Ulasan
Novel Luka Perempuan Asap: Cerita tentang Perempuan dan Alam yang Tersakiti

Kalau kamu pernah mengalami atau mendengar soal kabut asap akibat industri sawit, pasti bisa membayangkan udara panas, mata perih, dan bau yang menempel di baju.
Luka Perempuan Asap karya Nafi’ah Al-Ma’rab membawa kita langsung ke situ—tapi lewat perspektif seorang perempuan bernama Mun. Ia bukan aktivis besar atau tokoh heroik, tapi dari kisahnya kita bisa lihat bagaimana kehidupan sehari-hari bisa terasa berat ketika alam dan perempuan sama-sama menjadi korban.
Cerita dimulai dari hal yang sederhana: Mun menjalani proyek penelitian tentang sawit di bawah dosennya, Bu Wilda. Proyek ini tampak ilmiah, tapi lambat laun Mun menyadari kalau apa yang ia kerjakan berpotensi merugikan banyak pihak.
Di saat yang sama, tekanan sosial dan perjodohan menuntutnya untuk mengikuti “aturan main” yang tidak sesuai hati nuraninya. Dari sini, pembaca langsung merasakan dilema yang realistis dan manusiawi—tanpa perlu adegan dramatis atau narasi berlebihan.
Alam dan Perempuan Sama-sama Luka
Salah satu hal paling menarik dari novel ini adalah cara penulis menghubungkan kondisi alam dan kehidupan perempuan. Ketika hutan dibabat untuk sawit, bukan cuma pohon yang hilang, tapi masyarakat kecil—terutama perempuan—yang harus menanggung akibatnya.
Mereka tetap harus memasak, merawat anak, dan bertahan meski tubuh dan pikiran lelah. Kabut asap yang menutup desa bukan hanya simbol bencana alam, tapi juga simbol tekanan sosial yang terus menekan perempuan dalam banyak aspek kehidupan.
Mun sendiri digambarkan dengan jujur: ia ragu, takut, tapi tetap mencoba membuat keputusan yang benar. Dari sinilah nilai unik novel ini muncul: keberanian tidak selalu soal aksi besar atau teriakan keras. Kadang, keberanian itu terlihat saat seseorang tetap berpihak pada nuraninya, meski harus melawan arus.
Hal ini membuat cerita terasa lebih dekat dengan kenyataan, karena kita jarang melihat keberanian yang nyata di dunia sehari-hari digambarkan secara literer.
Keberanian dalam Kesederhanaan
Novel ini menonjolkan keberanian yang tenang. Mun menolak perjodohan, mempertanyakan proyek yang tidak sesuai hati, dan melawan tekanan sosial dengan caranya sendiri. Tidak ada adegan dramatis berlebihan, tidak ada tokoh yang tiba-tiba jadi superhero.
Yang unik, Nafi’ah menekankan bahwa keberanian bisa muncul dalam hal-hal kecil: keberanian untuk berkata “tidak,” keberanian untuk mempertahankan pilihan, dan keberanian untuk peduli pada hal-hal yang sering diabaikan orang lain.
Hal ini membuat pembaca merasa terhubung, seolah keberanian Mun bisa juga muncul dalam kehidupan kita sehari-hari—dengan cara yang sederhana tapi nyata.
Luka yang Menyadarkan
Selain soal perempuan, novel ini juga menyoroti kondisi alam. Asap, hutan yang hilang, dan kehidupan yang terganggu adalah refleksi nyata dari apa yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Tapi Nafi’ah tidak sekadar menuding industri sawit. Ia menulis seolah mengajak pembaca bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sebenarnya membuat manusia tega merusak alam?”
Luka yang digambarkan bukan cuma fisik, tapi juga moral. Pembaca diajak menyadari bahwa kenyamanan yang kita nikmati kadang dibayar mahal dengan penderitaan orang lain—dan alam sendiri.
Ini yang membuat novel terasa relevan dan meninggalkan kesan panjang: bukan sekadar cerita, tapi pengingat bahwa setiap tindakan kita punya konsekuensi.
Kemanusiaan yang Tetap Terasa
Yang membuat novel ini menonjol adalah sisi kemanusiaannya. Mun tetap manusiawi—tak sempurna, takut, ragu, marah, tapi juga peduli. Ia bukan korban pasif, juga bukan pahlawan sempurna. Nafi’ah menulisnya dengan gaya santai dan hangat, sehingga pembaca merasa dekat.
Rasanya seperti ngobrol dengan teman yang sedang menceritakan pengalaman hidupnya, bukan mendengar dongeng atau membaca teks formal.
Selain itu, interaksi Mun dengan orang-orang di sekitarnya—dosen, teman, keluarga—memberikan lapisan cerita tambahan. Konflik yang muncul tidak dibuat dramatis, tapi terasa nyata. Hal ini menambah kedalaman cerita tanpa membuatnya berat atau membosankan.
Yang Bisa Diambil
Luka Perempuan Asap adalah novel tentang perempuan, alam, dan pilihan yang sulit. Nilai paling uniknya ada pada cara novel ini menyatukan isu sosial, gender, dan lingkungan ke dalam cerita yang terasa nyata dan dekat.
Dari Mun, kita belajar bahwa memperjuangkan yang benar tidak selalu soal aksi besar; kadang, itu berarti tetap jujur pada diri sendiri di tengah tekanan dan kabut yang menyesakkan.
Novel ini juga mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitar. Bukan dengan ceramah atau teori, tapi lewat cerita yang sederhana, jujur, dan terasa hidup. Jadi selain sebagai hiburan, buku novel ini juga mengingatkan kita bahwa keberanian dan kepedulian bisa muncul dalam bentuk-bentuk yang tidak terlalu terlihat—tapi tetap berdampak besar.
Miranda Nurislami Badarudin
Gadis INFP, nama pena Lamira, S1 Jurusan Tadris Bahasa Inggris. Hobi menonton, membaca dan menulis.
Total Artikel 54




