rona

Dari Kearifan Lokal hingga Gerakan Global: Inilah Politik Bumi yang Bisa Selamatkan Kita!

Dari Kearifan Lokal hingga Gerakan Global: Inilah Politik Bumi yang Bisa Selamatkan Kita!
Ilustrasi bumi (Unsplash/Carl Wang)

Yoursay.id - Di tengah krisis iklim yang kian nyata, muncul satu pertanyaan mendasar: apakah politik kita hari ini benar-benar berpihak pada keberlangsungan bumi, ataukah justru menjadi bagian dari kerusakan sistematis terhadapnya? Pertanyaan ini bukan sekadar retoris, melainkan ajakan untuk meninjau ulang orientasi kekuasaan yang terlalu lama abai terhadap alam.

Jika politik adalah seni kemungkinan, maka politik bumi adalah seni menyelamatkan kemungkinan hidup itu sendiri. Pasalnya, tanpa bumi yang layak huni, tak akan ada negara, ideologi, atau pemilu yang berarti.

politik bumi menjadi titik temu antara ekologi, keadilan sosial, dan tata kelola kekuasaan. Dalam kerangka ini, bumi tak lagi bisa diposisikan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai subjek yang memiliki hak eksistensial.

Kegagalan politik modern 

Filsuf Bruno Latour (2018), dalam bukunya Down to Earth, menyatakan bahwa kegagalan utama politik modern adalah ketidakmampuannya mempertimbangkan kenyataan ekologis. Kita hidup dalam ilusi bahwa manusia dapat menguasai alam, padahal kenyataannya, justru manusialah yang sepenuhnya bergantung padanya untuk bertahan hidup.

Ketergantungan ini semakin nyata lewat rangkaian bencana ekologis yang makin sering terjadi: banjir besar, kekeringan berkepanjangan, kebakaran hutan, hingga krisis pangan. Fenomena-fenomena tersebut bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga persoalan politik, karena menyangkut distribusi risiko dan ketimpangan daya tanggap antarkelompok masyarakat.

Secara global, ketimpangan ini tampak jelas. Negara-negara di belahan bumi utara yang menjadi penyumbang utama emisi karbon secara historis, justru sering menuntut negara berkembang untuk bersikap lebih ramah lingkungan.

Padahal, seperti diungkapkan Naomi Klein (2014) dalam This Changes Everything, akar dari krisis iklim justru terletak pada kapitalisme deregulatif dan logika pertumbuhan tanpa batas.

Sebaliknya, masyarakat adat dan komunitas lokal justru telah lama hidup dalam harmoni dengan alam. Di Indonesia, kearifan lokal seperti leuweung larangan dalam budaya Sunda, atau sasi di Maluku, menjadi bukti bahwa relasi dengan alam dapat bersifat sakral dan penuh tanggung jawab.

Namun, ironi justru terjadi ketika kebijakan negara kerap bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Proyek infrastruktur skala besar sering menggusur lahan adat atas nama pembangunan. Alih-alih mendukung keberlanjutan, politik yang tidak berpijak pada etika ekologis justru memperparah krisis.

Kita bisa melihat contohnya di Kalimantan, di mana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) berpotensi menggusur ekosistem penting serta komunitas adat Paser dan Dayak. Jika tidak dikelola secara ekologis, IKN bukan menjadi simbol kemajuan, melainkan contoh nyata kegagalan politik bumi.

Sayangnya, komunitas yang paling terdampak justru paling jarang dilibatkan. Inilah yang disebut Vandana Shiva sebagai bentuk ekokolonialisme, yaitu pengambilalihan ruang hidup oleh kekuatan ekonomi dan politik global tanpa memperhitungkan suara lokal.

Shiva sendiri mendorong terwujudnya konsep demokrasi bumi, di mana setiap makhluk hidup, termasuk tanah dan air, memiliki hak eksistensial. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap dominasi manusia atas alam dan ajakan menuju sistem yang lebih setara.

Minim hasil konkret

Di level global, forum seperti COP (Conference of Parties) pun sering dikritik karena elitis dan minim hasil konkret. Komitmen negara-negara besar lebih sering bersifat sukarela, mudah dilanggar, dan tidak mengikat secara hukum.

