Kolom
Rangkap Jabatan Pejabat Publik: Krisis Etika, Krisis Lapangan Kerja

Di tengah sulitnya masyarakat mencari pekerjaan akibat minimnya lapangan kerja, publik justru digegerkan oleh fenomena pejabat pemerintahan yang merangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan BUMN. Data mencatat, sebanyak 30 wakil menteri (wamen) dalam kabinet Prabowo Subianto duduk di kursi komisaris BUMN maupun anak perusahaannya. Fenomena ini memantik kritik keras sekaligus kekecewaan mendalam, terutama dari masyarakat yang sedang berjuang keras agar bisa bekerja.
Sementara rakyat berhadapan dengan kenyataan pahit tingginya angka pengangguran, para pejabat tampak berlomba menumpuk jabatan. Per Februari 2025, jumlah pengangguran terbuka meningkat, dan ini berpotensi terus meningkat seiring bertambahnya lulusan SMA, SMK, dan perguruan tinggi setiap tahunnya. Ironisnya, janji penciptaan 19 juta lapangan kerja yang pernah diucapkan oleh wakil presiden terpilih, hingga kini belum terlihat tanda-tandanya.
Praktik rangkap jabatan tidak sekadar soal etika, tetapi juga membawa konsekuensi serius: potensi konflik kepentingan, fokus kerja yang terpecah, hingga merosotnya tata kelola pemerintahan yang baik. Seorang pejabat publik sudah memikul tanggung jawab besar atas urusan negara, sementara komisaris BUMN juga dituntut menjaga kinerja perusahaan yang melibatkan kepentingan masyarakat luas. Jika keduanya digabung, beban tanggung jawab menjadi tidak realistis, dan kualitas kinerja bisa terancam.
Di kalangan masyarakat biasa, "double job" dilakukan karena terpaksa. Seorang pegawai kantoran bisa saja menjadi pengemudi ojek online di malam hari atau membuka warung kecil demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sementara bagi pejabat publik, rangkap jabatan justru membuka pintu pada privilese ganda: jabatan dan penghasilan.
Secara hukum, praktik rangkap jabatan ini sudah pernah disentuh putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 secara jelas melarang menteri merangkap jabatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Selain itu, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menekankan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, yang jelas berbenturan dengan praktik rangkap jabatan. Hal serupa ditegaskan pula dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001, yang menuntut integritas pejabat publik serta kewajiban menjauhkan diri dari kepentingan ekonomi pribadi atau golongan.
Rangkap jabatan semakin mengikis kepercayaan masyarakat kepada negara. Jabatan publik kini tak lagi dipandang sebagai amanah rakyat, melainkan alat untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan memperluas akses pada keuntungan pribadi. Akibatnya, kredibilitas pemerintah sebagai pelayan publik pun merosot.
Fenomena ini juga bertentangan dengan prinsip good governance menurut UNDP (1997), yang menekankan akuntabilitas, transparansi, dan profesionalisme dalam tata kelola negara. Pertanyaan besar pun muncul: apakah republik ini benar-benar kekurangan sosok kompeten di luar lingkaran kekuasaan, hingga pejabat harus merangkap jabatan di BUMN?
Menyelesaikan masalah rangkap jabatan tak cukup hanya mengandalkan teguran publik atau kritik media. Diperlukan transformasi menyeluruh, baik dari aspek regulasi maupun moral. Revisi UU No. 39 Tahun 2008 harus dilakukan untuk memperjelas kedudukan wakil menteri agar tunduk pada aturan larangan rangkap jabatan sebagaimana menteri.
Lebih jauh, perlu dibangun kesadaran etis di kalangan pejabat publik bahwa setiap jabatan adalah amanah, bukan privilese. Integritas, rasa tanggung jawab, dan rasa malu harus menjadi pondasi dalam menjalankan pengabdian.
Sebagai pembantu Presiden, para menteri dan wakil menteri mestinya memahami bahwa rangkap jabatan justru akan mengganggu agenda besar pemerintahan. Jika dibiarkan, praktik ini bisa menimbulkan blunder kebijakan dan merusak kepercayaan publik yang semakin rapuh.
Transformasi menyeluruh ini hanya bisa terjadi jika ada komunikasi terbuka antara Presiden, menteri, dan wakil menteri serta keberanian untuk menegakkan standar integritas yang sama bagi semua pejabat publik. Sebab, pada akhirnya, negara ini hanya bisa maju bila jabatan dipandang sebagai amanah untuk melayani rakyat, bukan sekadar kesempatan untuk merangkap keuntungan.