kolom
Ojek Online: Mesin Uang Platform, Beban Ganda Mitra dan Konsumen

Yoursay.id - Abdul, karyawan swasta yang tiap pagi ngantuk di jok belakang ojek online sambil menyelamatkan deadline, kini mendadak lebih waspada. Bukan karena helm driver-nya bau ketek, tapi karena kabar: tarif ojek online bakal naik 8–15%.
Pemerintah mengumumkan rencana itu lewat Dirjen Perhubungan Darat, Aan Suhanan, pada rapat dengan DPR. Tapi tenang, katanya, ini masih dikaji. Kajian yang dalam, semacam cinta yang digantung: jelas tidak pasti, tapi dampaknya sudah bikin stres.
Di negeri di mana waktu tempuh lebih dihitung dari kecepatan buka aplikasi, ojek online bukan cuma moda transportasi, tapi penyambung nyawa ekonomi urban. Ia adalah perpanjangan kaki, dompet, dan kadang-lengan sosial — terutama bagi pekerja yang harus gesit tapi tetap hemat.
Maka, saat wacana kenaikan tarif muncul, publik bukannya mengeluh soal logika kebijakan, tapi langsung menghitung: "Berapa pengeluaran tambahan per bulan?"
Dan begitulah, di balik kelip-kelip notifikasi order, ada ketimpangan struktural yang menganga. Pengemudi buntung, konsumen tercekik, dan platform terus tertawa—di kursi eksekutif berlapis investor.
Kenaikan Tarif: Kabar Buruk yang Diselimuti Selimut Kajian
Mari kita mulai dari niat baik. Pemerintah, dalam respons atas demo para pengemudi ojek daring pada 10 Mei 2025, akhirnya mempertimbangkan kenaikan tarif.
Kementerian Perhubungan bertemu dengan empat aplikator utama dan mendengar suara lapangan. Salah satu tuntutan utama pengemudi adalah: turunkan potongan aplikator jadi 10%. Alih-alih itu yang dituruti, pemerintah justru menggodok kenaikan tarif penumpang.
Logikanya mungkin begini: bila tarif naik, pengemudi dapat lebih banyak. Tapi jangan lupakan: kalau tarif naik, konsumen juga menjerit. Seperti menambah nasi pada piring pengemudi, tapi mengambilnya dari mangkuk konsumen. Padahal dua-duanya lapar.
Belum lagi jika kajiannya mirip dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang — selalu “masih dalam proses”, tapi efek psikologisnya sudah nyata. Rakyat mendadak menghitung pengeluaran harian, pengemudi menanti perubahan yang tak kunjung datang, dan investor platform barangkali tetap minum kopi pagi dengan tenang.
Sebagaimana dikatakan Pan et al. (2025), ekosistem transportasi daring melibatkan relasi tiga arah: pemerintah, platform, dan penyedia layanan (pengemudi). Bila satu pihak terlalu dominan, ketimpangan akan menggerogoti legitimasi sistem.
Maka menaikkan tarif tanpa membedah struktur pembagian pendapatan ibarat mengganti ban bocor dengan ban baru… yang tetap dipasang terbalik.
Konsumen: Dari Penumpang Setia Jadi Korban Tarif Gaya Baru
Abdul hanyalah satu dari ribuan Abdul-Abdullah lainnya yang mengandalkan ojek online sebagai tulang punggung mobilitas. Dalam kondisi ideal, 5 kilometer bisa ditempuh dengan Rp18 ribu.
Tapi dengan kenaikan 15%, tarifnya melonjak jadi lebih dari Rp20 ribu. Sekilas tampak kecil, tapi dikali dua (PP), dikali 22 hari kerja, hasilnya menyentuh Rp1 juta sebulan. Itu belum termasuk hujan, macet, atau pengemudi yang muter dulu ke rumah mantan.
Kita harus jujur: kenaikan tarif ojek online adalah bentuk inflasi sektoral yang menyasar kelompok pekerja urban yang tak punya banyak pilihan.
Transportasi publik belum mampu menyaingi kecepatan, fleksibilitas, dan jangkauan ojek online. MRT belum masuk gang, angkot kadang hanya hantu waktu, dan bus kota? Ah, kadang lebih cepat jalan kaki.
Seorang peneliti transportasi urban mungkin menyebutnya sebagai "konvergensi pilihan terbatas". Seorang konsumen menyebutnya "terpaksa". Dan platform menyebutnya “market opportunity”.
Padahal menurut Arianto Harefa dari YLKI, kebijakan tarif harus memperhatikan kemampuan membayar konsumen, bukan cuma kalkulasi antara potongan dan pendapatan mitra. Jika tidak, rakyat akan memilih moda lain.
Dalam dunia mobilitas urban, pilihan itu bisa berarti: beli motor sendiri. Ironisnya, ini justru bisa menciptakan kemacetan baru — ojek online kehilangan penumpang, jalanan kehilangan ruang, dan kota kehilangan arah.
Mitra Pengemudi: Dari Pahlawan Ekonomi Digital jadi Korban Ekonomi Ekstraktif
Mereka disebut “mitra”, tapi lebih sering diperlakukan seperti sekoci: berguna saat krisis, diabaikan setelahnya. Saat pandemi, ojek online jadi andalan logistik. Kini, di era normal baru, mereka hanya menerima sisa remah dari pesta kapital digital.
Potongan aplikator bisa mencapai 70%, sebuah angka yang membuat Robin Hood berpikir dua kali. Padahal menurut aturan pemerintah, potongan maksimal adalah 20%.
Tapi aturan tinggal aturan, sebab di lapangan, realitasnya ditentukan oleh "algoritma". Platform menilai performa, menentukan insentif, dan menghukum keterlambatan dengan sistem yang lebih rumit dari perasaan mantan.
Lily Pujiati dari Serikat Pekerja Angkutan Indonesia menyebutkan bahwa pengemudi harus menanggung semua biaya operasional, mulai dari bensin, pulsa, servis, bahkan cicilan motor dan HP.
Jadi walau tarif naik, potongan tetap besar, dan biaya harian tak turun, kenaikan pendapatan hanyalah ilusi digital dalam notifikasi palsu.
Ironisnya, beberapa pengemudi justru berharap tarif tidak naik, karena takut kehilangan pelanggan. Ini seperti buruh yang menolak kenaikan upah minimum karena takut pabrik tutup. Bukankah ini menunjukkan betapa timpangnya relasi dalam ekosistem ini?
Ketidakseimbangan Pasar dan Ancaman Kanibalisasi Ojek
Salah satu masalah yang jarang dibahas tapi krusial: jumlah pengemudi ojek online tak dibatasi. Ini seperti membuka pintu warung seluas-luasnya, tapi kue yang dijual tetap segitu-gitu aja. Hasilnya? Berebut, banting harga, dan saling jegal. Para pengemudi tidak lagi bertarung melawan kemiskinan, tapi melawan sesama rekan profesi.
Menurut Deddy Herlambang dari MTI, ini tidak adil. Transportasi lain seperti taksi dan angkot dibatasi izinnya. Tapi ojek online dibiarkan berkembang liar, seperti tanaman rambat di rumah tua: tumbuh cepat, tapi merusak fondasi.
Akibat dari over supply pengemudi ini adalah perang tarif, hilangnya jaminan pendapatan, dan penurunan kualitas layanan. Lebih banyak pengemudi bukan berarti layanan makin baik, tapi makin tipis penghasilan. Ini seperti membagi satu pizza ke sepuluh orang—yang kenyang cuma yang pertama datang.
Jika tidak ada regulasi untuk membatasi jumlah pengemudi secara rasional, maka sistem akan kanibal terhadap dirinya sendiri. Tarif naik, tapi pendapatan tetap kecil karena order sedikit. Konsumen lari, pengemudi mengeluh, dan platform tetap memotong. Ini bukan ekosistem, tapi eksekusi massal pendapatan rakyat.
Mencari Jalan Tengah di Jalan yang Sempit
Kita tidak bisa terus-menerus menyerahkan arah kebijakan transportasi digital kepada “mekanisme pasar”. Pasar tidak selalu adil. Kadang pasar itu seperti preman: yang kuat menang, yang lemah ditendang. Dan dalam kasus ojek online, pengemudi dan konsumen adalah dua sisi lemah yang sama-sama digencet.
Pemerintah seharusnya lebih aktif, bukan cuma mengkaji dan mencatat. Regulasi seperti potongan maksimal, sistem upah minimum bagi pengemudi, dan pembatasan jumlah pengemudi harus segera diberlakukan. Referensi ilmiah menyebutkan bahwa regulasi negara adalah variabel kunci dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat dan adil (Pan et al., 2025; Ambarwati et al., 2019).
Platform harus transparan dalam skema pembagian hasil. Jangan terus bermain-main dengan istilah “tarif dasar” atau “biaya emisi karbon” sebagai cara licik untuk menyembunyikan potongan. Mitra bukan boneka algoritma. Konsumen bukan kantong tanpa dasar. Dan platform bukan dewa yang tak tersentuh.
Hal yang lebih penting: ada ide segar yang perlu dijajaki — koperasi digital milik pengemudi sendiri. Bayangkan, sebuah platform ride-hailing yang dimiliki, diatur, dan dimanfaatkan langsung oleh para mitra. Bukan jadi objek potong-memotong semata, tapi subjek dari ekonomi baru yang adil.
Kalau semua pihak masih ogah bergerak, jangan salahkan rakyat kalau akhirnya kembali ke ojek pangkalan. Setidaknya mereka tahu ke mana komisi itu pergi: ke warung kopi tetangga, bukan ke Silicon Valley.