Kolom
Rengasdengklok: Peristiwa Penting Menuju Kemerdekaan Indonesia

Yoursay.id - Kalau kita buka buku sejarah, kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 kelihatan seperti puncak perayaan. Tapi di balik hari besar itu, ada satu kejadian sehari sebelumnya yang menentukan arah sejarah, yakni peristiwa Rengasdengklok. Tanpa kejadian ini, mungkin proklamasi kita tidak akan terjadi secepat itu, atau malah terlihat seperti hadiah dari Jepang.
Semua bermula di awal Agustus 1945. Dunia diguncang kabar bahwa Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus dan di Nagasaki pada 9 Agustus. Ledakan itu bukan cuma menghancurkan dua kota, tapi juga mental Jepang. Akhirnya, pada 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu (Razali, 2013).
Di Indonesia, berita ini langsung membuat para pemuda sadar, ada kekosongan kekuasaan yang bisa dimanfaatkan. Saat inilah waktu yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan, tanpa campur tangan Jepang.
Masalahnya, pandangan ini bertabrakan dengan sikap golongan tua. Soekarno dan Hatta, misalnya, lebih memilih menunggu sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) supaya kemerdekaan punya legitimasi politik yang kuat, walau badan itu sebenarnya bentukan Jepang.
Perbedaan pandangan ini mulai memanas pada 15 Agustus 1945, ketika golongan muda berkumpul di bawah pimpinan Chaerul Saleh. Hasil rapatnya: proklamasi harus dilakukan segera, tanpa lewat PPKI.
Keputusan itu disampaikan langsung ke Soekarno dan Hatta. Tapi jawaban mereka tegas: belum saatnya. Mereka ingin menghitung risiko politik, karena salah langkah bisa membawa konsekuensi besar (Jazimah & Nugroho, 2011). Para pemuda kecewa, lalu memutuskan langkah ekstrem.
Dini hari 16 Agustus 1945, sekitar pukul 03.00 WIB, mereka mendatangi rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No. 56. Bersama Fatmawati dan bayi Guntur, Soekarno dan Hatta dibawa dengan mobil menuju Rengasdengklok, Karawang. Perjalanan dilakukan dengan hati-hati, bahkan sopir mereka memakai seragam PETA agar bisa lolos dari pos-pos penjagaan Jepang. Setelah sekitar satu setengah jam perjalanan, mereka tiba di rumah Djiauw Kie Siong, seorang petani keturunan Tionghoa yang rumahnya terpencil di tepi Sungai Citarum.
Sepanjang hari itu, suasana di Rengasdengklok panas oleh perdebatan. Golongan muda menegaskan, momentum ini tidak boleh disia-siakan. Kalau menunggu PPKI, kemerdekaan bisa dianggap hadiah dari Jepang. Sementara itu, Soekarno dan Hatta tetap bersikeras bahwa proklamasi harus punya dasar hukum dan strategi politik yang matang. Ketegangan akhirnya mencair pada sore hari, ketika Ahmad Subardjo datang membawa jaminan bahwa proklamasi akan dilakukan besok pagi, 17 Agustus 1945, di Jakarta, tanpa melibatkan PPKI.
Malam itu juga, rombongan kembali ke Jakarta. Rumah Laksamana Maeda menjadi markas mendadak untuk persiapan proklamasi. Di sebuah ruangan sederhana, Soekarno, Hatta, dan Subardjo duduk bersama menyusun naskah proklamasi. Kalimat pembuka diusulkan oleh Subardjo, Hatta menambahkan frasa penting, dan Sayuti Melik mengetik naskah final.
Sementara itu, Fatmawati menjahit bendera merah putih yang akan dikibarkan esok hari. Semua yang terlibat malam itu paham, mereka sedang mencatat sejarah besar.
Keesokan paginya, 17 Agustus 1945, halaman rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No. 56 penuh dengan warga. Matahari bersinar cerah, dan suasana tegang bercampur haru. Tepat pukul 10.00 WIB, Soekarno membacakan teks proklamasi dengan suara lantang. Kalimat sederhana itu membelah udara Jakarta, menandai lahirnya Republik Indonesia yang merdeka karena perjuangan rakyatnya, bukan karena belas kasihan penjajah.
Peristiwa Rengasdengklok membuktikan bahwa kemerdekaan lahir dari kombinasi dua hal: semangat tak kenal takut dari golongan muda dan kehati-hatian strategis dari golongan tua. Awalnya berbeda pendapat, tetapi tujuan mereka sama, membebaskan Indonesia. Kalau hari itu para pemuda tidak berani “mengamankan” Soekarno dan Hatta, sejarah mungkin berjalan dengan cara yang berbeda. Dan setiap 17 Agustus, kita tidak hanya merayakan kemerdekaan, tapi juga mengingat keberanian satu malam di Karawang yang membuka jalan menuju pagi kemerdekaan.
Oleh karena itu, di momentum kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, perlu kita mengingat kembali sejarah dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Semangat dan cita-cita para pendiri bangsa harus kita warisi untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadilan.
Budi Prathama
Suka aja nulis lepas apalagi kalau sambil minum kopi, tapi bukan anak indie.
Total Artikel 1740