Kolom
Gawai, AI, dan Jerat Adiksi Digital yang Mengancam Generasi Indonesia

Yoursay.id - Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mengalami lonjakan penggunaan internet yang cukup signifikan. Berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2025, jumlah pengguna internet aktif di Indonesia mencapai 229,4 juta atau sekitar 80,66% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan pengguna internet yang kian meningkat yang didominasi oleh Gen Z dan Milenial, dua generasi sebagai motor penggerak ruang digital dan ruang maya.
Dari kacamata kemajuan digital, kehadiran angka-angka tersebut tentu menggembirakan. Persentase 80,66% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia menandakan betapa tangkas masyarakat Indonesia beradaptasi dengan teknologi. Percepatan digitalisasi di hampir semua bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga hiburan, juga turut andil dalam peningkatan jumlah pengguna internet aktif yang grafiknya kian hari kian naik ini.
Namun, di balik tingginya angka pengguna internet aktif di Indonesia, tersimpan ironi yang tidak bisa diabaikan. Makin terkoneksi masyarakat dengan internet, makin besar pula risiko mereka terperangkap dalam ketergantungan digital.
Dominasi demografi usia produktif dari generasi Z dan Milenial menandakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia kini hidup dalam ekosistem digital yang sangat personal. Hal tersebut membawa konsekuensi serius karena gawai yang mereka gunakan dan layanan ruang maya yang mereka nikmati ditenagai oleh kecerdasan buatan (AI) yang terus mempersonalisasi konten. Dalam konteks ini, Gen Z dan Milenial, menjadi kelompok yang paling rentan terhadap fenomena tersebut. Kecerdasan buatan di balik gawai yang selalu mereka pegang, mempelajari bagaimana kebiasaan digital mereka, memahami selera, bahkan memprediksi apa saja yang ingin mereka lihat selanjutnya. Pengguna gawai kini seolah bukan lagi pemegang kendali penuh, melainkan bagian dari eksperimen besar yang digerakkan oleh data.
Istilah doom scrolling untuk menggambarkan kebiasaan menggulir berita atau video tanpa henti meski membuat cemas, menjadi gejala umum dari adiksi digital yang diam-diam menggerogoti keseharian generasi muda. Adiksi digital bukan sekadar menyoal waktu yang terbuang percuma, melainkan juga berpengaruh terhadap kesehatan mental dan kualitas hubungan sosial. Generasi muda kini mudah merasa kesepian sebab terjadi ironi konektivitas, yaitu mereka terhubung secara virtual dengan ribuan orang, tetapi kehilangan kedalaman interaksi tatap muka untuk membangun ikatan emosional dan sosial.
Konsekuensi paling nyata dari adiksi digital bagi generasi muda Indonesia adalah hilangnya ketahanan mental (resiliensi). Ketika pengguna terperangkap dalam lingkungan digital yang selalu terpersonalisasi oleh kecerdasan buatan, mereka kehilangan kemampuan untuk menghadapi frustrasi, penolakan, dan perbedaan pendapat yang tidak terhindarkan dari kehidupan sosial dan profesional. Mereka kesulitan menghadapi realitas yang tidak selalu sesuai dengan algoritma, kesulitan untuk bernegosiasi dalam hubungan interpersonal yang kompleks, dan cenderung mudah menyerah ketika proses belajar atau bekerja memerlukan konsentrasi serta upaya kognitif yang intensif, sebab kecerdasan buatan telah melatih otak mereka mendapatkan solusi dan kepuasan instan.
Jerat adiksi digital kini juga telah menyebar hingga ke dunia pendidikan dan dunia kerja. Di sekolah, kian banyak guru yang kewalahan menghadapi murid yang cepat kehilangan fokus, sulit membaca teks panjang, dan lebih mengandalkan video pendek sebagai sumber pengetahuan. Sementara di dunia kerja, pegawai muda sering kali menunjukkan gejala kelelahan digital, seperti mudah terdistraksi, sulit memisahkan waktu pribadi dan profesional, serta terjebak dalam ilusi produktivitas karena merasa selalu “terhubung” dengan manusia lain. Dalam jangka panjang, jerat adiksi digital ini berpotensi menurunkan kualitas sumber daya yang sejatinya menjadi kunci daya saing Indonesia.
Jerat adiksi digital, terutama pada kecerdasan buatan, berisiko menumpulkan kemampuan berpikir kritis, orisinal, dan kemampuan berkonsentrasi dalam durasi panjang. Jika Gen Z dan Milenial gagal membangun benteng pertahanan digital, mereka akan menjadi generasi yang mahir menggunakan alat, tapi lemah dalam mengendalikan diri dan tujuan. Cita-cita Indonesia Emas 2045 yang bertumpu pada SDM unggul pun bisa terancam menjadi sekadar ilusi yang indah di layar gawai.





