Ulasan
Mengupas Novel The Siren: Sudut Pandang Penulis dan Editor

Yoursay.id - Kalau kamu suka novel terjemahan yang cukup problematik, The Siren karya Tiffany Reisz mungkin bakalan cocok buat kamu. Kapan lagi kamu bisa melihat tulisan dari dua sudut pandang yang komplit antara penulis dan editor. Gak cuma buat koreksi tulisan sendiri, tapi juga bikin terlarut sama kisah di dalamnya.
Identitas Buku
- Judul: The Siren
- Pengarang: Tiffany Reisz
- Penerbit: Elex Media Komputindo
- Tanggal Terbit: 9 Desember 2019
- Jumlah Halaman: 424
Bisa diibaratkan novel ini lebih mirip eksperimen literer. Ketika membacanya seolah sedang menggali ke dalam luka, cinta, kehilangan, dan kekuasaan dalam hubungan. Namun dengan cara yang sangat tidak biasa. Dan jangan lupa, kadang mengejutkan.
Dalam dunia fiksi yang sering kali mengandalkan kenyamanan klise, buku ini menawarkan ketidaknyamanan sebagai pengalaman membaca yang jujur dan menantang.
Nora Sutherlin: Tokoh Utama yang Kompleks dan Konfrontatif
Merupakan the Original Sins #1, di novel ini kita akan bertemu si tokoh utama, Nora Sutherlin. Ia adalah penulis erotika yang terkenal akan kisah-kisahnya yang provokatif.
Namun, dalam naskah terbarunya, ia menulis sesuatu yang jauh lebih personal dan emosional. Cerita yang tak lagi sekadar soal seks, tapi juga luka batin dan cinta yang rumit. Untuk proyek ini, ia harus bekerja sama dengan Zachary Easton, editor fiksi sastra asal Inggris yang terkenal keras dan skeptis terhadap genre erotika.
Relasi antara Nora dan Zach adalah pusat ketegangan utama novel ini. Zach memandang rendah karya Nora, namun perlahan terpikat oleh kedalaman emosional dan intelektual yang tersembunyi di balik kisah-kisahnya. Sementara itu, Nora harus menghadapi masa lalunya—terutama hubungannya dengan Soren, seorang imam Katolik yang juga merupakan mantan dom (dominant) dalam hubungan mereka.
Narasi Gelap tentang Daya, Luka, dan Kepercayaan
Buku ini secara eksplisit menggambarkan dunia BDSM, namun tidak dalam bentuk sensasional. Tiffany Reisz menghadirkan BDSM sebagai lanskap psikologis—sebuah cara karakter-karakternya mengekspresikan kontrol, kepasrahan, rasa bersalah, dan cinta. Hubungan Nora dengan Soren, misalnya, menggambarkan kompleksitas kekuasaan dan kepatuhan, yang diselimuti konflik moral karena Soren adalah seorang rohaniwan Katolik.
Isu-isu yang diangkat pun sangat berani: perbedaan usia, pelecehan yang terselubung, kuasa spiritual dan seksual, hingga batas antara cinta dan kekerasan. Tidak semua pembaca akan nyaman dengan konten ini—dan memang tidak seharusnya.
Penuh Kritik, Namun Tak Terelakkan untuk Disimak
Salah satu bagian paling kontroversial dalam buku ini adalah saat Nora hampir terlibat hubungan dengan remaja laki-laki yang ternyata di bawah umur—dan meskipun tidak ada niat eksplisit, ketidaktahuan dan ketidakpeduliannya cukup untuk mengguncang. Banyak pembaca mungkin akan berhenti di sini, dan itu sah. Namun, Reisz tampaknya memang ingin menunjukkan bahwa bahkan karakter paling kuat dan cerdas pun bisa memiliki titik buta dan masa lalu yang kelam.
Selain itu, hubungan Zach yang rumit dengan istrinya yang berselingkuh, dan kehadiran Wesley—anak magang yang naksir berat pada Nora, menambah lapisan kompleks pada cerita. Mereka bukan sekadar tokoh pelengkap, tapi juga cerminan dari berbagai sisi kehidupan Nora: masa lalu, masa kini, dan kemungkinan masa depan.
Bacaan yang Mengguncang, Bukan Menghibur
The Siren bukan bacaan untuk semua orang. Ini bukan novel untuk mencari kehangatan hati atau pelarian romantis. Ini adalah novel yang membuat pembacanya berpikir keras, merasa tidak nyaman, bahkan marah. Tapi dalam ketidaknyamanan itulah kekuatannya. Buku ini mempertanyakan norma, menguji empati, dan memperlihatkan bagaimana cinta bisa muncul dari luka yang sangat dalam.
Dengan narasi yang cerdas, karakter yang sangat manusiawi, dan keberanian mengeksplorasi zona moral abu-abu, The Siren adalah bacaan yang kuat dan berani. Untuk pembaca yang siap menghadapi cerita yang mentah dan kompleks, buku ini layak dijelajahi—meskipun dengan hati yang siap terluka.