Ulasan
Review Film Rosario: Kutukan yang Menggali Luka Keluarga dan Identitas!

Yoursay.id - Di tengah panorama film horor masa kini yang kerap bergantung pada jump scare usang atau plot twist yang terpaksa, Rosario (2025) hadir sebagai hembusan udara segar yang kelam dan berlapis.
Dalam debut penyutradaraannya yang memukau, Felipe Vargas memadukan unsur body horror, supranatural, serta drama keluarga dengan nuansa budaya imigran Meksiko-Amerika.
Dibintangi oleh Emeraude Toubia sebagai pemeran utama yang karismatik, Jose Zuniga sebagai figur ayah yang kompleks, dan David Dastmalchian sebagai tetangga misterius yang menyeramkan, Rosario berdurasi 88 menit dan dirilis secara luas di Amerika Serikat pada Mei 2025 sebelum menjangkau pasar internasional.
Genre horor psikologis ini tidak hanya membuat bulu kuduk merinding, tapi juga memaksa penonton merenungkan trauma warisan budaya dan keterputusan emosional di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern.
Sebelum kita terjun ke lapisan narasi yang dalam, sekadar informasi aja nih buat kamu yang mau nonton, Rosario telah resmi menggelar layar lebar sejak 31 Oktober 2025 tepat di malam Halloween yang pas untuk aura seramnya.
Review Film Rosario

Plot Rosario dimulai dengan premis sederhana namun langsung menjerat: Rosario Dawson (Emeraude Toubia), seorang broker saham sukses di Wall Street yang ambisius dan terassimilasi sempurna ke dalam gaya hidup urban Amerika, terpaksa kembali ke apartemen sederhana neneknya di Bronx setelah badai salju menghalangi kedatangan ambulans.
Nenek tercinta, seorang imigran Meksiko yang taat pada tradisi, baru saja meninggal dunia, dan Rosario harus menjaga jenazahnya semalaman penuh.
Apa yang awalnya tampak sebagai tugas rutin berubah menjadi malam neraka ketika kutukan dari ritual okultisme Afro-Kuba, Palo Mayombe, mulai merayap masuk.
Elemen supranatural ini bukan sekadar hantu biasa; ia adalah manifestasi dari rahasia keluarga yang terkubur, termasuk praktik ilmu hitam yang disembunyikan generasi ke generasi.
Vargas, yang terinspirasi dari pengalaman pribadinya sebagai anak imigran, membangun ketegangan secara bertahap, mulai dari suara-suara aneh di balik dinding tipis apartemen hingga halusinasi yang mengaburkan batas antara realitas dan mimpi buruk.
Tanpa spoiler ya guys, ketika berakting film ini membawaku ke klimaks yang meledak-ledak, di mana horor fisik bertemu dengan emosional, membuat Rosario terasa seperti perpaduan antara Hereditary dan The Babadook, tapi dengan rasa pedas budaya Latin yang khas.
Kurasa salah satu kekuatan terbesar film ini terletak pada penggambaran karakternya. Emeraude Toubia memberikan performa breakthrough sebagai Rosario. Ia bukan heroine horor klise yang berteriak histeris; sebaliknya, Toubia menyajikan wanita yang tangguh, tapi rapuh di balik topeng profesionalismenya.
Ekspresi matanya saat menghadapi bayangan masa lalu dari kenangan masa kecil yang penuh kekerasan hingga konflik identitas sebagai American Dream yang retak ini adalah momen-momen yang mengharukan.
Jose Zuniga sebagai ayah Rosario menambahkan lapisan kompleksitas; ia adalah figur patriarkal yang penuh penyesalan, terperangkap antara tradisi Meksiko dan realitas urban yang kejam.
Sementara itu, David Dastmalchian mencuri perhatian sebagai tetangga nosy yang ambigu—apakah ia sekutu atau ancaman? Karakternya membawa sentuhan humor gelap yang langka di genre horor.
Analisaku soal akting pendukung di babak awal terasa kaku, chemistry antar pemeran utama berhasil menyelamatkan narasi dari jebakan klise. Namun secara teknis, Rosario memiliki visual yang membentuk ketegangannya sendiri ditambha audio yang memukau.
Sinematografi oleh mantan kolaborator Vargas menangkap esensi Bronx yang kumuh namun penuh jiwa: cahaya neon yang berkedip-kedip, bayangan panjang di koridor sempit, dan close-up ekstrem pada efek makeup praktis yang mengerikan.
Body horror di sini bukan sekadar gimmick; ia simbolis, merepresentasikan bagaimana trauma keluarga menggerogoti dari dalam, mirip dengan karya David Cronenberg.
Sound design-nya luar biasa suara detak jantung yang bergema, bisikan dalam bahasa Spanyol yang samar, dan derit lantai yang terasa nyata hingga membuat kursi bioskop bergetar.
Skor musik oleh komposer debutan menambahkan lapisan etnis dengan sentuhan marimba dan drum ritual, yang semakin memperkuat nuansa kutukan Palo Mayombe.
Sayangnya, script Vargas kadang terasa terlalu padat di paruh kedua, dengan dialog yang agak bertele-tele saat menjelaskan lore okultisme, membuat ritme sedikit tersendat.
Akan tetapi, ini tidak mengurangi daya tarik keseluruhan; justru membuat film ini terasa autentik, bukan produk Hollywood yang dipoles berlebihan.
Lebih dari sekadar horor, Rosario adalah cermin jiwa yang terlupakan bagi komunitas imigran. Ia mengeksplorasi tema keterputusan generasi: bagaimana anak muda seperti Rosario menolak warisan budaya untuk bertahan di masyarakat yang rasis dan kompetitif, hanya untuk dihantui olehnya kembali.
Kutukan iblis bukan antagonis utama; ia adalah metafor untuk beban emosional yang tak terselesaikan, dari kekerasan rumah tangga hingga diskriminasi etnis.
Di era pasca-pandemi di mana isolasi menjadi norma, film ini relevan banget mengingatkan kita bahwa ketakutan terbesar sering datang dari dalam rumah sendiri.
Menurutku sih untuk pencinta horor Indonesia, yang akrab dengan horor lokal seperti Pengabdi Setan dengan elemen mistis keluarga, Rosario akan terasa familiar tapi segar, menawarkan perspektif global tanpa kehilangan kedalaman emosionalnya.
Overall, Rosario layak mendapat rating dariku: 7.5/10. Ini bukan film horor sempurna ada momen di mana ketakutan terasa predictable, dan endingnya agak terburu-buru tapi debut Vargas penuh janji, dengan potensi untuk mengubah wajah genre body horror.
Kalau kamu mencari pengalaman yang membuat jantung berdegup sekaligus hati tersentuh, buruan tonton deh, di bioskop sekarang.
Ryan Farizzal
Hujan itu turun sayang, bukan jatuh. Yang jatuh itu aku, di ruang hatimu —pensilfariz
Total Artikel 278




