Kolom
Dari Girlboss sampai Tradwife: Nostalgia Patriarki dalam Balutan Estetika

Yoursay.id - Media sosial telah melahirkan tren identitas yang datang silih berganti, mulai dari Girlboss yang menekankan kemandirian perempuan hingga Tradwife yang memuja peran tradisional istri di rumah. Kedua konsep ini tampak berlawanan, tetapi sama-sama ramai di platform digital, lengkap dengan estetika yang memikat.
Namun, apakah fenomena ini benar-benar bentuk kebebasan memilih, atau sekadar reproduksi patriarki dengan kemasan yang lebih cantik?
Fenomena ini membuka ruang diskusi yang menarik. Mengapa di era yang mengaku progresif, tren seperti Tradwife justru diminati? Mengapa Girlboss yang dulu dielu-elukan kini disebut toksik?
Terdapat paradoks yang perlu dikaji, yakni saat feminisme mendorong perempuan keluar dari belenggu domestik, media sosial justru menampilkan romantisasi dapur dan gaun vintage sebagai simbol kemapanan hidup. Apakah ini tanda kembalinya patriarki, atau sekadar nostalgia saja?
Estetika sebagai Alat Normalisasi
Tren Tradwife tidak muncul dalam ruang kosong. Ia dikemas dengan visual yang menenangkan. Mulai dari rumah bersih, kebun hijau, hingga roti panggang hangat.
Estetika ini membuat peran tradisional tampak glamor, seolah-olah menjadi istri rumah tangga adalah pilihan hidup yang paling sempurna. Melalui cara ini, patriarki tidak lagi tampil keras, melainkan halus dan menawan.
Hal serupa terjadi pada Girlboss di awal 2010-an. Dengan jargon empowerment, perempuan diajak mendobrak batas. Namun, di balik itu, ada tekanan untuk selalu produktif, sukses, dan berpenampilan sempurna.
Estetika feed Instagram dengan blazer stylish dan kopi mahal menjadi standar baru. Apa yang disebut kebebasan, ternyata hanya bentuk kontrol yang lebih modern.
Romantisasi Masa Lalu dan Krisis Modernitas
Mengapa orang jatuh cinta pada konsep Tradwife? Jawabannya mungkin ada pada rasa lelah terhadap dunia modern yang penuh kompetisi. Banyak perempuan yang merasa terbebani oleh tuntutan kerja, karier, dan pencapaian.
Dalam situasi ini, kehidupan domestik yang sederhana terlihat seperti pelarian yang menenangkan. Namun, romantisasi ini menyingkirkan fakta bahwa peran tradisional perempuan dulu sering lahir dari keterpaksaan, bukan pilihan bebas.
Girlboss pun mengalami nasib serupa. Ketika perempuan dikejar target mencapai kesuksesan, mereka mulai mempertanyakan apakah ini benar-benar kebebasan, atau bentuk baru dari perbudakan kapitalisme?
Kekecewaan terhadap narasi ini mendorong munculnya tren sebaliknya yakni kembali ke rumah, memakai gaun vintage, dan memposting foto kue buatan tangan. Bagian paling menarik, keduanya sama-sama menciptakan ilusi kebebasan, padahal tetap berada dalam kerangka norma patriarki.
Pilihan atau Tekanan Terselubung?
Lalu, apakah menjadi Tradwife atau Girlboss adalah pilihan murni? Atau keduanya hanyalah produk budaya yang dipoles agar tampak seperti kebebasan? Ketika media sosial menampilkan satu gaya hidup tertentu secara masif dan estetik, banyak orang akhirnya ikut terbawa arus, bukan karena keinginan personal, tetapi demi validasi sosial.
Tekanan ini semakin kuat ketika algoritma mempromosikan konten serupa terus-menerus. Perempuan yang awalnya mencari resep kue bisa berakhir merasa “kurang feminin” jika tidak mengikuti gaya Tradwife.
Sementara yang berada di lingkaran career woman merasa gagal jika tidak mencapai standar Girlboss. Pada akhirnya, keduanya bukan sekadar tren, tetapi arena pertarungan identitas yang rumit.
Baik Girlboss maupun Tradwife hanyalah dua sisi dari koin yang sama, yaitu cara patriarki bertahan dengan wajah baru. Yang satu mengemas tekanan melalui jargon pemberdayaan, yang lain melalui romantisasi masa lalu.
Pilihan sejati seharusnya bebas dari standar estetika dan algoritma yang memengaruhi kita. Karena kebebasan bukan tentang mengikuti tren, melainkan kemampuan menentukan hidup tanpa rasa bersalah.