Ulasan
Review Film Jembatan Shiratal Mustaqim: Horor Religi yang Mengguncang Iman!

Yoursay.id - Di tengah perfilman Indonesia yang kian berani bereksplorasi, Jembatan Shiratal Mustaqim hadir sebagai karya yang tak sekadar mengandalkan ketakutan instan, melainkan juga menyisipkan kritik sosial yang mendalam. Disutradarai oleh Bounty Umbara, sutradara yang dikenal lewat film-film horor seperti Siksa Kubur (2019), film ini diproduksi oleh Dee Company dan ditulis skenarionya oleh Erwanto Alphadullah. Durasi 96 menit ini dijadwalkan tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia mulai 9 Oktober 2025, tepat di musim panen film horor akhir tahun.
Sebagai prekuel spiritual dari universe Siksa Neraka yang sukses meraup 2,6 juta penonton, film ini menjanjikan pengalaman sinematik yang belum pernah ada sebelumnya di genre horor lokal, berkat penggunaan CGI yang digarap selama satu tahun penuh.
Secara umum, Jembatan Shiratal Mustaqim adalah film horor religi yang mengusung tema korupsi dana bantuan bencana, dijalin dengan konsep akhirat dalam Islam. Judulnya merujuk pada Shiratal Mustaqim, jembatan lurus di atas neraka yang menghubungkan Padang Mahsyar ke surga, hanya dapat dilalui oleh orang-orang beramal saleh. Cerita berlatar pasca-tsunami di sebuah desa terpencil di Indonesia, menggambarkan perpaduan antara bencana alam dan tragedi kemanusiaan akibat penggelapan dana bantuan.
Tokoh utama, Arya (Raihan Khan), adalah pemuda naif yang percaya semua orang, termasuk keluarganya, akan masuk surga. Hidupnya berubah drastis setelah kematian misterius ayahnya, Malik (Agus Kuncoro), pejabat daerah yang diduga terlibat korupsi.
Kegelisahan Arya dipicu oleh mimpi buruk berulang tentang Jembatan Shiratal Mustaqim, di mana ia melihat ayahnya, Malik, tersiksa, berjuang melintasi jembatan rapuh sambil dikejar api neraka yang membakar dosa-dosanya.
Visualisasi ini menjadi kekuatan utama film, dengan CGI yang menghadirkan neraka begitu nyata api yang melahap, jeritan yang menggema, dan jembatan setajam pedang, lengket seperti minyak, tipis bagai rambut. Lebih dari sekadar efek visual, ini adalah metafora kuat tentang korupsi yang menjadi beban, menyeret pelakunya ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Laras (Imelda Therinne), Arya menyelami penyelidikan berbahaya yang mengungkap skandal korupsi melibatkan rekan-rekan ayahnya.
Setiap petunjuk membawa teror baru: hantu korban tsunami yang menuntut keadilan, bisikan gaib yang menguak dosa tersembunyi, hingga klimaks di mana Arya harus menerima kenyataan pahit bahwa kebaikan keluarganya hanyalah fatamorgana.
Review Film Jembatan Shiratal Mustaqim

Film ini dengan cemerlang merangkai ketegangan secara bertahap melalui narasinya. Bounty Umbara tidak mengandalkan gore berlebih atau hantu berwajah pucat; horornya datang dari dalam rasa bersalah, ketakutan akan pertanggungjawaban akhirat, dan kritik tajam terhadap korupsi endemik di Indonesia.
Skrip Erwanto Alphadullah kaya akan dialog filosofis, seperti saat Laras berkata, "Di dunia, korupsi bisa disembunyikan di balik jabatan. Di akhirat, tidak ada lobi, tidak ada suap."
Ini membuat film terasa lebih dari hiburan; ia menjadi cermin sosial yang memaksaku merenungkan isu aktual, seperti kasus penggelapan dana bencana yang masih marak. Tagline Waktunya Tobat bukan sekadar gimmick, tapi panggilan untuk introspeksi diri.
Performa aktor menjadi pilar di film ini. Raihan Khan, yang dikenal dari peran dramatis, menghidupkan Arya dengan kerapuhan autentik seorang pemuda yang terjebak antara loyalitas keluarga dan kebenaran. Imelda Therinne sebagai Laras memukau sebagai ibu yang tangguh tapi rapuh, dengan tatapan penuh penyesalan yang menyentuh.
Agus Kuncoro, dalam peran posthumous sebagai Malik, memikat sebagai koruptor karismatik yang di dunia tampak dermawan, namun di akhirat terkuak sebagai monster. Ia menyebut perannya mudah karena banyak sekali referensi koruptor di Indonesia, menyelipkan satir pedas. Pemeran pendukung seperti Mike Lucock dan Eduward Manalu menambah dinamika, meski Rory Asyari dan Khalif Al Juna kurang dimanfaatkan dalam subplot mistis.
Secara teknis, film ini unggul di departemen visual dan suara. CGI akhirat, yang memakan waktu satu tahun, adalah terobosan untuk horor Indonesia bayangkan What Dreams May Come versi lokal, tapi dengan api neraka yang terasa panas di layar.
Sound design oleh tim Dee Company brilian: suara langkah goyah di jembatan, jeritan samar korban korupsi, dan backsound religi yang membangun atmosfer spiritual tanpa berlebihan. Sinematografi oleh Dyan Sunu Prastowo menangkap kontras indah antara desa pasca-tsunami yang hancur dan visi akhirat yang megah-mengerikan. Akan tetapi, bukan tanpa cela: pacing di act kedua agak lambat, dengan subplot investigasi yang kadang terasa klise ala thriller detektif. Beberapa dialog moralisasi terasa preachy, meski ini disengaja untuk pesan anti-korupsi.
Jadi bisa kusimpulkan, Jembatan Shiratal Mustaqim adalah kemenangan genre horor religi Indonesia karena inovasi visual dan kedalaman tematiknya. Film ini bukan hanya untuk penggemar jumpscare, tapi bagi siapa saja yang lelah dengan korupsi di berita harian—ia mengingatkan bahwa keadilan Tuhan tak terbantahkan.
Di tengah banjir film horor di Oktober 2025 seperti Rest Area, ini yang paling berani dan relevan. Jangan lewatkan tayang perdananya mulai tanggal 9 Oktober 2025, di bioskop terdekat kesayanganmu. Siapkan hati untuk merinding, tapi juga untuk bertobat.