kolom
Dari Era Kolonial ke AI: Mampukah Indonesia Benar-Benar Swasembada Gula?

Suara.com - Di tengah hiruk-pikuk dunia perpolitikan dan ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, ada satu janji manis yang kembali mengemuka dari pejabat negara. Wakil Presiden Gibran Rakabuming, saat ngobrol bareng petani tebu di Yogyakarta, kembali menegaskan instruksi Presiden Prabowo mengenai swasembada gula.
Katanya, Indonesia harus swasembada gula konsumsi mulai tahun 2026. Bahkan, targetnya makin ambisius, paling lambat 2028, kita harus "benar-benar swasembada gula." Wah, janji ini terasa semanis gula, ya. Tapi apakah semudah itu merealisasikannya?
Target swasembada gula ini sebenarnya bukan hal baru. Dari era Orde Lama hingga Orde Baru, bahkan di era reformasi, setiap pemerintahan punya mimpi yang sama. Sayangnya, produksi dalam negeri masih kalah jauh dibanding konsumsi nasional. Tahun 2024 lalu saja, Indonesia mengimpor lebih dari 4 juta ton gula.
Mengapa sulit? Karena produktivitas lahan tebu Indonesia rendah, biaya produksi tinggi, dan sebagian besar pabrik gula kita adalah peninggalan zaman kolonial. Belum lagi soal konversi lahan pertanian jadi properti atau kawasan industri yang terus menekan luas area tanam.
Lalu apa langkah Wapres untuk mencapai target swasembada gula ini?
Gibran menekankan transformasi teknologi pertanian berbasis teknologi, dengan melibatkan generasi muda. Lalu, ia juga mendorong riset dan inovasi yang memanfaatkan akademisi di Yogyakarta untuk pengembangan varietas unggul dan hilirisasi tebu yang kaitannya dengan etanol.
Ditambah, demo drone pemupukan dengan teknologi AI dari PT Pupuk Indonesia yang katanya bisa bikin produktivitas lahan meningkat. Kedengarannya canggih dan menjanjikan, mirip trailer film sci-fi di bioskop.
Mari kita bahas satu per satu. Teknologi pertanian, mekanisasi alat modern, drone, AI, dan anak muda.
Siapa sih yang nggak setuju kalau pertanian kita harus modern dan melibatkan anak muda? Melihat drone terbang di atas lahan sambil nyemprot pupuk atau mengecek kesehatan tanah itu memang keren. Tapi, seberapa jauh drone dan AI ini bisa jadi game changer dalam skala nasional?
Permasalahan utama dalam swasembada gula adalah ketersediaan lahan yang cocok dan luas untuk tebu. Namun saat ini, banyak lahan tebu yang tergerus untuk industri, properti, atau beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan bagi petani. Kalaupun ada lahan, sering kali kualitas tanahnya sudah menurun.
Lalu apakah pemerintah punya roadmap jelas untuk ekspansi lahan tebu? Atau hanya mengandalkan lahan yang ada dan berharap produktivitasnya melonjak drastis berkat drone?
Lalu petani tebu kita, sebagian besar adalah petani rakyat dengan lahan sempit dan modal terbatas. Mereka ini butuh lebih dari sekadar drone atau janji manis soal AI. Sebaliknya, mereka butuh akses modal, bibit unggul dan pupuk yang terjangkau, juga harga jual tebu yang stabil dan menguntungkan.
Kalau harga tebu di tingkat petani selalu dibayangi gula impor atau kebijakan yang tidak berpihak, maka mau pakai drone secanggih apapun, percuma saja.
Masalah lainnya adalah soal pabrik gula. Kondisi pabrik gula di Indonesia didominasi warisan kolonial, dipenuhi mesin-mesin tua boros energi dan efisiensinya rendah.
Modernisasi pabrik gula tentu sangat diperlukan. Karena tanpa pabrik yang efisien, mau tebu kita berlimpah ruah sekali pun, proses penggilingan dan pengolahan gulanya tetap akan jadi masalah.
Terakhir, masalah riset dan inovasi. Tentu kita setuju melibatkan akademisi dan melakukan R&D untuk bibit unggul itu penting.
Tapi, sudah sejauh mana dukungan nyata pemerintah untuk riset ini? Apakah dana risetnya mencukupi, dan apakah hasil risetnya benar-benar sampai dan bisa diaplikasikan oleh petani? Jangan sampai risetnya hanya bagus di jurnal ilmiah, tapi di lapangan tidak ada yang pakai.
Janji swasembada gula ini mengingatkan kita pada banyak janji swasembada lain yang sering kali berakhir manis di atas podium, tapi pahit di lapangan. Swasembada daging, swasembada kedelai, swasembada beras... banyak yang masih jadi PR besar.
Alasannya? Karena masalah pertanian itu kompleks. Tidak bisa hanya diselesaikan dengan satu atau dua jurus pamungkas seperti drone dan AI.
Diperlukan sinergi yang kokoh antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, petani, akademisi, dan pelaku industri. Bukan cuma sekadar retorika manis dan demo drone yang keren di media.
Jadi, ketika Gibran berpidato di hadapan petani tebu, kita tentu berharap janji ini bukan sekadar wacana belaka. Jika tidak, maka mimpi swasembada gula 2026 ini hanya akan menjadi dongeng pengantar tidur yang sayangnya, tidak akan bisa kita nikmati dalam bentuk gula di meja makan.