News
Gustika Hatta Viral usai Sebut Presiden Penculik, Ini Riwayat Pendidikan dan Aktivismenya

Yoursay.id - Gustika Jusuf Hatta, cucu proklamator Bung Hatta, kembali menarik perhatian publik usai hadir dengan busana simbolik dalam perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 di Istana Negara, 17 Agustus 2025.
Pilihan berpakaiannya yang sarat makna menjadi perbincangan luas, terlebih saat ia melontarkan kritik keras yang menyebut Indonesia kini dipimpin oleh “presiden penculik dan wakil anak haram konstitusi.”
Ungkapan tersebut mengundang respons besar di media sosial dan memperkuat citranya sebagai sosok muda yang berani bersuara.
Keberanian Gustika menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah tidak datang begitu saja. Ia dikenal sebagai pribadi yang vokal dalam isu-isu demokrasi, hak asasi manusia (HAM), serta sejarah nasional, dengan dukungan latar pendidikan yang kuat di dalam dan luar negeri.
![Gustika Jusuf Hatta pakai kebaya hitam saat HUT RI ke-80 [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/18/32306-gustika-jusuf-hatta-pakai-kebaya-hitam-saat-hut-ri-ke-80-instagram.jpg)
Pengalaman akademik dan aktivisme lintas forum internasional telah membentuk perspektifnya yang tajam terhadap kekuasaan dan keadilan.
Di balik ekspresinya yang lantang, Gustika memiliki pondasi intelektual yang kokoh dan pengalaman panjang dalam berbagai isu sosial dan politik.
Berikut ini adalah latar pendidikan dan perjalanan profesional yang menjelaskan dasar dari kritik yang ia suarakan.
Riwayat Pendidikan Gustika Jusuf Hatta
Gustika Hatta mengenyam pendidikan di berbagai lembaga ternama internasional. Ia pernah menjalani studi selama satu tahun di Sciences Po Lyon (Institut d’Etudes Politiques de Lyon), Prancis, untuk mempelajari dasar-dasar ilmu politik dan hubungan internasional. Pendidikan itu menjadi pijakan awal dalam pembentukan kerangka berpikir politik dan globalnya.
Pada tahun 2015, Gustika melanjutkan pendidikannya di King’s College London dan berhasil meraih gelar Bachelor of Arts (Hons) dalam bidang War Studies. Program tersebut memperdalam pemahamannya tentang sejarah militer, strategi, keamanan global, serta kebijakan luar negeri. Latar belakang ini turut membentuk sudut pandangnya dalam membaca situasi politik dan konflik kekuasaan di Indonesia.
Gustika juga mengikuti kursus singkat di University of Oxford dan Sotheby’s Institute of Art, memperluas wawasan di bidang kebijakan, budaya, dan ekonomi kreatif.
Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Geneva Academy of International Humanitarian Law and Human Rights. Ia mengikuti program Master of Advanced Studies (MAS) dengan fokus pada hukum internasional dalam konflik bersenjata.
Program eksekutif tersebut dirancang bagi para profesional yang bekerja di bidang hukum kemanusiaan, perlindungan sipil, serta isu-isu HAM dalam situasi konflik dan perang. Kombinasi ini menjadikannya figur muda dengan kredibilitas intelektual dalam bidang yang ia suarakan.
Kiprah Internasional dan Jaringan Advokasi

Sejak usia muda, Gustika sudah aktif di berbagai forum internasional. Pada tahun 2012, ia terpilih sebagai delegasi muda dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) yang digelar di Doha, Qatar.
Pada tahun berikutnya, ia menjadi intern untuk Delegasi Indonesia di UNESCO Youth Forum, memberi kesempatan baginya untuk memahami isu-isu global terkait pendidikan, sains, dan budaya.
Pengalamannya terus berkembang melalui keterlibatan dalam forum pemuda PBB yang fokus pada isu perempuan dan magang di perwakilan Indonesia untuk PBB. Aktivitas ini memperluas wawasannya mengenai sistem multilateral dan kerangka hukum internasional tentang hak asasi manusia.
Pengalaman Profesional
Dalam ranah profesional, Gustika pernah bergabung sebagai anggota Youth Advisory Panel (YAP) dari UNFPA Indonesia. Di sana, ia ikut merumuskan agenda advokasi bagi kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan dari perspektif pemuda.
Dari 2020 hingga 2022, Gustika bekerja sebagai peneliti di Imparsial, lembaga pemantau HAM di Indonesia. Fokusnya meliputi reformasi sektor keamanan, isu Papua, serta kekerasan politik, yang memperkuat posisinya sebagai analis kritis dalam isu-isu HAM domestik.
Selain itu, ia juga menjabat sebagai National Youth Consultant untuk Plan International Indonesia dalam program JobStart Indonesia, yang didukung oleh Asian Development Bank. Proyek ini bertujuan mendorong pemberdayaan dan akses pemuda ke dunia kerja.
Gustika juga aktif di media digital sebagai podcaster dan kreator konten di jaringan Box2Box. Melalui platform tersebut, ia menyampaikan isu-isu sosial politik dalam format yang santai dan dapat menjangkau generasi muda urban.
Apresiasi dan Beasiswa
Kiprah dan kontribusinya mendapat pengakuan di tingkat internasional. Pada tahun 2018, Gustika terpilih sebagai ASEAN Youth Fellow, jejaring pemimpin muda Asia Tenggara yang berfokus pada kolaborasi lintas negara. Pada tahun 2022, ia memperoleh beasiswa penuh dari Nuffic Orange Knowledge Programme.
Beasiswa itu memfasilitasinya mengikuti pelatihan Conflict, Rule of Law, and Local Security di The Hague Academy for Local Governance, Belanda. Pengalaman tersebut menambah pemahamannya dalam tata kelola keamanan, konflik lokal, dan supremasi hukum.
Sebut Indonesia Dipimpin Presiden Penculik dan Wakil Anak Haram Konstitusi

Gustika dalam unggahan Instagram menjelaskan alasannya mengenakan kebaya hitam dan batik slobog saat menghadiri upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-80 di Istana Negara.
“Walau bukan Kamisan, pagi ini aku memilih kebaya hitam yang sengaja kupadukan dengan batik slobog untuk memperingati 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia,” tulis Gustika.
Ia menjelaskan, pilihan busana gelap itu wujud dari ekspresi rasa syukur sekaligus duka mendalam akibat banyaknya persoalan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
“Bahkan kini kita dipimpin oleh seorang Presiden penculik dan penjahat HAM, dengan Wakil anak haram konstitusi,” ujarnya.
Tak cukup sampai di situ, Gustika turut menyinggung kekerasan aparat, penulisan sejarah yang dianggap menghapus dosa penguasa, hingga tragedi di Pati yang merenggut korban jiwa.
“Jujur tidak sampai hati merayakan hari kemerdekaan Indonesia ke-80 tanpa rasa iba, dengan peristiwa-peristiwa yang mengkhianati nilai kemanusiaan,” tulisnya lagi.