Kolom
Nggak Semua Orang Harus Dengerin Musik Indie buat Dianggap Punya Selera

Yoursay.id - Lucu, ya. Di era algoritma, orang masih percaya bahwa selera bisa menunjukkan tingkat “keberadaban”. Seakan lagu yang viral tak punya nilai estetika, dan yang indie selalu lebih luhur. Padahal mungkin mereka sekadar ingin diakui.
Kita sering lupa bahwa musik tidak lahir untuk menegaskan kelas sosial. Ia tumbuh dari rasa, bukan dari kurasi eksklusif di platform streaming atau daftar putar yang harus terdengar “berbeda dari orang kebanyakan.”
Tapi entah sejak kapan, pendengaran jadi semacam identitas, dan selera berubah jadi alat pembeda antara yang dianggap “berwawasan” dan “sekadar ikut tren.”
Ironisnya, di balik klaim itu, banyak dari kita justru terjebak dalam pencarian validasi yang sama: ingin tampak punya selera, bukan benar-benar menikmati. Kita menilai bukan dari lagu yang menyentuh, tapi dari seberapa jarang orang lain mendengarnya.
Lucunya lagi, semakin keras orang meremehkan selera orang lain, semakin terlihat betapa mereka juga ingin dianggap. Kita menertawakan lagu-lagu pop yang katanya dangkal, tapi diam-diam ikut menyanyikannya di kepala. Kita mengejek lagu yang viral, tapi tak bisa menahan diri untuk ikut menari saat terdengar.
Di situlah letak kejujuran yang sering kita sembunyikan, bahwa mungkin bukan selera yang kita cari, tapi penerimaan. Kita ingin dianggap paham, dianggap punya rasa, dianggap tidak seperti kebanyakan.
Lebih lucunya lagi, semakin tinggi seseorang menilai selera musiknya sendiri, semakin ia lupa bahwa musik tak pernah dimaksudkan untuk dijadikan bukti superioritas. Kita sering memperlakukan lagu seperti simbol status kultural atau semacam kartu identitas yang menegaskan di mana posisi kita dalam peta sosial.
Fenomena ini bukan cuma soal musik, tapi cara kita memaknai gengsi budaya. Seolah keindahan harus eksklusif agar diakui bernilai.
Masalahnya, kita hidup di lingkungan yang gemar mengukur rasa. Apa pun yang disukai banyak orang dianggap dangkal, sementara yang disukai oleh segelintir orang dianggap berkelas.
Padahal, penilaian itu tidak lahir dari kualitas bunyi, melainkan dari kebutuhan sosial untuk merasa “berbeda.” Maka selera bukan lagi tentang mendengar, tapi tentang memisah. Tentang bagaimana kita ingin dilihat, bukan tentang apa yang benar-benar kita rasakan.
Mungkin itu sebabnya, semakin banyak orang yang takut mengakui bahwa mereka menyukai sesuatu yang populer. Karena di dunia yang terlalu cepat menghakimi, selera berubah jadi alat ukur kedewasaan, bukan lagi soal kesenangan.
Permasalahan ini tentunya melahirkan semacam ketegangan halus antara keinginan untuk jujur dengan diri sendiri dan keinginan untuk diterima oleh orang lain. Dan di tengah ketegangan itu, sering kali musik justru kehilangan fungsinya.
Karena pada akhirnya, tak ada lagu yang benar-benar salah untuk didengarkan. Tak ada selera yang lebih tinggi dari yang lain. Yang ada hanya bagaimana cara kita memaknai musik.
Lebih jauh lagi, mungkin di sanalah letak kelelahan zaman ini. Terkadang kita lebih sibuk membuktikan diri daripada menikmati





