Rona
Saat Pemuda Adat Tampil di Panggung Dunia Membela Hutan dan Budaya: Mengapa Ini Penting?

Yoursay.id - Dulu, suara Pemuda Adat sering diabaikan. Urusan hutan, tanah, dan sungai seakan hanya jadi kewenangan elite. Kini, situasinya berubah. Dari desa-desa adat hingga panggung konferensi internasional, mereka hadir dengan pesan jelas: masa depan harus dibicarakan bersama, bukan ditentukan sepihak.
Cindy Yohana dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) percaya, generasi muda adat punya peran penting. Mereka adalah pewaris nilai leluhur sekaligus penjaga bumi. Dengan kearifan lokal, pemuda adat merawat hutan, sungai, laut, dan tanah ulayat. Tak hanya itu, mereka membuka jalan bagi ekonomi yang berkelanjutan.
“Kearifan ini tidak hanya menjaga harmoni manusia dan alam, tetapi juga membuka potensi pangan lokal, hasil hutan non-kayu, dan kerajinan tradisional,” kata Cindy.
Pesan ini menggema hingga ke forum dunia. Juli lalu, di Global Youth Forum (GYF) di Bali, lebih dari 50 pemimpin muda dari 27 negara bertemu. Mereka berdialog dengan tetua adat, berbagi pengalaman, dan menguatkan jaringan kepemimpinan.

“Forum seperti ini memastikan pemuda dibekali, terhubung, dan diberdayakan untuk membela komunitas mereka serta memimpin perubahan transformatif,” ujar Sabba Rani Maharjan, konsultan asal Nepal.
Hasil pertemuan itu akan dibawa ke COP30 di Brasil, forum iklim terbesar dunia, November mendatang.
Tantangan Global, Harapan Lokal
Indonesia punya hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Maka kehadiran Pemuda Adat di panggung global bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Mereka berada di garis depan menjaga hutan dan wilayah adat, penopang penting untuk menahan laju krisis iklim.
Hero Aprila, Ketua BPAN, menegaskan, anak muda adat harus diberi ruang lebih luas. “Sebagai generasi muda, kita harus berperan aktif hingga terlibat secara bermakna dalam setiap forum pengambilan keputusan, bukan hanya ikut-ikutan,” tegasnya.
Tapi jalannya tidak mulus. Globalisasi membawa dua wajah: peluang sekaligus ancaman. Di Filipina, Funa-ay Claver dari Asia Young Indigenous Peoples Network (AYIPN) menyoroti penggusuran tanah adat akibat ekspansi korporasi.
Di Kongo, Elnathan Nkuli dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) menggambarkan tekanan yang sama: penebangan liar, tambang, dan konflik akibat konsesi yang diberikan tanpa persetujuan masyarakat.
Namun globalisasi juga membuka pintu lain. Ada akses pendidikan. Ada teknologi digital. Ada jejaring lintas negara. Hero melihatnya seperti dua sisi mata uang. “Banyak pemuda adat kehilangan identitas, tapi dengan memilih tinggal di kota, kita bisa memperkenalkan budaya kepada dunia luar. Teknologi membantu kita menunjukkan cara berburu, mengambil madu, atau berkebun sebagai identitas budaya,” jelasnya.
Bergerak untuk Berdaya
Di tengah tantangan, muncul solusi dari akar rumput. BPAN bersama AMAN membangun sekolah adat. Belajarnya bukan di kelas, tapi di hutan, di sungai, di pantai. Guru-gurunya bukan akademisi, melainkan masyarakat adat sendiri.
“Kalau mau belajar menganyam rotan, ya langsung praktik di hutan. Begitu juga berburu, berkebun, atau mempelajari aksara daerah,” kata Hero. Sekolah adat menjadi ruang untuk menjaga pengetahuan leluhur tetap hidup sekaligus relevan.
Kisah serupa datang dari Kongo. CEPF melatih perempuan adat tentang hutan berkelanjutan. Hasilnya signifikan: deforestasi turun 40 persen, koperasi perempuan berdiri, dan hasil hutan dikelola lebih bijak. Sementara AYIPN meluncurkan kampanye Indigenous Lands in Indigenous Hands (ILIH) untuk memperkuat jaringan Pemuda Adat di akar rumput.
Cindy menekankan pentingnya kolaborasi lintas batas. Pertukaran pengalaman, kampanye bersama, hingga advokasi di level global membuat posisi pemuda adat makin kuat.
“Melalui kolaborasi ini, posisi Pemuda Adat makin kuat dalam menghadapi krisis global seperti perubahan iklim dan perampasan tanah,” ujarnya.