Ulasan
Tradisi Perempuan Jepang di Tahun 1930-an di Novel The Makioka Sisters

Yoursay.id - Membaca The Makioka Sisters karya Jun’ichiro Tanizaki terasa seperti menelusuri lembar-lembar foto lawas dari Jepang pra-perang, yang indah namun mulai memudar warnanya.
Cerita berfokus pada kehidupan sehari-hari para saudari Makioka: Tsuruko, Sachiko, Yukiko, dan Taeko. Mereka berjuang untuk mempertahankan nama baik keluarganya ketika zaman mulai bergeser.
Yukiko merupakan seorang kakak yang anggun dan pemalu harus menghadapi tuntutan sosial soal pernikahan untuk mempertahankan martabat dan citra publik. Ia dipaksa untuk menjalani berbagai serangkaian perjodohan yang rumit.
Sedangkan si bungsu, Taeko, ia juga berusaha untuk melawan nilai-nilai lama yang dirasanya tidak sesuai untuk diterapkan di zaman yang sudah berubah.
The Makioka Sisters karya Jun’ichiro Tanizaki adalah tipe novel yang tidak bisa dibaca terburu-buru. Ia seperti teh hijau yang harus diseduh pelan-pelan agar rasa dan aromanya keluar sempurna. Ditulis dengan gaya yang tenang dan penuh detail, novel ini adalah potret elegan dari masyarakat Jepang kelas menengah atas di masa transisi menjelang Perang Dunia II.
Semuanya dihidangkan dengan nada yang lembut dan ritme yang lambat, tetapi tetap menggugah rasa.
Tapi di balik keindahan itu, ada rasa getir. Ada kesan bahwa dunia yang para tokohnya cintai perlahan memudar, tergantikan oleh modernitas yang tidak mereka pahami sepenuhnya.
Apa yang membuat novel ini begitu menarik adalah bagaimana ia menangkap ketegangan antara tradisi dan modernitas. Seperti teh yang diseduh perlahan. Hangat, pahit, dan menenangkan sekaligus.
Bagian Yukiko yang dipaksa untuk menerima perjodohan dan Taeko yang terus memberontak karena tuntutan dan norma yang berlaku menjadi salah satu konflik utama di novel ini.
Konflik batin dan sosial ini ditulis tanpa dramatisasi berlebihan, namun justru terasa lebih dalam karena kediamannya.
Menariknya, penulis juga menyisipkan referensi sejarah seperti Perang Tiongkok dan banjir besar di Kobe tahun 1938. Ketegangan politik di zaman itu rasanya sangat tergambar dengan jelas di bagian ini. Seperti bayangan yang terus menghantui kehidupn setiap tokoh.
Semuanya seperti bayangan yang perlahan merayap di balik kehidupan sehari-hari para tokoh. Ini membuat kita sadar bahwa dunia mereka sedang menuju perubahan besar, meskipun di permukaan, semuanya masih tampak berjalan biasa.
Yang paling menonjol dari novel ini adalah perhatiannya pada detail budaya, adat istiadat, cara berpikir, peran gender, hingga kesadaran kelas. Tanizaki tidak sedang mengkritik atau memuja, tapi lebih pada menyuguhkan potret yang jujur dan halus dari sebuah masyarakat yang perlahan-lahan harus melepaskan masa lalunya.
The Makioka Sisters bukanlah novel yang hanya membahas tentang kisah empat orang saudara dan pergelutannya dengan keluarganya.
Novel ini juga tentang Jepang itu sendiri, tentang pergeseran nilai, tentang bagaimana generasi lama dan baru saling bersinggungan, dan tentang kehilangan sesuatu yang tak bisa kembali.
Kalau kamu menyukai kisah keluarga yang indah, elegan, namun penuh makna mendalam, novel ini bisa dijadikan rekomendasi bacaan. Tidak hanya itu, novel ini juga bisa kalian jadikan referensi untuk melihat potret Jepang di tahun 1930-an.
Ia mengajak kita merenung pelan-pelan, sambil duduk di tepi musim semi yang tak bisa kita hentikan lajunya.
The Makioka Sisters menjadi sebuah karya sastra yang indah dan penuh nuansa. Mungkin bukan bacaan untuk semua orang—karena ritmenya yang lambat dan narasinya yang lembut—tapi bagi yang sabar, ini adalah pengalaman membaca yang sangat memuaskan dan menghangatkan hati.