Ulasan
Review Film Chungking Express, Ketika Cinta Muncul karena Terbiasa

Yoursay.id - Chungking Express (1994) merupakan salah satu karya legendaris dari sutradara Hong Kong, Wong Kar-wai. Menggunakan gaya visual yang khas dan pendekatan naratif non-konvensional, film ini bahkan menjadi penanda dalam sinema Asia di tahun 1990-an.
Film ini mengangkat kisah tentang eksplorasi akan cinta yang tak bisa tersampaikan, kerinduan yang samar, hingga momen-momen kecil yang menyentuh dalam kehidupan yang penuh hiruk-pikuk.
Chungking Express terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama mengangkat kisah dari Polisi 223 (Takeshi Kaneshiro), yang baru saja ditinggalkan oleh sang kekasih. Ia terobsesi dengan cinta lama dan mencoba untuk melupakan masa lalu dengan membeli kaleng nanas dan menaruh hati pada sosok wanita misterius berjaket kulit dan kacamata hitam (Brigitte Lin), yang ternyata turut terlibat dalam kasus penyelundupan narkoba.
Bagian kedua kemudian berfokus pada Polisi 663 (Tony Leung Chiu-wai), yang patah hati setelah ditinggal kekasihnya. Ia secara tak sadar membangun hubungan dengan Faye (Faye Wong), pelayan restoran cepat saji yang menyelinap ke apartemennya ketika ia tengah bekerja, yang kemudian mengubah banyak hal-hal kecil dalam hidupnya.
Meski kedua cerita ini tidak saling berkaitan secara langsung, keduanya sama-sama mengangkat tema yang serupa: mengenai betapa sepinya cinta di kota yang dipenuhi banyak orang, dan bagaimana cinta muncul dalam kebiasaan dan benda-benda kecil.
Wong Kar-wai menggarap skenario film ini dengan organik dan menjadikan hasilnya sebagai dialog yang terasa spontan, tetapi kadang juga lucu dan absurd. Karakter-karakternya seringkali berbicara kepada diri sendiri, benda mati, atau diam di tengah keramaian. Tidak ada monolog yang eksplisit, justru hanya ditemani oleh kesunyian dalam menyampaikan emosi.
Christopher Doyle, sinematografer kesukaan Wong, membuat gambar-gambar yang legendaris dengan teknik handheld camera, slow motion, dan pencahayaan neon yang menonjol. Kamera bergerak cepat tetapi tetap intim dalam menangkap hiruk pikuk kota dan kekacauan para karakter secara bersamaan.
Sejumlah adegan, seperti Faye yang merpaikan apartemen sambil mendengarkan lagu California Dreamin secara berulang, atau Tony Leung yang berbicara pada sabun dan handuk, menjadi sebuah adegan ikonis karena menampilkan sebuah kesederhanaan yang penuh makna.
Semua pemeran menunjukkan kejujuran emosional yang tinggi. Takeshi Kaneshiro juga sukses memberikan penampilan yang kebingungan dengan ringan nan menyayat. Brigitte Lin juga berhasil tampil dingin yang memikat, seperti tengah menyimpan luka di balik kacamata gelapnya.
Tony Leung bermain dengan natural, sehingga membuat karakternya tampak sangat hidup meski tidak banyak berbicara.
Chungking Express menceritakan sbeuah konsep cinta dalam konteks asing. Ini bukan kisah cinta yang meledak bergejolak, tetapi cinta yang muncul dalam rutinitas, kesendirian, dan hal-hal kecil lainnya yang terabaikan. Film ini menepis struktur khas Hollywood dan memilih untuk menampilkan kehidupan sehari-hari dengan kesederhanaan, yakni tidak pasti, berulang, dan penuh akan harapan yang samar.
Film ini adalah sebuah bentuk puisi visual mengenai cinta dan waktu. Mereka merayakan kesendirian tanpa membuatnya tampak menyedihkan dan suram, serta menunjukkan bahwa keajaiban dapat terjadi melalui hal paling biasa. Wong Kar-wai mampu membuktikan bahwa sinema dapat menjadi pengalaman emosional yang apik secara bersamaan. Film ini mungkin tidak diperuntukkan bagi semua orang, tapi untuk siapapun yang berhasil masuk ke dunianya, film ini akan tinggal selamanya.
Chungking Express merupakan film romantis yang mampu menampilkan esensi cinta dan kesepian lewat keindahan visual dan kepekaan emosional yang luar biasa dengan premis sederhana, tapi dalam secara makna.