati terbuka saat nonton di bioskop! Rating dari aku: 7.5/10.
Fun Fact: Judul Seribu Bayang Purnama melambangkan Putro sebagai sosok yang “menerangi” dan melahirkan seribu petani baru, sebuah simbol harapan untuk masa depan pertanian Indonesia.
Jadi, sudah siap ikut terinspirasi sama perjuangan Putro? Yuk, segera ke bioskop!