kolom
Bukan Anti-Cinta, Hanya Takut Luka: Alasan Gen Z Tak Kejar Pernikahan

Yoursay.id - Di tengah gempuran wacana tentang pernikahan ideal di media sosial, muncul suara-suara baru dari generasi muda, khususnya Gen Z, yang mulai mempertanyakan urgensi dan makna dari pernikahan itu sendiri.
Banyak dari mereka yang memilih untuk menunda atau bahkan menolak menikah, bukan karena anti-komitmen, tetapi karena pengalaman pahit yang mereka saksikan dalam keluarga mereka sendiri.
Perceraian, perselingkuhan, kekerasan verbal, hingga relasi toksik antarorang tua menjadi bayangan yang sulit dihapus dari benak mereka. Dalam banyak kasus, pernikahan bukan lagi tampak sebagai simbol kebahagiaan, melainkan sumber luka yang diwariskan secara tidak langsung.
Fenomena ini membuka ruang diskusi yang penting apakah pandangan negatif terhadap pernikahan merupakan bentuk trauma yang belum selesai, atau justru evolusi kesadaran baru akan pentingnya relasi yang sehat dan setara?
Generasi ini tumbuh dalam era keterbukaan informasi dan kesadaran akan kesehatan mental, sehingga keputusan mereka untuk lebih berhati-hati, termasuk dalam hal menikah bisa juga dipahami sebagai upaya menjaga diri.
Di sisi lain, nilai-nilai budaya dan agama yang menempatkan pernikahan sebagai pencapaian hidup tertinggi, membuat pilihan ini kerap dipandang menyimpang atau tidak bertanggung jawab. Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini?
Trauma Relasi yang Membentuk Perspektif
Bagi banyak anak muda, rumah bukan lagi tempat yang hangat, tetapi panggung konflik yang terus-menerus. Melihat ayah dan ibu bertengkar hampir setiap hari, menyaksikan dinginnya hubungan tanpa keintiman emosional, hingga merasa menjadi penengah dalam konflik rumah tangga membuat banyak dari mereka mengasosiasikan pernikahan dengan penderitaan. Ini bukan sekadar ketakutan irasional, melainkan respons psikologis yang terbentuk dari pengalaman masa kecil yang penuh tekanan.
Trauma ini pada akhirnya membentuk cara mereka memandang hubungan romantis. Komitmen jangka panjang dianggap sebagai jebakan, bukan ikatan yang menenteramkan.
Tak jarang pula mereka merasa tidak layak membangun keluarga sendiri karena takut mengulang pola orang tua mereka. Maka, ketika mereka memilih menjauh dari institusi pernikahan, keputusan itu sering kali berakar dari luka yang dalam dan belum sempat sembuh.
Generasi yang Semakin Kritis dan Mandiri
Namun, tidak semua keputusan untuk menunda atau menolak menikah berasal dari trauma. Sebagian besar Gen Z juga semakin sadar bahwa relasi sehat tidak bisa dibentuk hanya dengan “status” legal.
Pernikahan bukanlah tujuan utama hidup bagi mereka, melainkan pilihan yang harus diambil secara sadar dan siap, baik secara mental, emosional, maupun finansial. Kemandirian finansial perempuan, kesetaraan gender, dan kesadaran akan hak individu turut mengubah cara pandang terhadap relasi jangka panjang.
Di era ini, banyak pula yang percaya bahwa membangun hidup bahagia tidak harus melalui pernikahan. Mereka lebih fokus pada pencapaian pribadi, pengembangan diri, dan relasi yang sehat, terlepas dari status pernikahan.
Ini bukan bentuk penolakan terhadap nilai keluarga, melainkan usaha membentuk versi keluarga yang lebih sehat bukan sekadar simbolik atau normatif.
Meninjau Kembali Makna Pernikahan
Pernikahan sering dianggap sebagai jalan menuju kebahagiaan dan kematangan hidup. Namun ketika pernikahan hanya dipaksakan demi memenuhi ekspektasi sosial, justru rentan melahirkan penderitaan baru.
Banyak pasangan menikah karena tekanan umur, tuntutan keluarga, atau keinginan “menormalkan” hidup, tanpa kesiapan emosional yang cukup. Akibatnya, konflik dalam rumah tangga menjadi hal yang lazim, bahkan dinormalisasi sebagai bagian dari “proses”.
Melalui fenomena ini, kita perlu meninjau kembali apakah benar pernikahan selalu sakral? Atau justru menjadi institusi yang kehilangan makna karena dijalani tanpa kesadaran dan kesiapan?
Generasi muda yang kritis terhadap hal ini sebetulnya sedang mendorong masyarakat untuk lebih jujur dan realistis terhadap pernikahan, bukan untuk meninggalkannya, tapi untuk memperbaiki cara kita memaknainya.
Pilihan generasi muda untuk menunda atau menolak menikah bukanlah bentuk pemberontakan, tetapi refleksi dari pengalaman dan kesadaran baru akan pentingnya hubungan yang sehat. Trauma masa kecil yang terbawa hingga dewasa membuat mereka lebih berhati-hati, lebih memilih sendiri daripada hidup dalam ikatan yang menyakiti.
Kini, tugas kita bukan untuk memaksakan pandangan usang, tapi membuka ruang diskusi yang lebih empatik dan inklusif tentang pernikahan. Sebab pernikahan yang benar-benar sakral bukan ditentukan oleh upacara, tapi oleh kedewasaan dan kesadaran untuk saling menjaga dan itu dimulai dari proses penyembuhan diri.