ulasan
Ungkapan Rasa Sesak yang Tertahan dari Buku Dari Aku yang Hampir Menyerah

Yoursay.id - Di tengah tuntutan zaman yang kian bising dan tekanan untuk “menjadi berhasil” yang semakin keras menggema, Dari Aku yang Hampir Menyerah hadir sebagai pengakuan lirih yang jujur, mungkin terlalu jujur.
Buku ini adalah semacam catatan harian emosional dari seorang anak muda yang tengah menghadapi realitas hidup dengan segala luka, penolakan, dan kelelahan yang menyertainya.
Ditulis oleh Khoirul Trian, buku ini mencoba merangkul siapa saja yang pernah merasa ingin berhenti, menyerah, dan kehilangan arah.
Sejak lembar-lembar awal, penulis mengajak pembaca menyusuri sudut-sudut kelam pikirannya, tentang kegagalan yang terus datang silih berganti, tentang tuntutan dari lingkungan yang terasa mustahil untuk dipenuhi, hingga rasa tertekan saat melihat keberhasilan orang lain berseliweran di media sosial.
Semua disampaikan dengan cara yang lugas dan tanpa hiasan, tanpa kutipan motivasi atau kalimat penguat yang biasanya ditemukan dalam buku bertema serupa. Hal ini bisa dilihat sebagai kelebihan, namun sekaligus juga menjadi sisi lemahnya.
Kurang lebih seratus halaman, ad banyak narasi pendek yang terasa seperti unek-unek penulis. Tema-temanya meliputi patah hati, perjuangan meraih mimpi, kehilangan, ketakutan menghadapi masa depan, dan relasi dengan keluarga.
Ada beberapa tulisan yang terasa menyentuh dan dekat dengan kita, tapi ada juga yang terasa seperti sekedar keluhan yang tak ada ujungnya.
Buku ini tidak memiliki pembagian bab yang jelas berdasarkan tema. Alurnya juga terasa melompat-lompat, dari yang awalnya membahas tentang patah hati, menuju ke masalah hidup, tiba-tiba kembali lagi ke masalah keluarga.
Bagi sebagian pembaca, hal ini bisa menciptakan kesan kurang rapi atau bahkan membingungkan. Meski begitu, hal ini juga menunjukkan bahwa pikiran manusia kadang bekerja secarra cak dan tidak terstruktur.
Gaya bahasa yang digunakan penulis cukup sederhana dan langsung. Tidak banyak kalimat manis atau puiris disini.
Ini menjadi nilai tambah karena membuat isi buku terasa lebih dekat dan membumi. Rasanya kita disini seperti mendengarkan curhatan hati seorang teman, bukan curhatan kita yang didengar.
Namun, sebagai buku yang disebut-sebut sebagai self-healing, Dari Aku yang Hampir Menyerah sayangnya belum sepenuhnya berhasil memberikan ruang penyembuhan bagi pembacanya.
Proporsi antara keluhan dan motivasi terasa timpang. Sekitar 80% isi buku dipenuhi dengan kesedihan, kelelahan, dan kekecewaan penulis, sementara pesan-pesan penyemangat baru muncul di bagian akhir, dan itu pun tidak terlalu dominan.
Bagi kalian yang merasa ada di fase titik terendah, mungkin buku ini bisa menjadi bacaan untuk menyemangati kalian untuk merasa bahwa “kamu tidak sendirian.
Namun, untuk kalian yang sedang mencari motivasi untuk bangkit dari keterpurukan, buku ini sepertinya kurang cocok. Karena isinya rasanya terlalu gelap. Alih-alih memberi semangat, ia justru memperkuat perasaan lelah dan tak berdaya.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri buku ini masih memiliki tempat sendiri bagi sebagian pembaca. Kejujurannya menjadi kekuatan utama.
Di tengah banyaknya buku pengembangan diri yang dipenuhi nasihat ideal, Dari Aku yang Hampir Menyerah tampil dengan wajah yang lebih manusiawi: rentan, ringkih, dan tidak selalu tahu harus bagaimana.
Dalam dunia yang menuntut kita untuk terus tegar dan tersenyum, buku ini seolah berkata, “Tak apa merasa hancur, yang penting kamu masih bertahan.”
Buku ini cocok dibaca ketika kalian bersantai di waktu luang. Ia bukan buku yang memberi solusi, tapi cukup berhasil memberikan ruang pengakuan bagi rasa lelah yang selama ini dipendam. Dan terkadang, itu saja sudah cukup.