kolom
Lemahnya Paspor Negara Kita: Indonesia Berhak Mendapat Kesetaraan

Yoursay.id - Bayangkan ini: negara kecil seperti Timor Leste dengan penduduk hanya 1,3 juta orang sudah bisa bebas visa ke Uni Eropa. Ya, betul, mereka bebas melenggang masuk tanpa harus repot-repot bayar biaya Schengen atau duduk manis di agen visa yang penuh syarat ribet.
Sementara itu, kita—Indonesia, negara raksasa dengan 270 juta penduduk, masih harus senyum-senyum minta kebaikan hati negara orang. Hasilnya? Kita hanya dapat “bonus” visa multiple entry untuk Schengen setelah apply kedua kali.
Mengintip Kekuatan Passport Indonesia VS Negara Tetangga
Berikut faktanya berdasarkan Henley Passport Index 2025:
- Menurut data terbaru Juni 2025, Paspor Indonesia berada di peringkat 71 dengan akses ke 74 negara (CNBC Indonesia).
- Timor Leste, negara kecil berpenduduk sekitar 1,3 juta, menduduki peringkat sekitar 54–51, dengan akses bebas visa ke 96 negara.
- Malaysia berada di peringkat 11 dengan 181 negara beda.
- Singapura, akses ke 195–193 negara.
Paspor Indonesia Lemah: Data Resmi & Mengapa Kita Terus Dipersulit?
Setiap warga Indonesia yang mengurus visa Schengen saat ini harus membayar sekitar Rp1,5 juta. Jika 8 juta turis Indonesia pergi ke Eropa dalam setahun, ini berarti sekitar Rp12 triliun uang rakyat lari hanya untuk izin masuk. Itu belum termasuk biaya administrasi, pemesanan janji temu visa, dan waktu antre.
Sementara, negara seperti Timor Leste—meski jumlah warganya sangat kecil—justru diperlakukan lebih baik oleh negara-negara maju.
Strategi Diplomasi vs Gaya Kebohongan Citra
Padahal pemerintah kita selalu pamer: “Kami kirim 8 juta turis ke negara kalian per tahun!” Tapi apa balasan mereka? Kita cuma dikasih janji manis dan prosedur visa yang tetap panjang. Jangan lupa, biaya visa Schengen sekarang sudah Rp1,5 juta lebih per orang. Kalau 8 juta turis Indonesia pergi ke Eropa setahun, artinya ada Rp12 triliun uang rakyat kita yang disedot hanya untuk biaya administrasi visa.
Dan itu hanya ke Eropa. Belum lagi negara lain seperti China, yang katanya sahabat strategis kita. Saat mereka ngumumin daftar negara yang bebas visa masuk, Indonesia? Lagi-lagi cuma dapat visa transit 240 jam.
Kenapa Kita Selalu Kalah Lobi? Apakah Ini Salah Rakyat?
Kerap ada kritik: "Rakyat Indonesia banyak yang overstay, kerja ilegal, jangan disalahkan negara lain." Tapi peringkat paspor yang buruk itu bukan karena kesalahan warga saja—negara-negara maju menilai Indonesia secara institusional:
- Stabilitas politik
- Tingkat kepatuhan imigran
- Tingkat transparansi dan keamanan data
Kalau pemerintah benar-benar serius, paspor kita bisa naik peringkat—setara Malaysia dan Brunei. Tapi kalau cuma citra dan klaim, hasilnya jelas nihil.
Jangan salahkan rakyat dulu. Memang ada saja WNI yang melanggar aturan di luar negeri. Tapi, negara-negara tetangga yang SDM-nya nggak jauh lebih baik pun akhirnya bisa bebas visa. Filipina dan Vietnam misalnya, sudah lebih dulu menikmati fasilitas bebas visa ke Jepang dan Eropa. Kenapa mereka bisa?
Prosedur Ribet: Rakyat Jadi Korban?
Jawabannya ada di diplomasi dan lobi internasional. Pemerintah mereka pintar merayu, sabar menunggu, dan gigih memperjuangkan kebijakan yang menguntungkan rakyatnya. Sementara kita? Sibuk bagi-bagi bebas visa untuk banyak negara asing supaya turis mereka datang, tapi nggak pernah menuntut perlakuan setara.
Akibatnya, rakyat Indonesia harus terus berada di pola yang stuck! Pengurusan visa yang ribetnya minta ampun. Formulir yang harus diisi banyak, syaratnya ketat, belum lagi antrean panjang. Belum jalan ke luar negeri, duit sudah habis buat administrasi.
Ini jadi pertanyaan besar: kenapa warga negara sebesar Indonesia tidak diberi kemudahan seperti negara-negara kecil? Apakah ini disengaja supaya rakyat tidak banyak jalan-jalan ke luar negeri, biar tidak tahu bahwa kita sering dibohongi dan dibodohi di dalam negeri sendiri?
Sedangkan negara lain? Mereka melakukan diplomasi matang, bertahun-tahun lobby, dan mampu menegosiasikan kesetaraan. Malaysia, misalnya, telah meraup akses bebas visa secara signifikan—sebuah hasil nyata dari diplomasi agresif.
Kita? Masih memamerkan visa-waiver, tapi implementasinya gak sebanding dengan sumbangan kita di dunia.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
- Tingkatkan diplomasi konsular: negosiasi habis-habisan agar visa on arrival dihilangkan, visa balik gratis.
- Perbaiki reputasi digital: petugas di imigrasi harus makin profesional dan akreditasi data imigran lebih aman.
- Fasilitasi warga: permudah sistem e-Visa, kurangi biaya, dan percepat proses—biar rakyat nggak stres tiap mau ke luar negeri.
Indonesia Harus Mendapat Kesetaraan, Bukan Sekadar Pujian
Negara-negara lain boleh saja pamer karena memberikan kita visa multiple entry—itu bukan tanda mereka menghargai kita. Ini tanda kita belum kompetitif.
Kalau paspornya lemah, artinya kita belum diakui setara. Biaya tinggi dan proses panjang itu bukan sekadar soal repot, tapi soal harga diri nasional.
Sebagai rakyat, kita punya hak untuk diperlakukan setara di mata dunia. Kalau kita kasih bebas visa dan VOA (Visa on Arrival) untuk banyak negara, maka logisnya kita pun harus mendapatkan fasilitas yang sama. Tapi kenyataannya? Negara lain tetap kekeuh mempersulit.
Mungkin benar kata sebagian orang, kita masih dianggap “merepotkan”. Tapi ini juga jadi cermin: pemerintah harus memperjuangkan rakyatnya, bukan hanya sibuk pencitraan di panggung internasional.
Mimpi Indonesia Setara di Mata Dunia
Mungkin suatu hari nanti, paspor Indonesia akan sekuat Jepang, Singapura, atau Jerman. Kita bisa melancong tanpa pusing urus visa, tanpa prosedur ribet yang bikin stres. Tapi itu hanya akan terjadi kalau pemerintah serius melakukan lobi dan memperbaiki reputasi di dunia internasional.
Sampai hari itu tiba, nikmati saja dulu antrean panjang di agen visa. Dan saat membayar biaya Rp1,5 juta untuk sekadar izin masuk, ingatlah bahwa kita masih dianggap “warga kelas dua” oleh banyak negara.