Kolom
Budaya Kekerasan Aparat dan Demokrasi yang Terluka

Pekan terakhir Agustus 2025 mencatat bab kelam dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Sepuluh orang tewas, 1.683 ditangkap, dan ribuan lainnya terluka atau mengalami trauma. Demonstrasi yang semestinya menjadi ruang sah untuk menyalurkan aspirasi justru berujung represi.
Di Bandung, gas air mata ditembakkan membabi buta, peluru karet melesat ke arah mahasiswa. Bahkan kampus seperti UNISBA dan UNPAS yang seharusnya steril dari kekerasan ikut menjadi sasaran. Alih-alih hadir sebagai pelindung, negara tampil serupa algojo.
Pola yang Terus Diulang
Bukan kali ini saja. Dari Trisakti, Semanggi, hingga gelombang protes penolakan RKUHAP, Omnibus Law Cipta Kerja, RUU Minerba, sampai RUU KPK, jejaknya serupa: aparat tidak berfungsi sebagai penjaga demokrasi, melainkan alat represi. Bedanya, kini kekerasan mulai dinormalisasi. Presiden Prabowo justru memberi kenaikan pangkat kepada aparat yang disebut sebagai "korban".
Padahal kerangka hukum jelas: UUD 1945, UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, serta UU 39/1999 tentang HAM menegaskan hak rakyat untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat. Namun di lapangan, hukum berhenti di atas kertas. Komnas HAM bahkan menemukan indikasi sebagian korban meninggal akibat penyiksaan.
Atas Nama "Ketertiban"
Hukum yang dipisahkan dari nilai kemanusiaan hanya berubah menjadi legitimasi kekerasan. Aparat yang memukuli mahasiswa lalu berlindung di balik pasal "ketertiban umum" bukan sedang menegakkan hukum, melainkan mereduksi hukum menjadi instrumen represi.
Ribuan orang ditangkap bukan karena melakukan kekerasan, melainkan karena hadir dan bersuara. Tuduhan provokasi atau agitasi menjadi alasan serampangan. Sementara aparat yang nyata-nyata melanggar hukum dibiarkan. Pola impunitas ala Orde Baru terus berulang.
Akar Masalah yang Dihindari
Krisis ini bukan sekadar soal aparat emosional. Ia mencerminkan paradigma negara yang keliru dalam memandang rakyat. Demonstrasi diposisikan sebagai ancaman, kritik sebagai musuh. Pemerintah pun memilih tidak mendengar tuntutan masyarakat sipil. Sebaliknya, mereka sibuk menuding "pihak asing", narasi lama yang selalu diulang ketika legitimasi goyah.
Padahal sumber masalah terang-benderang: DPR yang congkak, eksekutif yang abai dan korup, serta aparat yang arogan. Publik menuntut pemecatan anggota DPR yang problematis atau pencopotan Kapolri yang gagal membenahi institusinya. Namun respons pemerintah sekadar kosmetik, menonaktifkan bukan memecat, menyangkal bukan membenahi.
Represi yang Merambah Digital
Selepas gas air mata reda, represi tidak berhenti. Aparat menggunakan instrumen hukum pidana untuk mengkriminalisasi aktivis. Direktur Lokatoru Delpedro Marhaen hingga admin Gejayan Memanggil jadi contoh. Serangan digital, peretasan, dan disinformasi membayangi ruang gerak sipil.
Tak heran jika PBB menyoroti tragedi ini. Indonesia, yang dulu dipuji sebagai model transisi demokrasi, kini dipandang gagal melindungi warga dari aparatnya sendiri. Pemerintah bukannya berbenah, malah sibuk menyangkal.
Jalan Buntu Demokrasi
Problem mendasar terletak pada paradigma hukum. Negara terus terjebak dalam legalisme sempit: hukum dipandang sekadar pasal dan prosedur, bukan instrumen perlindungan hak asasi. Tanpa kemanusiaan, hukum hanyalah kekerasan yang diformalkan.
Aparat brutal harus diadili secara terbuka, bukan ditutupi. Komnas HAM harus diberi daya paksa, bukan sekadar fungsi rekomendatif. Impunitas harus dihentikan. DPR yang arogan mesti dibersihkan, Kapolri yang gagal harus diganti.
Demokrasi memang selalu menuntut pengorbanan. Namun pengorbanan rakyat di jalan tidak boleh dibiarkan sia-sia. Agustus 2025 harus menjadi pengingat bahwa demokrasi hanya hidup jika politik dan hukum berpihak pada kemanusiaan. Jika tidak, kita akan terus mengulang lingkaran represi, sebuah negara yang tampak besar di atas kertas tetapi rapuh dalam jiwa.
Tragedi Agustus 2025 bukan sekadar catatan duka, melainkan tamparan keras bagi republik ini. Aparat menembakkan gas air mata ke kampus, memukul mahasiswa di jalan, lalu berlindung di balik pasal ketertiban umum. Sementara itu, hukum yang seharusnya melindungi rakyat justru menjelma menjadi palu represi.
Jika tragedi ini hanya disikapi dengan penyangkalan dan kosmetika politik, maka bangsa ini sedang berjalan mundur. Demokrasi akan layu bukan karena rakyat berhenti bersuara, melainkan karena negara membungkam dengan kekerasan. Agustus 2025 harus menjadi penanda bahwa tanpa keberanian mengadili aparat brutal dan membersihkan lembaga politik yang arogan, Indonesia akan terjebak dalam lingkaran represi.