Kolom
'Belum Terlihat'? Pernyataan Menteri HAM soal Pendemo Hilang Tuai Kritik Pedas!

Yoursay.id - Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai (49) buka suara terkait 3 pendemo yang hilang.
Pigai menyatakan bahwa istilah yang lebih tepat untuk saat ini adalah “belum terlihat” atau “belum kembali ke rumah.” Ia juga menambahkan bisa saja pendemo dalam kondisi panik dan bersembunyi.
Menyoroti peristiwa ini, Menteri Hak Asasi Manusia yang seharusnya memberi perlindungan HAM kepada rakyatnya justru merespons dengan pernyataan yang mereduksi keresahan publik. Alih-alih memberi jaminan perlindungan dan kepastian penelusuran, Pigai mengarahkan isu pada pilihan kata.
Sementara itu, di sisi lain, aktivis seperti Ferry Irwandi (33) dan jaringan masyarakat sipil terus bersuara lantang menuntut kejelasan.
Unggahan Ferry Irwandi Menyalakan Harapan

Melalui salah satu postingan dari akun Instagram @irwandiferry, sebuah grafis bertajuk “Di Mana Kawan-Kawan Kita?” dipublikasikan yang mencantumkan tiga nama pendemo yang belum kembali serta permintaan agar siapa pun yang memiliki informasi menghubungi pihak akun melalui direct message (DM).
Postingan tersebut langsung memicu gelombang respons positif dari sejumlah masyarakat sipil maupun warganet. Terlihat juga beberapa komentar dari pengguna yang mengaku sebagai keluarga korban mengucapkan terima kasih sekaligus menuangkan harapan yang sempat pupus.
Ucapan terima kasih itu hadir sekaligus menunjukkan bahwa ruang digital kini menjadi salah satu sandaran terakhir bagi keluarga korban untuk mencari keadilan. Terutama melalui para aktivis yang terus mengusut tuntas kasus-kasus seperti ini.
Kontras antara respons dari pejabat publik dengan aktivis lokal semakin terlihat jelas. Di saat Menteri HAM memilih untuk menekankan diksi “belum terlihat” atau “belum kembali,” para aktivis justru turun tangan mencari bukti, mengorganisir jaringan solidaritas, hingga mengumpulkan informasi lapangan.
Lebih jauh pernyataan Pigai soal CCTV dan imbauan agar “sabar” terdengar diplomatis, tapi di telinga banyak orang justru pernyataan ini seperti bentuk cuci tangan. Di satu sisi, ia menegaskan pemerintah juga bekerja. Namun di sisi lain, yang muncul ke publik bukan langkah konkret, melainkan permintaan untuk jangan buru-buru berkesimpulan.
Jika kita terjun lebih dalam, masalahnya adalah publik akan selalu menunggu kepastian dari pejabat seperti dirinya. Apalagi ketika Pigai menolak penggunaan frasa “hilang paksa” dengan alasan “kata itu tindakan visual,” pernyataan tersebut terkesan mengaburkan, bukan menjawab.
Sementara aktivis sibuk mencari jejak dengan keluarga korban yang masih was-was menunggu kabar. Pernyataan semacam ini memberi kesan bahwa pejabat negara lebih memilih untuk meluruskan bahasa ketimbang melacak keberadaan orang.
Pada akhirnya, publik pun tak segan-segan bertanya: apakah pejabat tinggi benar-benar sedang bekerja, atau hanya sibuk meredam kegelisahan lewat kalimat manis?