ulasan

Empati Artifisial, Ilusi Kemanusiaan dalam Dunia Kecerdasan Buatan

Empati Artifisial, Ilusi Kemanusiaan dalam Dunia Kecerdasan Buatan
Ilustrasi kecerdasan buatan yang diakses manusia (pexels/Sanket Mishra)

Yoursay.id - Kemunculan Kecerdasan Buatan (artificial intelligence/ai) telah merevolusi hampir seluruh aspek kehidupan manusia kontemporer. Namun, di balik pesatnya transformasi digital yang dibawa oleh ai, terdapat pertanyaan mendalam yang tidak hanya bersifat teknologis, tetapi juga eksistensial: bagaimana relasi antara Psikologi manusia dan entitas cerdas yang dibentuk oleh manusia itu sendiri? Apakah ai sekadar alat bantu, atau telah menjadi representasi baru dari pemrosesan psikologis yang semula hanya dimiliki oleh manusia?

Psikologi, sebagai disiplin yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia, tidak bisa lagi memosisikan diri di pinggir arus revolusi teknologi ini. Dalam banyak aspek, ai lahir dari dan sekaligus menguji ulang teori-teori Psikologi. Sistem pemrosesan bahasa alami, pengenalan emosi, pembelajaran mesin, bahkan pembuatan keputusan otomatis, semua merupakan bentuk konkret dari Psikologi terapan yang kini diwujudkan dalam bahasa pemrograman dan algoritma. Pelru digaris bawahi bahwa, yang menjadi soal bukan hanya tentang sejauh mana ai mampu meniru manusia, tetapi juga sejauh mana kita masih memahami manusia dalam pengaruh dan batas teknologi.

Salah satu studi kasus yang paling relevan dalam membincang relasi antara Psikologi dan ai adalah kemunculan chatbot terapi mental berbasis ai, seperti Woebot, Wysa, dan Replika. Ketiganya dirancang untuk memberikan dukungan psikologis secara daring kepada pengguna dengan pendekatan berbasis terapi perilaku-kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/CBT). Pengguna dapat berinteraksi melalui teks, mengungkapkan perasaan, dan menerima respons berbasis pola kalimat, yang seolah-olah berasal dari seorang terapis profesional.

Dalam telaah teoretis, penggunaan pendekatan CBT oleh chatbot didasarkan pada model kognitif yang dikembangkan oleh Aaron T. Beck, yang memandang bahwa pikiran negatif otomatis dapat dimodifikasi melalui restrukturisasi kognitif. Secara prinsip, algoritma chatbot tersebut menggunakan pengenalan pola bahasa untuk mengidentifikasi distorsi kognitif dan menyarankan alternatif yang lebih adaptif. Namun, pendekatan ini meskipun sahih secara teori menjadi problematik saat dikelola sepenuhnya oleh sistem non-manusia.

Penelitian oleh Fitzpatrick et al. (2017) yang menguji efektivitas Woebot memang menunjukkan penurunan gejala depresi ringan pada responden dalam dua minggu. Namun, efektivitas ini harus dibaca dalam batas-batas yang jelas: hanya untuk kasus ringan, dalam waktu terbatas, dan dengan risiko besar jika pengguna tidak membedakan chatbot dari terapis profesional. Aspek yang tak tergantikan dalam terapi adalah dimensi intersubjektif: rasa hadir, empati otentik, dan pemahaman kontekstual. Semua hal ini tidak bisa sepenuhnya direplikasi oleh mesin, betapapun canggihnya. Dalam bahasa teori Carl Rogers, “unconditional positive regard” dan “empathic understanding” bukan sekadar respons verbal, tetapi pengalaman relasional.

Di luar ranah klinis, ai juga telah masuk ke ruang-ruang Psikologi industri dan organisasi, terutama dalam proses seleksi dan rekrutmen. Platform seperti HireVue menggunakan pemrosesan video dan machine learning untuk menilai kandidat kerja berdasarkan ekspresi wajah, nada suara, dan pilihan kata saat wawancara. Dengan asumsi bahwa perilaku nonverbal mencerminkan kepribadian dan kompetensi, sistem ini membuat keputusan otomatis tentang siapa yang “layak” dipekerjakan.

Namun, praktik ini secara fundamental bertentangan dengan prinsip validitas dan reliabilitas dalam psikometri. Teori kepribadian seperti Big Five (OCEAN) yang menjadi rujukan banyak algoritma ai pada dasarnya menekankan bahwa kepribadian seseorang tidak bisa diukur secara instan dan kontekstual melalui mimik wajah atau intonasi semata. Lebih jauh, pendekatan behavioristik yang reduksionis dalam sistem ini mengabaikan konteks budaya, latar belakang sosial, dan dinamika psikososial kandidat.

Dari perspektif etika digital, terdapat kekhawatiran mendalam tentang bias algoritmik. ai yang dilatih dengan data historis berisiko mereproduksi diskriminasi rasial, gender, atau kelas sosial yang sudah mengakar dalam data tersebut. Misalnya, sistem yang dilatih dengan data dari perusahaan multinasional di negara maju mungkin tidak mampu memahami nilai-nilai budaya dari kandidat di negara berkembang. Ini menciptakan ketimpangan struktural baru, yang disebut oleh beberapa pakar sebagai bentuk “automated inequality.”

Dalam situasi seperti ini, etika Psikologi harus hadir sebagai panduan bukan hanya bagi para profesional, tetapi juga bagi pembuat kebijakan dan pengembang teknologi. Prinsip-prinsip etika Psikologi yang dirumuskan oleh American Psychological Association (APA) dan berbagai organisasi internasional menggarisbawahi pentingnya informed consent, privasi, keadilan, dan tanggung jawab profesional. Sayangnya, dalam pengembangan ai, prinsip-prinsip ini sering kali ditinggalkan atau dipinggirkan karena dorongan efisiensi, skalabilitas, dan profit.

Satu aspek penting yang jarang dibahas adalah bagaimana ai juga mengubah cara manusia melihat dirinya sendiri. Dalam teori konstruksionisme sosial yang dipopulerkan oleh Kenneth Gergen, identitas manusia terbentuk dalam relasi sosial dan interaksi simbolik. Namun, jika interaksi tersebut kini juga terjadi dengan entitas non-manusia seperti ai, maka identitas manusia ikut dikonstruksi ulang dalam relasi yang tidak lagi bersifat timbal balik. Ketika seorang remaja lebih sering mengungkapkan isi hatinya kepada chatbot daripada kepada orang tuanya, maka proses pengembangan identitas dan emosi ikut dipengaruhi oleh respons yang bersifat artifisial.

Hal ini mendorong perlunya pendekatan Human-Centered ai (HCAI), yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai pusat dalam desain dan implementasi teknologi. Pendekatan ini tidak sekadar ingin menjadikan ai “ramah pengguna,” tetapi juga memperjuangkan keberlanjutan psikologis, keberagaman budaya, dan keadilan sosial. Dalam kerangka ini, Psikologi memainkan peran kunci dalam memahami bagaimana manusia berinteraksi dengan teknologi, serta bagaimana merancang sistem yang memperkuat agensi manusia, bukan menggantikannya.

Salah satu contoh implementasi HCAI adalah kolaborasi antara MIT Media Lab dan psikolog perkembangan untuk menciptakan ai pendamping bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Dalam proyek ini, ai tidak sekadar mengenali ekspresi atau suara, tetapi juga disesuaikan dengan perkembangan kognitif dan emosi anak. Intervensi yang dikembangkan bertujuan bukan untuk menggantikan peran guru atau terapis, melainkan untuk melengkapi pengalaman belajar yang adaptif dan personal.

Namun, tantangan besar tetap terletak pada regulasi dan kebijakan publik. Di Indonesia, misalnya, regulasi penggunaan ai dalam konteks Psikologi dan kesehatan mental masih sangat minim. Tidak ada batasan eksplisit tentang bagaimana chatbot terapi boleh beroperasi, siapa yang bertanggung jawab atas dampaknya, dan sejauh mana pengguna dilindungi dari potensi kerugian psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa peran psikolog bukan hanya dalam ranah praktik, tetapi juga dalam advokasi kebijakan.

Selain itu, pendidikan Psikologi pun perlu berevolusi. Kurikulum Psikologi abad ke-21 harus membekali mahasiswa dengan literasi digital, kemampuan kritis terhadap teknologi, dan keterampilan kolaboratif lintas disiplin. Psikolog masa depan tidak hanya harus memahami teori Freud, Skinner, atau Bandura, tetapi juga memahami bagaimana algoritma bekerja, bagaimana data diproses, dan bagaimana nilai-nilai kemanusiaan bisa dijaga di tengah sistem otomatisasi.

Pada akhirnya, pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan adalah: jika ai bisa memahami dan bahkan memprediksi perilaku manusia, apakah itu berarti ai sudah menjadi manusia? Atau justru kita sedang membatasi makna kemanusiaan menjadi sekadar kumpulan data yang bisa diproses secara statistik?

Dalam konteks ini, peringatan Erich Fromm menjadi sangat relevan: bahwa manusia tidak boleh kehilangan kemanusiaannya dalam perburuan efisiensi dan kontrol. ai bisa meniru empati, tetapi empati sejati tidak hanya mengenali emosi ia juga merasakan, menyelami, dan hadir secara utuh dalam ruang batin orang lain. Inilah tugas Psikologi: menjaga ruang batin itu tetap manusiawi, bahkan ketika dunia di sekeliling kita semakin artifisial.

Rion Nofrianda

Rion Nofrianda

Berbagilah, Kisah Kita Tak Sama

Total Artikel 393

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda