ulasan
Interpretasi Film Sore, Istri dari Masa Depan: Bagiku, Seperti Interaksi Tuhan dan Makhluk-Nya

Yoursay.id - Ada film-film yang selesai ditonton bikin kita senyum, ada juga yang meninggalkan bekas ganjil di dada—seperti kosong, tapi anehnya terasa penuh. Sore, Istri dari Masa Depan adalah tipe kedua. Aku nonton tanpa banyak ekspektasi, cuma ingin menikmati cerita. Tapi ketika keluar dari bioskop, rasanya justru kayak baru selesai sesi ngobrol panjang sama diri sendiri.
Dari awal, film ini menyambut penonton dengan visual yang memanjakan mata. Warna-warna hangat, pencahayaan lembut, serta latar tempat yang indah. Tapi bukan cuma visual yang jadi daya tarik utama, dialog-dialog dalam film ini mengalir ringan, natural, tapi menghantam hati di beberapa bagian. Nggak ada kalimat berlebihan, nggak ada drama lebay. Rasanya seperti denger cerita dari sahabat lama yang jujur tanpa basa-basi.
Interpretasi tiap penonton mungkin beda-beda. Buatku pribadi, Jonathan adalah representasi banyak orang di dunia nyata, termasuk aku, mungkin kamu juga. Orang yang punya luka lama, tapi terlalu gengsi untuk membahasnya. Luka masa lalu yang harusnya diobati, dibicarakan, atau disembuhkan… malah dipendam bertahun-tahun. Akibatnya bisa pelampiasan ke hal-hal yang merusak diri sendiri seperti alkohol, rokok, begadang, dan kebiasaan-kebiasaan destruktif lainnya yang kadang dianggap biasa saja.
Lalu ada Sore. Sosok yang mencintai tanpa batas, tulus, totalitas. Tapi seperti banyak dari kita saat sedang jatuh cinta, Sore juga penuh ego. Merasa bahwa dengan cinta sebesar itu, dengan usaha sekeras itu, dia berhak mendapatkan apa yang diinginkan. Ia lupa bahwa ada faktor lain yang bekerja di dunia ini selain tekad dan usaha: waktu.
Waktu dalam film ini terasa seperti perwakilan Tuhan. Ia hadir dalam bentuk peringatan, kesempatan kedua, hingga pelajaran lewat kegagalan. Ada momen ketika manusia merasa sudah berjuang keras, sudah melakukan segalanya, tapi hasilnya nihil. Di titik itulah Tuhan sering mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada usahamu yang sia-sia.
Film Sore bukan tentang logika yang sempurna. Ada beberapa bagian yang nggak masuk akal? Iya, namanya juga film dengan elemen perjalanan waktu. Tapi seperti film-film time travel lainnya, tujuan utamanya bukan bikin kita mikir “ini logis nggak ya? tapi lebih kepada pesan tersirat apa yang sebenarnya ingin dibawa oleh film ini?
Ada banyak detail kecil yang terasa relate di kehidupan nyata. Pertengkaran sepele soal kebiasaan buruk, pasangan yang nggak didengar meski sudah sering mengingatkan, manusia yang mengabaikan luka sampai akhirnya terluka orang lain. Di ruang gelap bioskop, aku ngeliat banyak penonton diam dengan mata sembab. Mungkin karena mereka merasa seperti Jonathan, mungkin juga selama ini mereka adalah 'Sore'.
Satu momen yang paling aku suka adalah scene flashback saat Jonathan dan Sore berjabat tangan di pameran. Simpel, nggak ada ledakan emosi besar, tapi terasa dalam. Karena saat adegan itu juga diputar lagu dari Barasuara yang menimbulkan efek yang bikin merinding. Lewat hubungan kompleks antara Jo dan Sore, aku sadar bahwa terkadang hubungan itu nggak perlu kata-kata besar untuk terasa berarti.
Kalau kamu mau nonton Sore, aku sarankan datang tanpa ekspektasi. Jangan sibuk mikirin alur time travel-nya harus masuk akal. Fokus sama perasaanmu saat nonton. Saat selesai, renungkan pesan yang dibawa oleh film ini. Sore mengajarkan aku satu hal sederhana: kadang, luka yang nggak pernah kita hadapi akan terus mengendalikan kita. Dan kadang, sekeras apapun usahamu, nggak semua hal harus diperjuangkan mati-matian. Ada kalanya kita perlu berserah… lalu biarkan waktu dan Tuhan bekerja.