Ulasan
Ulasan Novel People Like Us: Kehangatan Hubungan Antar Manusia

Yoursay.id - Di tengah hiruk pikuk kehidupan kota modern, ada sebuah paradoks yang aneh. Kita dikelilingi oleh ribuan, bahkan jutaan orang, namun sering kali kita merasa begitu kesepian. Kita lebih mengenal kehidupan para selebritas di media sosial daripada nama tetangga sebelah pintu kita. Kita membangun dinding-dinding tak kasat mata di sekitar kita, berlindung di balik layar gawai yang menyala terang.
Novel terbaru bergenre drama kontemporer, People Like Us, dengan lembut namun kuat meruntuhkan dinding-dinding tersebut. Buku ini adalah sebuah surat cinta untuk kehangatan hubungan antarmanusia yang sering kali kita lupakan, sebuah pengingat bahwa koneksi paling tulus sering kali lahir di saat-saat yang paling tidak terduga.
Apartemen Kencana, Sebuah Mikrokosmos Kehidupan Urban
Novel ini mengambil latar di sebuah tempat yang sangat kita kenal, sebuah gedung apartemen sederhana bernama Apartemen Kencana. Tempat ini adalah sebuah mikrokosmos dari kehidupan urban modern, dihuni oleh sekumpulan individu yang hidup berdampingan namun terpisah. Ada Ardi, seorang programer muda yang bekerja dari rumah dan hampir tidak pernah keluar dari unitnya.
Ada Ibu Ratna, seorang pensiunan guru yang merawat kebun kecil di atap gedung. Ada pula Pak Tirtayasa, seorang pria tua yang tampak galak namun diam-diam sering memperbaiki fasilitas gedung yang rusak. Mereka semua hidup dalam gelembungnya masing-masing, saling berpapasan di lobi tanpa pernah benar-benar saling mengenal. Mereka adalah cerminan dari kita semua, orang-orang yang sibuk dengan urusannya sendiri.
Pemadaman Listrik sebagai Tombol Atur Ulang Sosial
Kehidupan yang terisolasi itu tiba-tiba berubah ketika sebuah pemadaman listrik total melanda kota selama beberapa hari. Di sinilah letak gagasan cerdas dari novel ini. Pemadaman listrik tidak digambarkan sebagai sebuah bencana yang mengerikan, melainkan sebagai sebuah tombol atur ulang sosial. Internet mati, televisi padam, dan ponsel kehabisan daya. Semua distraksi digital yang selama ini menjadi penopang hidup mereka lenyap seketika.
Peristiwa sederhana ini memaksa para penghuni Apartemen Kencana untuk keluar dari cangkangnya. Ardi tidak bisa lagi bekerja, Ibu Ratna khawatir sayurannya di kulkas akan membusuk, dan semua orang menyadari betapa rentannya mereka saat sendirian. Kegelapan di luar ternyata memaksa mereka untuk mencari cahaya di dalam diri satu sama lain.
Ekonomi Gotong Royong Skala Kecil
Momen-momen paling hangat dalam novel ini terjadi selama masa pemadaman tersebut. Penulis dengan indah menggambarkan bagaimana sebuah komunitas instan terbentuk dari kebutuhan bersama. Ini bukanlah tentang tindakan kepahlawanan yang besar, melainkan tentang sebuah ekonomi gotong royong dalam skala kecil. Ibu Ratna membagikan hasil kebunnya kepada para tetangga sebelum layu. Pak Tirtayasa mengeluarkan keahliannya untuk menyalakan generator darurat demi pompa air gedung.
Ardi, yang terbiasa hidup sendiri, menemukan dirinya membantu mengangkat galon air untuk para lansia. Novel ini menunjukkan bahwa kekayaan sebuah komunitas yang sesungguhnya bukanlah uang, melainkan kumpulan keahlian, sumber daya, dan kemauan untuk berbagi yang dimiliki oleh para anggotanya. Mereka menemukan kehangatan bukan dari listrik, tetapi dari interaksi manusia.
Pertanyaan Setelah Terang: Apakah Hubungan Ini Akan Bertahan?
Namun, novel ini menolak untuk memberikan sebuah akhir dongeng yang naif. Inilah yang membuatnya terasa begitu nyata dan berkesan. Ketika listrik akhirnya kembali menyala, dan dunia digital kembali memanggil, novel ini mengajukan sebuah pertanyaan yang sedikit melankolis, yaitu apakah hubungan yang telah terjalin dalam gelap ini akan bertahan di bawah terang? Godaan untuk kembali ke rutinitas individual yang nyaman sangatlah kuat.
Ardi kembali tenggelam dalam pekerjaannya, dan obrolan di koridor mulai berkurang. Novel ini secara realistis menunjukkan bahwa kehangatan komunitas bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia perlu dirawat dan diperjuangkan secara sadar, bahkan setelah krisis berlalu. Harapannya ada, tetapi tidak ada jaminan.
Pada akhirnya, People Like Us adalah sebuah novel yang terasa seperti secangkir teh hangat di hari yang hujan. Ia tidak menawarkan plot yang memacu adrenalin, tetapi memberikan kehangatan yang meresap perlahan ke dalam hati. Pesan utamanya begitu sederhana namun sangat kuat, bahwa orang-orang seperti kita, yang kadang merasa kesepian dan mendambakan hubungan, sebenarnya ada di mana-mana. Terkadang, yang kita butuhkan hanyalah sebuah pemadaman listrik metaforis dalam hidup kita untuk memaksa kita mengangkat kepala dari layar, melihat sekeliling, dan menyadari bahwa tetangga kita mungkin adalah teman yang selama ini kita cari.
Rial Roja Saputra
Hai! Saya seorang penulis yang jatuh cinta dengan kata-kata dan cerita.
Total Artikel 133