News
Propaganda Buzzer, Ancaman Doxxing dan Masa Depan Iklim Demokrasi Digital

Yoursay.id - Di ruang digital yang semestinya jadi arena pertukaran gagasan, ancaman datang dalam bentuk tak kasat mata: doxxing, peretasan, serangan siber, hingga banjir propaganda buzzer. Sasaran utamanya bukan mereka yang diam, melainkan yang berani bersuara lantang, mengkritisi, dan menantang kebijakan negara.
Fenomena ini menunjukkan rapuhnya demokrasi digital kita, ruang publik yang seharusnya egaliter justru berubah jadi gelanggang pertarungan asimetris antara masyarakat sipil dan kekuatan besar.
Kasus doxxing terhadap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Januari 2025 jadi bukti nyata. Seusai melontarkan kritik keras, data pribadinya tersebar liar di internet. Laporan ke Bareskrim menyebut tindakan ini melanggar UU Perlindungan Data Pribadi dan Administrasi Kependudukan.
![Ilustrasi doxing. [Freepik]](https://media.suara.com/pictures/original/2022/02/14/69425-doxing.jpg)
ICW mencatat pola serangan makin intensif: 147 kasus pada 2020, naik jadi 323 kasus pada 2023, dan sepanjang 2024 mencapai 330 kasus, dengan Instagram sebagai platform paling rawan. Korban utamanya jelas: aktivis lingkungan, jurnalis investigasi, dan akademisi yang berani membongkar kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, propaganda buzzer makin brutal. Riset Oxford Internet Institute menempatkan Indonesia dalam 70 negara yang mengoperasikan buzzer untuk kepentingan politik. Narasi pro-pemerintah dipoles, kritik dilabeli hoaks, dan perdebatan publik digiring pada isu artifisial. Investigasi bahkan menemukan tujuh klaster buzzer aktif sepanjang Pemilu 2024, sebagian memanfaatkan kecerdasan buatan. Kontraknya mencapai puluhan juta per proyek. Tugas mereka jelas: membungkam lawan, menyebar fitnah, dan menciptakan iklim ketakutan.
Ketika negara abai, buzzer justru dipelihara. TNI AL bahkan sempat diduga menganggarkan ratusan miliar untuk jasa buzzer demi “kondusivitas”. Ironis: uang rakyat dipakai membeli propaganda yang meracuni ruang demokrasi.
Serangan digital lain juga menghantam media independen dan organisasi masyarakat sipil. Situs berita tumbang dihajar DDoS, akun aktivis diretas, data pribadi bocor, ancaman fisik menyusul. Polanya gamblang: semakin nyaring kritik, semakin ganas serangan.
Padahal demokrasi digital mestinya melindungi hak dasar warga. UU sudah ada, tetapi implementasi pincang. Kasus jarang dituntaskan, korban dibiarkan berjuang sendirian. Akibatnya, ruang partisipasi berubah jadi ladang intimidasi. Efek psikologisnya nyata: warga enggan bersuara, takut diserang balik, dan akhirnya memilih diam. Apatisme politik ini menguntungkan mereka yang ingin melanggengkan kuasa tanpa kritik.
Meski begitu, secercah harapan tetap ada. Media investigasi, organisasi sipil, dan komunitas literasi digital menjadi benteng awal. Publik juga bisa melawan: mengasah daya kritis, melaporkan serangan, dan mendukung korban.
Ruang digital hanya bisa benar-benar demokratis jika pemerintah, platform, media, dan masyarakat sipil berkolaborasi memperkuat perlindungan hukum, transparansi, dan ekosistem aman bagi kritik.
Demokrasi sejati bukan soal memberi ruang aman bagi penguasa bicara, melainkan sejauh mana negara melindungi warganya yang berani melawan arus.