kolom
Tarif AS Turun, tapi Harus Beli Pesawat dan Pangan: Adilkah Kesepakatan Ini?

Yoursay.id - Tarif impor produk Indonesia ke Amerika Serikat akhirnya diturunkan dari 32% jadi 19%. Kabar ini sempat membuat banyak orang bernapas lega, terutama bagi yang punya mimpi produknya bisa tembus pasar AS.
Apalagi, ini hasil langsung dari obrolan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump lewat panggilan telepon yang katanya hanya berlangsung 17 menit. Cuma 17 menit, tapi pengaruhnya bisa sampai bertahun-tahun.
Tidak secara cuma-cuma, sebagai ganti dari penurunan tarif itu, Indonesia harus membeli energi dari Amerika senilai 15 miliar dolar AS, ditambah produk pertanian sebesar 4,5 miliar dolar AS, dan 50 unit pesawat Boeing, termasuk Boeing 777 yang harganya bisa mencapai US$ 442 juta per unit. Kalau dikalikan 50, hmm… bukan angka yang kecil.
Indonesia mendapat diskon 13% tarif ekspor, tapi dalam waktu bersamaan, kita justru harus menggelontorkan belanja impor yang cukup besar. Jadi sebenarnya ini negosiasi atau barter terselubung? Apakan betul Indonesia dapat keuntungan, atau justru sedang menggadaikan dompetnya?
Dari sisi ekspor, tarif 32% yang dikenakan Trump ke produk Indonesia memang cukup tinggi. Dan penurunannya ke 19% terdengar menjanjikan, tapi jangan lupa, produk apa saja sih yang benar-benar bisa menikmati tarif itu?
Apakah ini berlaku untuk UMKM dengan produk kreatif dan fashion yang sering dibanggakan di Instagram? Atau hanya berlaku untuk komoditas besar seperti tekstil, karet, atau CPO (Crude Palm Oil) yang dikuasai oleh para elit?
Selain itu, Indonesia juga sepakat membeli energi dan pangan dari AS dalam jumlah yang tak sedikit. Padahal, di dalam negeri sendiri kita sedang menggaungkan ketahanan energi dan kedaulatan pangan. Kenapa kita justru impor besar-besaran?
Belum lagi soal pembelian 50 pesawat Boeing. Industri penerbangan nasional saja saat ini masih terseok-seok. Garuda dan maskapai lokal lain banyak yang berhemat, bahkan memotong rute karena beban operasional.
Beberapa pihak mengatakan bahwa pembelian ini akan mendorong investasi, membuka lapangan kerja, dan memperkuat infrastruktur transportasi udara. Itu tidak salah. Tapi, transparansi mengenai siapa yang membeli, dari anggaran mana, dan untuk apa saja pesawat itu digunakan, masih sangat minim. Yang muncul di publik hanya postingan Instagram Sekretariat Kabinet dan kutipan singkat tanpa detail kesepakatan tertulis.
Lebih-lebih lagi, apakah diskon tarif ini akan benar-benar menyeimbangkan angka perdagangan Indonesia-AS? Atau justru membuat neraca perdagangan kita makin defisit karena banjir produk dan utang pembelian? Mengutip data dari Kemendag, neraca perdagangan Indonesia dengan AS selama ini relatif surplus. Tapi surplus itu bisa dengan cepat berubah arah kalau komitmen belanja kita ke AS jauh lebih besar dari nilai ekspor kita ke sana.
Tentu tidak salah jika pemerintah ingin membangun hubungan dagang strategis dengan AS. Tapi membuat kesepakatan yang nilainya sangat besar hanya dalam waktu 17 menit, dan tanpa keterlibatan tim teknis, DPR, atau masyarakat sipil, sepertinya itu bukan cara terbaik untuk memperjuangkan kepentingan jangka panjang.
Kita perlu tahu, apakah penurunan tarif itu sepadan dengan apa yang kita korbankan? Apakah ada ketentuan yang mengikat selama puluhan tahun ke depan? Apakah sumber daya alam kita akan benar-benar diberikan akses bebas untuk AS, seperti yang disebutkan Trump? Dan yang paling penting, siapa yang akan menanggung semua belanja impor itu?
Apakah rakyat yang lagi-lagi akan dipajaki? Apakah APBN kita, yang sudah mulai sesak karena utang dan belanja rutin kementerian, akan mampu menampung pembelian ini? Jangan sampai diskon tarif ini hanyalah umpan, dan kita sedang menukar kedaulatan ekonomi dengan janji ekspor yang belum pasti.
Sebelum kita bergembira dengan penurunan tarif 19% ini, sebaiknya kita berpikir lagi, benarkah ini untung? Atau sebenarnya... buntung?