Kita bisa mengingat bagaimana Amerika Serikat menarik diri dari Perjanjian Paris di era Trump, sebuah tindakan yang menggambarkan lemahnya konsensus global bila politik domestik negara kuat tak berpihak pada bumi.

Di Indonesia, masalah serupa tampak dalam sektor energi. Kebijakan energi nasional masih bertumpu pada batubara. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih menjadi prioritas dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), meskipun emisinya tinggi dan dampaknya sangat buruk bagi kesehatan masyarakat.

Laporan WHO tahun 2022 mencatat bahwa polusi udara menyebabkan 7 juta kematian prematur setiap tahun di dunia. Banyak dari kasus ini terjadi di negara berkembang yang memiliki standar emisi rendah dan sistem kesehatan yang rapuh.

Sayangnya, transisi energi di Indonesia lebih banyak berfokus pada aspek teknologis dan investasi, tanpa menyentuh aspek keadilan sosial. Padahal, transisi energi yang sejati harus bersifat inklusif, adil, dan partisipatif.

Sebagai alternatif, kini mulai muncul pendekatan regenerative politics, yakni politik yang tidak hanya menghentikan kerusakan, tetapi juga memulihkan kehidupan.

Filosofi Sunda Wiwitan mengajarkan pentingnya keseimbangan antara buana alit (diri manusia) dan buana gede (alam semesta). Jika politik berangkat dari prinsip ini, maka harmoni dan keberlanjutan menjadi fondasi, bukan dominasi dan eksploitasi.

Konsep serupa juga hadir dalam nilai belom bahadat masyarakat adat Dayak, yang mengedepankan hidup bermartabat dalam keselarasan dengan alam. Ini membuktikan bahwa prinsip politik bumi bukanlah hal baru ia telah lama hidup dalam kebudayaan Nusantara.

Namun, semua ini membutuhkan kepemimpinan yang visioner. Pemimpin dalam politik bumi bukanlah sekadar administrator proyek, melainkan penjaga kehidupan. Seperti pernah dikatakan Arne Naess, dunia membutuhkan pemimpin yang berpikir dalam kerangka biosentris, yang melihat nilai intrinsik dalam semua bentuk kehidupan.

Kendati demikian, elite politik kita sering terjebak dalam logika jangka pendek, tergoda oleh investasi asing dan janji pertumbuhan ekonomi instan. Di sinilah pentingnya tekanan dari masyarakat sipil dan gerakan akar rumput.

Gerakan seperti Extinction Rebellion dan Fridays for Future, contohnya, telah menunjukkan bahwa politik bumi bukan utopia. Ia sedang diperjuangkan, terutama oleh generasi muda yang sadar bahwa masa depan mereka dipertaruhkan.

Di Indonesia, berbagai komunitas seperti WALHI, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), hingga Greenpeace terus menyuarakan keadilan ekologis. Namun, mereka kerap dianggap sebagai pengganggu kepentingan ekonomi oleh para pemodal dan birokrat.

Perubahan gaya hidup

Pada akhirnya, politik bumi juga menuntut perubahan gaya hidup kita sehari-hari: konsumsi yang lebih bijak, mobilitas yang lebih sadar lingkungan, dan solidaritas yang melampaui spesies manusia.

Kita harus berani merancang ulang ekonomi kita sehingga bukan sebagai mesin pertumbuhan abadi, melainkan sebagai sistem distribusi yang adil dan selaras dengan batas-batas planet.

Maka, mari kita mulai dari diri sendiri, dari cara kita memilih, berbicara, hingga mendukung kebijakan yang berpihak pada regenerasi kehidupan.

politik bumi bukanlah gerakan satu orang, satu partai, atau satu negara. Ia adalah gerakan kolektif untuk bertahan hidup bersama.

Sebagaimana dikatakan Chief Seattle (1780–1866), "Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak cucu kita."  Maka, kini saatnya untuk membayar kembali pinjaman itu, dengan politik yang berpihak pada kelestarian bumi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Djoko ST

Djoko ST

Warga digital

Total Artikel 8

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda