kolom

Epilog Sendu Semangkuk Mie Ayam dan Segelas Es Teh di Bawah Hujan

Epilog Sendu Semangkuk Mie Ayam dan Segelas Es Teh di Bawah Hujan
Ilustrasi mie ayam (Instagram)

Yoursay.id - Gerimis berbaur sandikala kala itu, mengantar langkah saya menuju warung sederhana di sudut kota Surabaya. Hujan, seperti air mata langit yang tidak kunjung kering, menari-nari di atap seng, melantunkan melodi pilu yang kini terasa begitu mengiris.

Saya datang sendiri, ke tempat yang dahulu selalu kita kunjungi berdua, berharap menemukan sedikit sisa afeksi yang pernah engkau bawa. Namun, yang saya dapati hanyalah dingin yang menghunjam tulang tiada ampun.

Saya duduk di bangku kayu yang sama, yang kini terasa lapuk dan kosong tanpamu. Aroma kuah mie ayam yang dahulu begitu menggoda, kini hanya membawa sesak di dada, bercampur dengan wangi tanah basah dan embun yang terasa bagai air mata.

Saya memesan semangkuk mie ayam, dan tentu saja, es teh tawar, persis seperti yang selalu kita pesan. Hanya saja, kali ini, gelas di depan saya tidak lagi berpasangan, seperti empunya.

Kala semangkuk mie ayam panas mengepul di hadapan saya, saya tidak bisa mengalihkan pandang dari kursi kosong di seberang saya. Teringat jelas dahulu engkau meniup lembut untaian mie sebelum menyuapkannya, pun indahnya matamu yang bersemburat gemintang setiap kali merasakan cita rasa kaldu yang meresap.

Kini, hanya ada bias ilusi dan rasa rindu yang menghimpit sukma. Ada semburat pedih di kalbu saya, bukan rona merah jambu, seolah pendar fajar di ambang malam yang dahulu bersemayam di pipimu kini telah padam.

“Enak?” tanya saya pada diri saya sendiri, pertanyaan yang dahulu tiada luput engkau lontarkan. Jawabannya kini hanya bisu, tenggelam dalam desah napas yang berat. Bibir saya tidak lagi belepotan kuah mie sebab tidak ada lagi tawa yang membuat saya ceroboh, pula tatapanmu yang begitu menggemaskan.

Percakapan kita yang dahulu mengalir deras seperti hujan di luar sana, kini hanya hening yang memekakkan telinga. Semua mimpi-mimpi yang pernah kita rajut, senandung riang dan pilu yang pernah kita lalui bersama, kini hanya menjadi fragmen memori yang berputar tiada henti.

Setiap kata yang dahulu engkau ucapkan bagai kidung asmaraloka, kini berubah menjadi gema yang menyakitkan, merasuki relung jiwa saya yang kini terasa semakin hampa. Ketulusan yang terpancar dari nayanikamu dahulu, kini hanya ilusi yang membuat saya semakin terpuruk dalam sunyi yang mengalun.

Sesekali, tanpa sadar, jemari saya terulur ke kursi kosong, seolah masih mencari sentuhan jemarimu saat kita meraih serbet. Sentuhan hampa itu bagai sengatan listrik halus yang menjalar ke seluruh tubuh saya, menciptakan debar aneh yang kini hanya berupa debur lara. Saya menarik tangan saya dengan cepat, menahan air mata yang mendesak, karena tidak ada lagi pipimu yang memerah ranum.

Mie ayam di mangkuk saya perlahan tandas, begitu pula rasa hangat di kalbu yang semakin hirap. Es teh tawar yang dahulu terasa manis, kini berubah miris, karena lengkung rembulan tidak lagi menghiasi pandangan saya. Hujan di luar sana memang mulai mereda, menyisakan permata-permata cilik di dedaunan, berkilauan bagai air mata di bawah dewi malam yang mengintip malu-malu, seolah ikut merasakan kidung nestapa saya.

Tidak ada lagi tawaran suapan terakhir, tidak ada lagi sentuhan bibir yang tidak sengaja. Semua renjana itu kini hanya menyisakan perih.

Setelah mie ayam ludes tidak bersisa, saya terdiam sejenak, menikmati sisa-sisa kesendirian dan kedinginan. Kidung apik rintik hujan yang kian pelan menjadi latar musik yang sempurna untuk keheningan yang terasa begitu menyiksa. Es teh di gelas saya pun telah mencair, berlainan dengan pualam memori akan kebersamaan kita yang seolah tiada bosan membeku dalam duka.

Saya bangkit berdiri, sendirian. Di bawah sisa rintik hujan yang menetes dari atap warung, tidak ada lagi genggaman tangan yang menghangatkan. Langkah saya yang menyusuri jalanan basah pun terasa berat, seolah ada beban tidak kasat mata yang menarik saya kembali ke masa lampau.

Malam itu, di bawah payung yang saya bawa sendiri, saya menyadari bahwa cinta bisa bersemi di mana saja, bahkan di warung mie ayam sederhana di tengah hujan. Namun, cinta itu juga bisa meluruh, meninggalkan luka yang seolah tiada pernah rapuh. Bukan kemewahan atau hidangan amat mahal yang menjadi perantara harsa, melainkan kesederhanaan, kehangatan, dan ketulusan hati.

Saya tahu, kisah kasih kita, yang berawal dari semangkuk mie ayam dan dua gelas es teh di bawah hujan Surabaya, kini menjadi sebuah epilog pilu. Namun, aroma mie ayam dan dinginnya es teh akan selamanya menjadi pengingat akan arunika pertama asmaraloka kita yang kini hanya tinggal renjana. Semoga kelak kisah kita berangsur menghangat kembali meski kita tidak lagi saling bersua, pula tidak lagi menjejakkan perih di tubuh yang ringkih.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda