Ulasan
Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba - Infinity Castle: Awal dari Akhir Perjalanan Tanjiro Kamado

Yoursay.id - Sejak pertama kali tayang pada tahun 2019, Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba, berhasil menancapkan namanya sebagai salah satu seri anime paling fenomenal di dunia. Adaptasi manga karya Koyoharu Gotouge ini nggak cuma sukses secara naratif, tapi juga menembus batas teknis animasi dengan visualisasi pertarungan yang seolah-olah mustahil diciptakan.
Puncaknya terjadi di tahun 2020 ketika Film Demon Slayer: Mugen Train dirilis di bioskop dan sukses jadi film anime terlaris sepanjang masa.
Kini, Film Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba - Infinity Castle sejak 15 Agustus kembali menggebrak layar lebar Indonesia dengan skala yang lebih besar dan ambisius.
Bagian pertama dari trilogi penutup ini mengedepankan aksi penuh adrenalin, tapi juga menggali luka, dendam, dan rasa kemanusiaan yang bersembunyi di balik monster lho.
Film Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba - Infinity Castle langsung menempatkan kita di tengah konflik tanpa basa-basi. Nggak ada warm-up panjang, nggak ada adegan sehari-hari yang ringan seperti di awal seri anime. Ya, semuanya dimulai dengan perang besar. Para pembasmi iblis ditarik masuk ke Infinity Castle, markas utama Muzan yang berupa dimensi nggak terbatas penuh lorong yang bergerak.
Di sinilah perbedaan besar antara Film Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba - Infinity Castle dengan Film Demon Slayer: Mugen Train. Jika Mugen Train fokus pada satu lokasi sempit (kereta), Infinity Castle adalah labirin raksasa yang membuka peluang pertarungan di berbagai titik dengan musuh paling berbahaya: Iblis Bulan Atas.
Makin penasaran dengan detail lainnya, kan? Sini deh kepoin bareng!
Pertarungan Pertama, Shinobu vs Doma

Bagian awal film menyorot duel Shinobu Kocho, Hashira Insekta, melawan Doma, Iblis Bulan Atas Peringkat Dua.
Pertarungan ini penuh muatan emosional. Doma adalah sosok yang membunuh kakak Shinobu, Kanae Kocho. Sejak saat itu, Shinobu hidup dengan dendam, tapi juga sadar dirinya nggak sekuat Hashira lainnya. Teknik serangannya lebih mengandalkan racun daripada kekuatan fisik.
Animasinya menghadirkan duel ini dengan nuansa mencekam; pergerakan lincah Shinobu dipadukan dengan visualisasi teknik serangan yang penuh warna. Namun, sayangnya, film memotong duel ini di tengah jalan. Shinobu nggak diberi ruang yang cukup untuk klimaks dramatis yang seharusnya menghantam emosi penonton. Buat pembaca manga, mereka tahu ke mana arah duel ini, tapi buatku, rasanya kayak nonton sesuatu yang ‘digantung’ terlalu cepat.
Tetap saja, duel ini penting sebagai pembuka yang menunjukkan betapa mengerikannya kekuatan Iblis Bulan Atas.
Berikutnya, Duel Zenitsu vs Kaigaku
Setelah duel pahit Shinobu, film bergeser ke salah satu pertarungan paling memuaskan: Zenitsu Agatsuma melawan Kaigaku, mantan senior sekaligus saudara seperguruan.
Kilas balik memperlihatkan hubungan keduanya sejak masa pelatihan. Kaigaku adalah murid berbakat yang menguasai hampir seluruh teknik pernapasan Petir kecuali jurus pertama. Zenitsu, sebaliknya, hanya menguasai jurus pertama dan sering dianggap lemah. Ironisnya, ketika dewasa, Kaigaku memilih jalan sebagai iblis, sementara Zenitsu tetap setia pada ajaran gurunya.
Pertarungan ini jadi salah satu titik balik karakter Zenitsu. Jika biasanya dia bertarung hanya saat pingsan atau dalam kondisi nggak sadar, kali ini dia menghadapi Kaigaku dengan penuh kesadaran, kemarahan, dan dendam. Visual pertarungan dibuat luar biasa, kilatan petir berlarian di layar, gerakan Zenitsu super cepat hingga sulit ditangkap mata tapi tervisualisasikan dengan sangat bagus.
Momen puncaknya terjadi ketika Zenitsu memperlihatkan jurus terakhir yang dia ciptakan sendiri.
Duel Pamungkas, Tanjiro dan Giyu vs Akaza
Bagian terbesar film jelas ada pada duel Tanjiro Kamado bersama Giyu Tomioka melawan Akaza, Iblis Bulan Atas Peringkat Tiga.
Sejak awal, duel ini sudah dipenuhi tensi emosional. Akaza bukan sembarang musuh. Dia adalah pembunuh Kyojuro Rengoku, sang Hashira Api, yang gugur heroik di Mugen Train. Bagi Tanjiro, pertemuan ini adalah momen balas dendam sekaligus ujian kedewasaan sebagai pendekar pedang.
Lagi-lagi, duel ini ditampilkan dengan level animasi yang bahkan melampaui standar mereka sendiri. Gerakan kamera berputar, detail efek cahaya, dan koreografi pertarungan membuat seolah-olah kita ikut berada di tengah arena. Tanjiro yang kini lebih matang mampu menandingi kecepatan Akaza, meski nggak selevel. Kehadiran Giyu sangat vital sih, dia jadi penyeimbang strategi sekaligus partner yang bisa menutup celah Tanjiro.
Namun, tensi duel sedikit terganggu kilas balik panjang mengenai masa lalu Akaza. Dikit-dikit kok flashback. Huft!
Flashback-nya memang ngasih lapisan emosional pada karakter, bikin penonton bersimpati pada sosok yang sebenarnya kejam. Ibaratnya aku diajak memahami di balik kekejamannya, Akaza pernah jadi manusia yang terjebak dalam penderitaan. Sayangnya memang, penempatan flashback di tengah duel super intens membuat tempo sedikit tersendat.
Untungnya, penutup duel tetap dieksekusi dengan memukau. Akaza akhirnya tumbang dengan cara yang pilu, dan diriku merasakan kepuasan sekaligus kesedihan dalam satu waktu.
Akhir kata, ini adalah pembuka yang mantap untuk babak akhir perjalanan Tanjiro. Meski ada kekurangan dalam tempo dan beberapa duel terasa kurang tuntas, film ini tetap menyuguhkan pengalaman sinematik yang spektakuler.
Sebagai bagian pertama dari trilogi, wajar bila film ini menyisakan rasa ‘nggantung’. Jadi, rasa-rasanya nggak rugi menantikan kelanjutannya. Jangansampai nggak nonton, ya!
Skor: 4/5