Kolom
Kesejahteraan Guru Terancam? Menag Bilang 'Cari Uang, Jangan Jadi Guru!'

Yoursay.id - Pernyataan seorang pejabat publik, tak terkecuali Menteri Agama, sering kali menjadi sorotan dan memicu polemik, terutama jika menyentuh isu yang sensitif dan bersinggungan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Inilah yang terjadi ketika Menteri Agama Nasaruddin Umar mengeluarkan pernyataan yang kemudian viral dan memantik kritik tajam dari berbagai pihak, khususnya dari kalangan pendidik. Kontroversi ini berpusat pada pandangan Menag yang dianggap merendahkan profesi guru, memisahkan secara kaku antara pengabdian dan kesejahteraan materi.
Pernyataan yang menjadi pangkal masalah adalah, "Kalau mau cari uang, jangan jadi guru, jadi pedaganglah." Kalimat ini, yang disampaikan dalam konteks memuliakan profesi guru sebagai profesi yang berorientasi pada pengabdian tulus, justru menciptakan luka yang dalam. Menag berargumen bahwa guru adalah pekerjaan yang mulia, setara dengan para nabi, yang tugasnya tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan akhlak. Ia menekankan bahwa guru sejati tidak boleh silau dengan urusan materi. Namun, pernyataan ini, yang ditangkap secara terpisah dari keseluruhan pidatonya, justru menimbulkan kegaduhan.
Reaksi negatif yang muncul bukanlah tanpa alasan. Pernyataan tersebut menyentuh luka lama yang dirasakan oleh banyak guru di Indonesia, terutama guru honorer, yaitu rendahnya gaji dan kurangnya jaminan kesejahteraan. Dengan kondisi tersebut, pernyataan Menag seolah-olah mengabaikan realitas ekonomi yang dihadapi oleh para pendidik. Mengingatkan guru untuk tidak fokus pada materi seakan menafikan kebutuhan dasar mereka untuk bisa bertahan hidup dan menghidupi keluarga.
Pernyataan Menag menciptakan dikotomi yang keliru antara dedikasi dan profesionalisme. Paradigma lama yang melihat guru hanya sebagai pengabdi tulus, yang harus rela berkorban tanpa imbalan yang layak, sudah seharusnya ditinggalkan. Di era modern, guru tidak hanya dituntut untuk berkorban dan mengabdi, tetapi juga harus profesional. Profesionalisme ini mencakup kompetensi, sertifikasi, dan tentu saja, imbalan yang layak.
Gaji yang memadai bukan sekadar "mencari uang," melainkan bentuk penghargaan atas kompetensi dan pengabdian mereka. Kesejahteraan yang terjamin akan memungkinkan guru untuk lebih fokus dalam mendidik tanpa dibebani oleh masalah finansial. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa guru yang memiliki kesejahteraan yang baik cenderung lebih produktif, kreatif, dan inovatif dalam mengajar. Sebaliknya, guru yang hidup dalam kesulitan ekonomi akan sulit untuk memberikan yang terbaik.
Pernyataan Menag juga secara implisit menunjukkan adanya ketidakpahaman terhadap dinamika profesi di era modern. Membandingkan guru dengan pedagang adalah perbandingan yang tidak setara. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda dalam masyarakat. Pedagang berorientasi pada keuntungan, sementara guru berorientasi pada pembangunan manusia. Namun, bukan berarti profesi yang tidak berorientasi pada keuntungan tidak membutuhkan penghasilan yang layak.
"Padahal kami bukan cari (banyak) uang, cuma cari hidup yang lebih layak aja sih," komentar salah satu pengguna akun media sosial menyoroti kontroversi ini.
"Jika guru adalah profesi yang mulia, maka sudah kewajiban pemerintah untuk menyejahterakan para guru Indonesia. Kami para pendidik, tidak minta kaya, cuma minta gaji yang layak. Jangan disebut profesi yang mulia, tuntutan profesi yang tinggi, tapi gaji cuma sekadar apresiasi."
"Kalau guru alih profesi jadi pedagang, jadi apa negeri ini?"
Kontroversi ini sejatinya membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang posisi guru dalam masyarakat. Guru adalah pilar utama dalam pembangunan bangsa, dan investasi pada kesejahteraan guru adalah investasi pada masa depan generasi. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama memastikan bahwa profesi guru tidak lagi dipandang sebagai profesi "nawaitu" atau pengabdian semata, melainkan sebagai profesi strategis yang harus dihargai dan dijamin kesejahteraannya.
Klarifikasi dan permintaan maaf yang disampaikan oleh Menteri Agama, Nasaruddin Umar, menunjukkan bahwa ia menyadari dampak dari pernyataannya. Ia menegaskan bahwa tidak ada niat untuk merendahkan profesi guru dan ia sangat memahami tantangan yang dihadapi oleh para pendidik. Kontroversi ini setidaknya memberikan pelajaran berharga bagi kita semua: menghargai profesi guru tidak hanya dengan kata-kata mulia, tetapi juga dengan tindakan nyata yang menjamin kesejahteraan dan martabat mereka.
Meski di berbagai tempat, kita masih sering menemukan guru-guru yang tidak mendapat gaji yang sesuai, bahkan tidak dibayar dalam waktu yang cukup lama, tapi masih terus mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa seharusnya menjadi evaluasi penting pemerintah untuk memprioritaskan keterpenuhan kebutuhan pendidikan yang menyeluruh.
Pernyataan Menag mungkin sudah diklarifikasi dan dimaafkan, tetapi jejaknya tetap menjadi pengingat pahit. Ia menyingkap kegagalan sistem dalam menghargai guru sebagai profesional, bukan sekadar pengabdi. Ini bukan lagi soal pengabdian, melainkan soal keadilan. Pertanyaannya, kapan Indonesia benar-benar akan berinvestasi penuh pada profesi guru, alih-alih hanya mengandalkan idealisme mereka?
Christina Natalia Setyawati
S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung
Total Artikel 149