ulasan

Tradisi Menyapa Akademisi, Ulos Jadi Simbol Kehormatan di AP2TPI 2025 Medan

Tradisi Menyapa Akademisi, Ulos Jadi Simbol Kehormatan di AP2TPI 2025 Medan
Narasumber diberikan kain ulos dalam kegiatan AP2TPI di Medan (Dok.pribadi/Rion Nofrianda)

Yoursay.id - Kota Medan tidak hanya menjadi tuan rumah bagi Kolokium Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (AP2TPI) tahun 2025, tetapi juga menjadi panggung di mana pengetahuan akademik dipeluk erat oleh nilai-nilai budaya yang penuh makna. Dalam rentang tiga hari, sejak tanggal 23 hingga 25 Juni 2025, Medan menjadi ruang yang tidak hanya merayakan intelektualitas, tetapi juga merawat tradisi, menyambung akar budaya dengan benang-benang kebangsaan.

Kegiatan AP2TPI kali ini tidak sekadar berlangsung dengan agenda akademik yang biasa. Lebih dari itu, suasana keilmuan yang dibangun menjadi sangat berkesan karena kehangatan yang dirajut melalui setiap detik pertemuan. Salah satu momen yang paling menyentuh hati dan membekas dalam ingatan adalah penyematan kain ulos kepada setiap pemateri yang hadir dan berbagi ilmu. Ulos tidak sekadar selembar kain tradisional, ia adalah simbol kasih, penghormatan, dan restu yang lahir dari kebudayaan Batak. Maka ketika ulos itu dikalungkan di pundak para akademisi dari berbagai penjuru Indonesia, yang terasa bukan hanya apresiasi, tetapi juga penyambutan yang mendalam sebuah pelukan budaya dari tanah Batak kepada para pencari dan penyebar ilmu.

Ulos, bagi masyarakat Batak, bukan sekadar kain tenun biasa. Ia adalah warisan leluhur yang sarat makna spiritual dan sosial. Dalam setiap motif dan lilitannya, terkandung doa dan harapan baik. Ulos dikenakan dalam berbagai upacara penting, seperti kelahiran, pernikahan, hingga kematian, serta dalam penyambutan tamu-tamu kehormatan. Maka, ketika panitia Kolokium AP2TPI memilih menyematkan ulos kepada pemateri, itu bukan keputusan sembarangan. Itu adalah bentuk penghormatan tertinggi, yang menyatukan keagungan ilmu dan kebesaran budaya lokal dalam satu ikatan simbolik.

Kain ulos yang disematkan dalam acara ini bukan hanya menjadi suvenir atau kenang-kenangan. Ia menjelma menjadi lambang penerimaan dan kehangatan dari Sumatera Utara kepada dunia akademik. Banyak di antara pemateri yang terharu, bahkan ada yang tak kuasa menahan air mata saat ulos disampirkan di pundaknya. Momen ini menyentuh sisi emosional dari pengalaman keilmuan yang kerap kali terkesan rasional dan formal. Penyematan ulos menjadi penyeimbang: mengajak para peserta untuk tidak hanya mengingat ilmu yang ditransfer, tetapi juga nilai yang diwariskan.

Beberapa dosen senior dan akademisi terkemuka dari berbagai universitas di Indonesia yang hadir sebagai pembicara mengaku belum pernah merasakan penyambutan sehangat dan sebermakna ini dalam forum-forum ilmiah sebelumnya.

“Ketika ulos ini disematkan, saya merasa benar-benar dihormati bukan hanya karena apa yang saya sampaikan di forum, tetapi karena siapa saya sebagai tamu yang datang. Rasanya seperti diterima sebagai bagian dari keluarga besar di tanah Batak ini,” ungkap salah satu narasumber AP2TPI dengan suara bergetar.

Di sela-sela kemegahan presentasi ilmiah dan diskusi intelektual, penyematan ulos menjadi pengingat bahwa budaya lokal adalah bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan tinggi di Indonesia. AP2TPI sebagai asosiasi yang menaungi institusi pendidikan tinggi psikologi di seluruh negeri, telah memberi contoh luar biasa bagaimana forum akademik tidak harus kering dan terpisah dari akar budaya. Justru dengan merangkul tradisi seperti ini, diskusi keilmuan menjadi lebih membumi, lebih manusiawi, dan lebih bermakna.

Penyematan ulos ini juga menjadi simbol dialog antara psikologi sebagai ilmu dan budaya sebagai realitas yang hidup. Dalam tradisi Batak, pemberian ulos menyampaikan pesan yang sangat dalam tentang relasi antarmanusia. Psikologi pun pada dasarnya membahas hal yang sama: bagaimana manusia membangun relasi, membentuk makna, dan menyusun pengalaman. Maka dalam momen penyematan ulos, sesungguhnya telah terjadi pertemuan yang utuh antara ilmu dan kearifan lokal. Inilah psikologi yang kontekstual, yang tidak tercerabut dari tanah tempat ia tumbuh.

Panitia pelaksana yang sebagian besar berasal dari kampus-kampus di Sumatera Utara, tampak begitu rinci dan serius mempersiapkan momen penyematan ini. Mulai dari pemilihan jenis ulos yang sesuai dengan makna dan status penerimanya, hingga tata cara penyematan yang mengikuti tradisi adat. Setiap ulos disiapkan secara khusus, dibawa dengan penuh kehormatan, dan disematkan oleh para tokoh lokal atau panitia dengan iringan musik tradisional. Dalam beberapa sesi, prosesi ini bahkan diselingi dengan doa atau ucapan berkat, menjadikannya sebagai ritual kecil yang sakral dan menyentuh.

Yang menarik, bukan hanya pemateri yang mendapat ulos merasa tersentuh, tetapi juga para peserta yang menyaksikan. Banyak dari mereka yang mengabadikan momen ini dengan kamera, namun lebih dari sekadar dokumentasi visual, mereka merekam makna yang lebih dalam bahwa kolokium ini bukan sekadar ajang ilmiah, tetapi juga perayaan kebudayaan.

Suasana aula seketika menjadi lebih hangat dan khidmat setiap kali ulos disematkan. Sorak tepuk tangan dan senyum bahagia menghiasi wajah-wajah peserta yang merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Tidak sedikit yang menyatakan bahwa pengalaman ini akan mereka ceritakan kepada mahasiswa dan rekan sejawat di kampus asal, sebagai contoh bagaimana ilmu dan budaya bisa berjalan seiring, saling menguatkan dan saling menghormati.

Dalam konteks yang lebih luas, penyematan ulos di Kolokium AP2TPI Medan 2025 juga bisa dibaca sebagai strategi cerdas dalam membangun kesadaran nasional akan pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan tinggi. Saat dunia semakin global dan ilmu pengetahuan melaju begitu cepat, sering kali institusi pendidikan terseret dalam arus standardisasi global yang membuatnya melupakan identitas lokal. Namun melalui momen seperti ini, kita diingatkan kembali bahwa pendidikan sejati adalah yang mampu berdialog dengan budaya sendiri, dan bahkan menjadikannya sebagai sumber daya yang kaya untuk membentuk kepribadian bangsa.

Tradisi ulos, yang pada awalnya mungkin dianggap sekadar ornamen lokal, kini justru tampil sebagai simbol modernitas yang berakar. AP2TPI telah menunjukkan bahwa forum akademik pun bisa menjadi ruang pelestarian budaya, tempat di mana tradisi tidak hanya dikenang, tetapi juga dijalani, dirasakan, dan dimaknai kembali dalam konteks kekinian.

Salah satu hal yang paling patut dicatat dari kolokium ini adalah kesadaran para penyelenggara untuk tidak menjadikan budaya sebagai tempelan seremonial semata. Mereka benar-benar menghidupi nilai-nilai lokal dalam setiap aspek kegiatan, dari tata ruang yang dihias dengan ornamen khas Sumatera Utara, hidangan tradisional yang disajikan saat makan siang dan malam, hingga musik dan tari-tarian yang mengiringi pembukaan dan penutupan acara. Bahkan dalam diskusi-diskusi psikologi, tema-tema yang diangkat pun banyak yang mengaitkan antara teori psikologi dengan dinamika masyarakat lokal, seperti psikologi budaya, psikologi komunitas, dan pendekatan indigenous psychology.

Ulos, dengan demikian, tidak hanya menjadi tanda terima kasih, tetapi juga menjadi simbol kolaborasi antara ilmu pengetahuan dan nilai budaya. Ia mengikat dua dunia yang sering kali dianggap berbeda: dunia akademik yang rasional dan dunia budaya yang emosional dan simbolik. Di Medan, pada bulan Juni 2025 ini, dua dunia itu menyatu dalam harmoni yang indah.

Jika kita mau jujur, sering kali kegiatan akademik nasional terasa kaku, monoton, dan terlepas dari akar sosial tempatnya berlangsung. Namun AP2TPI di Medan membuktikan bahwa forum ilmiah bisa menjadi ruang ekspresi kebangsaan, ruang dialog antarbudaya, dan ruang spiritualitas kolektif. Lewat selembar ulos, para pemateri bukan hanya pulang dengan sertifikat dan materi presentasi, tetapi juga dengan hati yang disentuh, dengan kenangan yang hangat, dan dengan pesan yang abadi: bahwa ilmu adalah juga soal rasa, tentang menghargai, tentang menyapa, dan tentang menyatukan.

Ketika para peserta kembali ke daerah masing-masing, membawa cerita tentang kolokium ini, mereka tidak hanya membawa hasil diskusi atau materi seminar. Mereka membawa sebuah contoh praktik nyata bagaimana sebuah kegiatan akademik bisa menjelma menjadi ruang pembelajaran holistik yang mendidik kepala sekaligus menyentuh hati. Kain ulos yang mereka bawa pulang adalah lambang dari itu semua: bahwa ilmu dan budaya bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua tangan yang saling menggenggam dalam membangun masa depan Indonesia.

Dan Medan, dengan seluruh keramahan dan kebudayaannya, telah menjadi tuan rumah yang tak sekadar menerima tamu, tetapi menyatukan hati. AP2TPI Medan 2025 pun bukan hanya menjadi agenda tahunan biasa, tetapi menjadi monumen kecil dalam perjalanan psikologi Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai lokal, menjadikannya landasan kuat dalam membangun ilmu yang bermakna dan berdaya ubah.

Rion Nofrianda

Rion Nofrianda

Berbagilah, Kisah Kita Tak Sama

Total Artikel 400

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda