rona

Harga Udara Bersih di Jakarta: Mahal, Langka, dan Terpinggirkan

Harga Udara Bersih di Jakarta: Mahal, Langka, dan Terpinggirkan
Suasana Jakarta yang terlihat samar karena polusi udara difoto dari atas Gedung Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Jakarta, Selasa (25/7/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Yoursay.id - Selamat datang di Jakarta, satu-satunya kota di dunia di mana Anda bisa “merokok” tanpa korek. Tidak perlu Marlboro, cukup hirup udara pagi, dan tenggorokan Anda akan mengira sedang berada di zona perang.

Di kota yang bangunannya menjulang ke langit tapi ruang hijaunya menghilang seperti janji kampanye, udara bersih bukan lagi hak dasar, melainkan barang mewah.

Kita sedang membicarakan ibu kota Republik Indonesia—kota yang secara rutin bertengger di daftar kota dengan polusi terburuk sejagat, bersanding mesra dengan New Delhi dan Beijing. Prestasi yang sayangnya tidak layak dibanggakan.

Bayangkan! Anda bangun pagi, berniat jogging ke taman, tapi taman terdekat ada lima kilometer dan penuh cor-coran. Udara yang Anda hirup mengandung PM2.5 yang lebih pekat dari bubuk kopi hitam. Ironisnya, kita seolah sudah pasrah. Udara Jakarta kini seperti mantan toksik. Kita tahu dia buruk buat kita, tapi tetap saja kita temui setiap hari.

Sementara itu, solusi dari pemerintah ibarat kipas angin di tengah kebakaran hutan. Niat ada, tapi tidak terasa. Maka wajar jika pertanyaan besar mulai bergema, "Mengapa udara bersih di Jakarta semakin mahal, langka, dan terpinggirkan?"

Ruang Hijau yang Dipreteli, Udara yang Dicemari

Mari kita bicara statistik, walaupun terdengar membosankan, karena kadang kebenaran paling getir memang tersembunyi dalam angka.

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa setiap kota wajib menyediakan setidaknya 30% dari total luas wilayahnya sebagai ruang terbuka hijau (RTH).

Untuk Jakarta, itu artinya 198,69 kilometer persegi. Realitanya? Hanya sekitar 5% atau 33,34 kilometer persegi. Lebih sedikit dari ukuran bandara Soekarno-Hatta!

Jakarta Timur jadi satu-satunya wilayah yang tampaknya masih memelihara paru-paru kotanya (30,65% RTH), sementara Kepulauan Seribu—ironi yang menyakitkan—hanya memiliki 0,03%. Kalau ini ujian nasional, Jakarta pasti remedial.

Mengapa ini penting? Karena RTH bukan semata tempat selfie atau pacaran. Dalam studi oleh Wu & Liu (2023), terbukti bahwa penurunan luas RTH berkorelasi langsung dengan meningkatnya konsentrasi polutan seperti PM2.5 dan karbon monoksida (CO). Polutan ini tidak hanya bikin sesak, tapi juga meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan kematian dini.

Lodewijk Rumere dkk. (2024) dalam studi di Jayapura bahkan menemukan bahwa peningkatan luas RTH dapat menurunkan kadar CO secara signifikan. Jika Jayapura bisa, kenapa Jakarta tidak? Jawabannya: karena di Jakarta, tanah lebih dianggap emas kalau bisa dijual, bukan kalau bisa ditanami.

Ekonomi Menang, Ekologi Tumbang

Politik ruang di Jakarta seperti kompetisi PUBG: siapa cepat, dia dapat. Lahan kosong jadi rebutan antara developer properti, pengembang jalan tol, dan, sayangnya, bukan Dinas Pertamanan.

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, dalam rapat dengan DPR (30 April 2025), menyebut bahwa mereka menargetkan peningkatan RTH hingga 10% selama lima tahun ke depan.

Target ini, walaupun lebih baik daripada tidak sama sekali, tetap jauh dari kewajiban 30%. Angka ini terasa seperti seseorang yang janji akan “olahraga rutin” tapi cuma niat lari satu kali seminggu ke dapur.

Muhammad Aminullah dari Walhi Jakarta menyentil realitas pahit: pemerintah tergoda untuk memonetisasi lahan kosong demi pemasukan daerah.

Alih-alih memikirkan ekosistem, mereka melihat lahan sebagai spreadsheet dengan nilai jual tinggi. Maka lahirlah kota-kota berlapis beton dengan kantong udara seperti janda bolong: bolong di mana-mana.

Kita seolah hidup dalam logika ekonomi brutal: tiap jengkal tanah harus menghasilkan uang. Kalau bisa dijadikan mall, kenapa harus jadi taman? Kalau bisa dibangun apartemen, kenapa dibiarkan jadi hutan kota? Maka tidak heran bila pemerintah lebih giat meresmikan tower apartemen baru daripada menanam pohon jambu.

