ulasan
Seni Memimpin dengan Empati dalam Film Portrait of a Prime Minister

Yoursay.id - Rasa-rasanya nggak banyak tokoh dunia modern yang bisa membangkitkan rasa ingin tahu dan empati sedalam Jacinda Ardern, mantan Perdana Menteri Selandia Baru.
Jadi ketika kisah hidup dan kepemimpinannya diangkat ke layar dalam dokumenter berjudul: ‘Portrait of a Prime Minister’, tentu saja langsung bikin kepo.
Film ini tayang perdana di Sundance Film Festival 2025 dan memenangkan Audience Award untuk kategori World Cinema Documentary. Mantap deh! Selepas penayangan di festival tersebut, judul dipersingkat jadi ‘Prime Minister’.
Disutradarai Lindsay Utz dan Michelle Walshe, dokumenter ini diproduseri Chelsea Winstanley, Cass Avery, dan diproduksi Augusto bersama Notable Pictures.
Alih-alih membanjiri ‘penontonnya' dengan wawancara pakar atau suara pihak ketiga, ‘Portrait of a Prime Minister’ malah fokus pada sosok Jacinda itu sendiri. Penasaran? Yuk, kepoin bareng!
Impresi Selepas Nonton Film Portrait of a Prime Minister
Kita tuh dibawa menyelami hidupnya melalui dua sumber utama: Arsip dokumentasi publik dan rekaman personal dari pasangannya, Clarke Gayford.
Bayangkan, melihat pemimpin dunia mengisi dokumen negara sambil duduk di tempat tidur, perut buncit hamil besar, menjawab pertanyaan dari kamera rumah tangga. Rasanya begitu manusiawi.
Nah, film ini membuka lembar demi lembar perjalanan Jacinda, dari awal keterlibatannya di Partai Buruh saat remaja, hingga menjadi pemimpin partai secara mendadak hanya tujuh minggu sebelum pemilu nasional 2017.
Kemenangan itu mengangkatnya menjadi perdana menteri perempuan termuda dalam sejarah Selandia Baru, sekaligus satu dari sedikit kepala negara yang melahirkan saat menjabat. Sebuah fakta yang, seharusnya biasa saja, tapi tetap terasa ‘mengguncang’ karena dunia politik masih jarang melihat perempuan memimpin sambil menyusui.
Dan yang membuat film ini kuat, tentunya karena kejujuran dan kerentanan si pemimpin. Jacinda nggak hanya memperlihatkan sisi tangguhnya saat menghadapi tragedi besar seperti penembakan di Masjid Christchurch 2019 atau pandemi COVID-19, tapi juga kegelisahannya sebagai ibu baru, sebagai perempuan muda yang terus-menerus ditanya, "Tapi kamu suka Trump nggak?" Seolah-olah itu hal paling penting dari semua isu dunia.
Beberapa momen dalam dokumenter ini benar-benar mengguncangku secara emosional. Misalnya, ketika Jacinda berdiri di hadapan publik setelah serangan Christchurch dan menyatakan dengan lantang: "They do not have a voice. We are their voice." Keputusannya untuk langsung merombak undang-undang kepemilikan senjata dan menerapkan program pembelian kembali senjata api adalah langkah berani yang nggak cuma efektif, tapi juga jadi simbol moral bagi dunia.
Saat COVID-19 menghantam, Jacinda menutup perbatasan Selandia Baru dengan sigap. Langkah yang awalnya menuai pujian itu kemudian juga jadi sasaran protes keras, bahkan mengarah pada gelombang ujaran kebencian dan ancaman fisik yang berujung pada demonstrasi besar di luar Parlemen.
Film ini menangkap semua itu bukan dengan dramatisasi berlebihan, tapi lewat potongan kehidupan nyata, yang justru terasa jauh lebih menyentuh karena polos dan jujur.
Sebagian orang mungkin akan bertanya: “Kenapa nggak ada suara dari lawan politiknya? Mana kritik-kritik pedas terhadap keputusan-keputusannya?” Tapi film ini jelas nggak lagi membuat laporan objektif. Ini tuh potret personal seorang pemimpin yang berada di pusaran badai global. Dan dari sudut pandang itu, film ini berhasil dengan sangat baik.
Satu kutipan yang terus terngiang bagiku muncul di bagian akhir film. Dalam sebuah kuliah di Harvard, Jacinda mengutip percakapan legendaris antara Benjamin Franklin dan Elizabeth Willing Powel: "A republic, if you can keep it." (Republik, jika kamu bisa mempertahankannya). Kalimat itu terasa sangat relevan, mengingat bagaimana demokrasi dan stabilitas dunia kini tengah diguncang dari banyak arah.