Kolom
Rp100 Juta Per Bulan Hanya untuk Joget? Momen yang Mengubur Kredibilitas DPR

Yoursay.id - Katanya sih itu cuma relaksasi. Begitu alasan Ketua MPR, Ahmad Muzani, soal video viral anggota dewan dan berjoget dan bernyanyi di tengah Sidang Tahunan DPR/MPR 2025.
Tapi bagi sebagian besar rakyat yang menonton dari rumah, menganggapnya sebagai ironi. Karena yang berjoget itu para pejabat dengan gaji dan tunjangan lebih dari Rp100 juta per bulan, yang tentu saja, diambil dari pajak rakyat.
Kalau kita lihat realita, di luar gedung megah Senayan, ada guru honorer yang tiap bulan masih gigit jari karena gaji tidak sampai UMR. Ada mahasiswa yang putus kuliah karena tidak mampu bayar UKT. Ada juga keluarga yang masih mencari cara bayar cicilan rumah sambil menahan napas setiap kali harga beras naik.
Lalu mereka melihat wakilnya, yang dibayar sangat mahal untuk bekerja, malah berjoget di forum paling sakral kenegaraan. Bukankah ini seperti menonton pesta mewah di tengah bencana?
Dengan Rp100 juta per bulan, itu sudah cukup untuk menggaji sekitar 20 guru honorer dengan bayaran Rp5 juta. Dengan setahun gaji seorang anggota DPR, sekolah di daerah bisa menambah perpustakaan atau membiayai ratusan beasiswa bagi anak-anak dari keluarga miskin.
Namun, uang itu justru jatuh ke tangan orang-orang yang bisa bersenda gurau dan menari di kursi empuk Senayan.
Sidang Tahunan MPR/DPR adalah forum resmi negara, tempat Presiden menyampaikan pidato kenegaraan, tempat rakyat menaruh harapan bahwa kebijakan penting akan dibicarakan serius. Kalau forum ini bisa berubah jadi arena joget, lalu apa yang membedakan lembaga legislatif dengan acara variety show?
Yang membuat netizen makin kecewa adalah Sidang Tahunan itu justru memperlihatkan potret kesenjangan antara wakil rakyat dan rakyatnya sendiri. Sementara rakyat di bawah merasa makin dicekik pajak, DPR justru dengan santainya duduk di kursi Senayan sambil berjoget ria.
Tahun ini pemerintah gencar memperluas basis pajak, bahkan sampai pada level yang membuat masyarakat mengeluh, dari PPN yang naik, wacana pajak hiburan, sampai pungutan digital. Semua itu dilakukan dengan alasan APBN terbatas. Tapi, anehnya, dana untuk tunjangan para dewan tetap mengalir deras.
Lalu, apa pantas menyebut diri “wakil rakyat” ketika gaya hidup mereka sepenuhnya terpisah dari kenyataan rakyat? Bagaimana mungkin bisa menyusun undang-undang untuk memperbaiki kualitas pendidikan atau kesehatan, kalau mereka bahkan tidak merasakan apa itu susahnya antre berobat di puskesmas atau sulitnya mengatur uang belanja saat harga kebutuhan naik?
Wajar saja jika netizen mulai meluapkan amarahnya di media sosial. Mereka mengkritik soal ketimpangan, soal keadilan, dan soal rasa tidak dipedulikan.
Mereka bayar pajak, mereka berhemat, mereka menahan diri. Sementara yang duduk di kursi kekuasaan bisa berjoget di sidang resmi tanpa beban.
Angka gaji dan tunjangan Rp100 juta yang selama ini dibungkus dengan alasan untuk mendukung kinerja dewan, akhirnya jadi bahan olok-olok. Karena apa gunanya tunjangan besar kalau yang dipertontonkan justru ketidakberpihakan terhadap penderitaan rakyat?
Dan apakah DPR masih sadar siapa yang mereka wakili? Atau mereka sudah nyaman hidup dalam kursi eksklusif Senayan, dengan gaji besar, fasilitas penuh, dan hiburan yang bisa mereka ciptakan sendiri bahkan di tengah sidang resmi negara?
Joget di Senayan mungkin hanya berlangsung beberapa menit. Tapi dampaknya bisa jauh lebih panjang, makin menebalkan jurang antara rakyat yang berjuang di jalanan dengan para wakilnya yang hidup nyaman di kursi parlemen.