ulasan
Kasus Kematian Kolonel Protheroe dalam Novel Pembunuhan di Wisma Pendeta

Yoursay.id - Novel Pembunuhan di Wisma Pendeta (The Murder at The Vicarage) merupakan novel pertama karya Agatha Christie yang memperkenalkan Miss Jane Marple. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1930, sedangkan di Indonesia hak terjemahannya dimiliki Gramedia Pustaka Utama dan novelnya diterbitkan pada 2018.
Jika sebelumnya para penggemar novel fiksi detektif karya Agatha terbiasa dengan karakter Hercule Poirot, bolehlah kali ini bersinggungan dengan detektif lain dalam rupa seorang wanita tua, Miss Jane Marple, yang memiliki intuisi tajam dan mampu mengurai misteri yang terjadi di desa St. Mary Mead.
Kisah bermula ketika desa St. Mary Mead menjadi gempar karena kabar kematian Kolonel Protheroe di Wisma Pendeta, tepatnya di ruang kerja pendeta Leonard Clement. Kolonel yang tak disukai hampir oleh seluruh penduduk desa tersebut ditembak di belakang kepala. Mati seketika.
Penyelidikan dilakukan baik oleh Inspektur Slack maupun Kolonel Melchett, juga oleh sang pendeta sendiri karena ia merasa bertanggungjawab karena pembunuhan tersebut terjadi di ruang kerjanya.
Ketika Lawrence Redding, pelukis yang menempati gudang di dekat Wisma Pendeta sebagai tempat kerja, mengakui dirinya sebagai pembunuh sang Kolonel, hal itu mendapat sanggahan dari istri mendiang Kolonel, Anne Protheroe, yang balik mengaku bahwa dirinya yang membunuh suaminya tersebut.
Jadi, siapakah sang pembunuh sebenarnya? Mengapa Miss Jane Marple, sebagai tetangga terdekat dari Wisma Pendeta, mengatakan bahwa ada 7 orang yang bisa dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan sang kolonel? Bahkan sang pendeta pernah mengatakan keinginannya melihat sang kolonel mati.
Aku baru saja selesai mengiris-iris daging sapi rebus yang sangat alot, dan ketika kembali duduk kubilang dengan sengit—lupa bahwa aku pendeta—bahwa siapa pun yang membunuh Kolonel Protheroe berarti telah berbuat kebajikan kepada seisi dunia. (Hal. 7)
Terus terang saja, saya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan novel Pembunuhan di Wisma Pendeta (The Murder at The Vicarage). Cerita berjalan lambat, meskipun awalnya seperti selesai dengan cepat dengan terbongkarnya pelaku pembunuhan, karena adanya pengakuan dari Mr. Redding dan Mrs. Protheroe. Tapi tentu saja, Agatha Christie tak akan semudah itu merancang novel luar biasa ini.
Melalui sudut pandang dari Pendeta Clement sebagai narator cerita, para pembaca akan melihat begitu peliknya kasus pembunuhan Kolonel Protheroe. Setelah pengakuan Mr. Redding dan Mrs. Protheroe dimentahkan dan mereka dibebaskan karena tak ada kecukupan bukti dan adanya alibi yang mereka miliki, muncul berbagai kejadian yang membuat masalah pembunuhan tersebut tak ubahnya seperti benang kusut.
Banyaknya tokoh dalam novel ini juga membutuhkan konsentrasi tinggi bagi para pembaca. Saya beberapa kali harus membalik halaman, untuk mencari tahu kembali siapa itu Hawes, Haydock, Gladys Cram, Mrs. Lestrange, Mrs. Price Ridley, dan beberapa tokoh pendamping lain. Belum ditambah lagi para tokoh utama yang jumlahnya juga cukup banyak.
Pemilihan Pendeta Clement sebagai narator, menurut saya merupakan hal yang cerdas. Sebagai seorang pendeta tentu saja Mr. Clement berada pada posisi netral di tengah maraknya gosip, asumsi, praduga, dari para warga desa St. Mary Mead, juga dari konflik-konflik yang terjadi, yang saling tumpah tindih dengan kasus pembunuhan Kolonel Protheroe.
Kehadiran Miss Marple sendiri sebagai ‘detektif desa’, tentu tak bisa diabaikan. Melalui pengamatan tajam, intuisi, pengalaman hidup, dan kepekaan sosialnya, Miss Marple dengan gaya berbicaranya yang berhati-hati, matang, sekaligus detail, mampu menganalisis kasus pembunuhan Kolonel Protheroe melalui fakta-fakta yang njelimet.
Seperti dalam banyak karyanya, Agatha Christie tak hanya memberikan misteri, suspense, teka-teki, dan intrik dalam setiap novelnya, tapi juga menggambarkan potret sosial masyarakat Inggris pada masanya, isu-isu sosial dan standar moral (dalam novel ini adanya perselingkuhan, dana gereja yang diselewengkan, bisik-bisik tentang istri pendeta, Griselda, yang muda, funky, jauh dari tabiat istri yang soleh), reputasi, serta batas-batas keadilan dan hukum.
Secara keseluruhan, novel Pembunuhan di Wisma Pendeta (The Murder at The Vicarage) telah menyajikan ketegangan dan ironi, serta plot twist yang benar-benar mengecoh saya selaku pembaca, mencengangkan, penuh tipu daya, dan menghentak di akhir cerita.