Ulasan
Mengarungi Trauma Sejarah di Gerbong Arwah: Ulasan Novel Kereta Semar Lembu

Yoursay.id - Novel Kereta Semar Lembu adalah sebuah karya sastra yang ditulis oleh Zaky Yamani sebagai salah satu penulis realisme magis paling berani di Indonesia.
Sebagai pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2021, novel ini tidak hanya menjanjikan narasi yang kuat, tetapi juga sebuah karya sastra yang menghubungkan mitos Jawa, sejarah kelam bangsa, dan dimensi arwah.
Novel setebal kurang lebih 320 halaman ini adalah sebuah bukti memori, yang menolak untuk membiarkan trauma dan pengorbanan masa lalu terlupakan begitu saja.
Kisah dalam novel ini berpusat pada tokoh Lembu, seorang lelaki yang terlahir dengan takdir terkutuk yang mengikatnya seumur hidup pada rel kereta api.
Sejak ia lahir dengan kerincing yang tak terpisahkan dari lehernya, hidupnya adalah perjalanan tanpa henti melintasi Pulau Jawa.
Lembu, yang disebut-sebut sebagai anak ajaib dan figur yang mewakili sosok Semar dalam versi yang termarjinalkan, adalah saksi hidup dan juga arwah atas rentetan peristiwa sejarah yang membentuk bangsa ini.
Narasi novel ini mengambil sudut pandang Lembu, seringkali setelah ia tewas terbunuh dan bergabung dengan arwah-arwah penasaran lainnya di "dunia antara."
Kehidupan Lembu membentang dari era pembangunan jalur kereta pertama (yang dibangun di atas darah kerja paksa), masa kolonial, gejolak revolusi, hingga tragedi 1965 di masa Orde Baru.
Kombinasi antara sejarah kelam dan mitos Jawa yang kental adalah kekuatan utama novel ini. Zaky Yamani menyisipkan tokoh-tokoh pewayangan dan dan arwah-arwah punakawan seperti Semar, Petruk, dan Bagong, yang hadir bergantian menemani Lembu.
Kehadiran mereka menyimbolkan nilai-nilai dan filosofi Jawa yang kian tersingkir seiring modernisasi. Novel ini berhasil menggabungkan sejarah, mitologi, dan fantasi tanpa terasa dipaksakan, sebuah bukti kemahiran Zaky Yamani dalam mengahasilkan karya ini melalui riset yang mendalam.
Dalam dialognya di Halaman 202, Lembu (yang menyaksikan berbagai kekerasan, termasuk perempuan-perempuan yang dijadikan objek seksual para tentara Jepang) berhadapan dengan kebijaksanaan Mbah Petruk.
"Perang mengajarkan satu hal: kalian, manusia, bisa bertindak lebih kejam dari binatang," katanya. "Kau akan melihat yang lebih buruk lagi dilakukan oleh bangsamu sendiri suatu hari nanti."
Kutipan ini menjadi salah satu kutipan paling menarik bagi saya di novel ini. Mbah Petruk tidak hanya mencerca kekejaman kolonial, tetapi secara langsung juga menanyakan kekejaman yang dilakukan oleh anak bangsa sendiri.
Sebuah kritik pedas terhadap kekerasan yang pernah terjadi dalam konflik-konflik pascakemerdekaan (terutama tragedi 1965).
Lembu dan kawan-kawannya, para arwah dalam novel tersebut, adalah saksi bahwa korban sejarah seringkali disiksa dan dilupakan oleh bangsanya sendiri.
Penderitaan ini diperkuat dengan narasi politik di Bab 20 (Halaman 276), yang secara eksplisit menggambarkan situasi Indonesia di tahun 1960-an. Aadanya aksi mogok PKI dan kaum tani serta insiden sikut-sikutan di antara rakyat kecil.
Novel ini juga mengingatkan kita antara takdir manusia yang telah ditetapkan secara mutlak, yang tercermin dalam halaman 86, penulis mengkritik kepasifan yang dibalut kepercayaan.
"Kata Mbah Bagong, keberuntungan dan kesialan manusia sudah ditulis. tetapi banyak manusia tidak sabar dan meminta berkah pada sesuatu yang tidak bisa mengubah apa pun."
Meskipun novel ini sangat kaya dengan memasukan berbagai unsur, pembaca harus siap dengan alur cerita yang maju mundur, berpindah dari masa lalu Lembu saat hidup ke perayaan arwah setelah kematiannya.
Sehinga dibagian awal mungkin akan terasa berat. Bagi sebagian pembaca, narasi yang padat ini juga mungkin akan terasa sedikit terburu-buru atau membingungkan.
Namun, ketika kita sudah mulai terbawa ke alur yang lebih jauh, cerita akan lebih mudah dipahami. Novel ini mengingatkan kita bahwa segala kemegahan yang kita nikmati (seperti infrastruktur kereta api) berdiri di atas pengorbanan dan trauma besar di masa lalu.
Novel ini adalah novel yang merayakan hidup yang seharusnya dijalani tanpa penolakan pada takdir, sebuah karya yang layak menjadi salah satu novel realise magis terbaik dari penulis lokal.