Warga Terusik demi Taman Plastik

Sebagian dari Anda mungkin berpikir: “Kalau butuh ruang hijau, ya tinggal bangun saja. Kan gampang?” Tidak semudah itu, Ferguso. Membuat ruang hijau di kota seperti Jakarta butuh lahan, dan lahan kosong di sini langkanya setara dengan politisi yang mengundurkan diri karena malu.

Karena itulah, pemerintah mulai melirik kawasan permukiman rakyat untuk dikonversi jadi RTH. RDTR 2022 misalnya, menetapkan sembilan wilayah seperti Muara Angke, Kelapa Gading Barat, hingga Cilincing sebagai calon ruang hijau. Masalahnya, di sana ada rumah warga, masjid, bengkel, bahkan sawah.

Mengubah rumah jadi taman tentu terdengar mulia, sampai kita sadar artinya menggusur warga yang sudah puluhan tahun tinggal. Ini seperti menyuruh seseorang keluar dari rumahnya agar kita bisa duduk-duduk sambil baca buku. Atas nama lingkungan, hak asasi manusia pun terancam.

Aminullah dengan tegas menyatakan bahwa penggusuran demi taman tetap saja pelanggaran HAM. Kritik ini bukan anti-lingkungan, melainkan anti-kemunafikan. Karena sering kali, proyek lingkungan hanya jadi kamuflase untuk relokasi warga miskin.

Apakah ruang hijau penting? Ya. Apakah boleh dicapai dengan cara menindas? Tentu tidak. Ini bukan cuma soal lingkungan, tapi juga keadilan.

Ide Gila tapi Masuk Akal—Waktunya RTH Naik Level

Tunggu dulu. Masa kita harus menyerah? Tentu tidak. Justru sekarang saatnya menggila, dalam arti yang positif.

Pertama, mari gunakan lahan milik pemerintah yang masih menganggur. Setiap kantor kelurahan pasti punya halaman yang bisa ditanami. Tiap atap gedung bisa jadi taman. Balkon apartemen bisa diubah jadi hutan mini. Bahkan parkiran bisa disulap jadi kebun vertikal.

Bun Joi Phiau dari DPRD DKI Jakarta menyarankan hal ini, dan idenya bukan cuma manis di telinga. Ini sudah dilakukan di kota-kota seperti Singapura, Seoul, bahkan Bandung. Pemerintah tinggal mencontoh, tanpa perlu studi banding lima kali setahun ke luar negeri.

Kedua, dorong insentif bagi warga dan pengelola gedung untuk membuat ruang hijau sendiri. Beri potongan pajak bagi apartemen yang punya rooftop garden, beri subsidi bagi RW yang mau menanam pohon di jalan, atau kompetisi antar-RT siapa yang paling hijau.

Ketiga, ganti mindset. Tanah di kota bukan hanya soal nilai jual, tapi soal nilai hidup. Kalau terus menerus dilihat sebagai komoditas, maka udara bersih pun akan dijual dalam botol.

Tahun ini Pemprov Jakarta menganggarkan Rp 87,6 miliar untuk 21 ruang hijau baru dan penataan 73 lokasi. Kedengarannya besar, tapi sebenarnya hanya 118.755 meter persegi—alias tidak sampai 1% dari luas Jakarta. Kita butuh lebih dari itu, baik secara fisik maupun politis.

Udara Bersih Bukan Bonus, tapi Hak

Jakarta saat ini seperti pasien paru-paru yang terus disuruh lari maraton. Polusi membumbung, ruang hijau menyusut, dan kita semua hanya bisa pakai masker, bukan solusi.

Udara bersih tidak boleh jadi kemewahan yang hanya bisa dinikmati di apartemen elite atau kompleks golf. Ia adalah hak dasar, sebagaimana air minum dan cahaya matahari. Ketika udara bersih jadi langka, maka yang rusak bukan hanya paru-paru kita, tapi juga arah peradaban.

Apakah mungkin Jakarta bisa berubah? Bisa. Tapi hanya jika kita mengubah cara pandang. Dari melihat kota sebagai tempat bisnis, menjadi tempat hidup. Dari melihat ruang sebagai nilai tukar, menjadi nilai bersama. Dan dari mengelola kota untuk elite, menjadi mengelola untuk semua.

Karena di ujung napas kita yang tercekat, ada satu pertanyaan yang tak bisa lagi diabaikan: Kalau udara bersih saja tidak bisa kita perjuangkan bersama, lalu untuk apa kita tinggal di kota?

Yudi Wili Tama

Yudi Wili Tama

Dosen freelance yang Menulis dengan Tujuan untuk Bersuara

Total Artikel 30

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda