Kolom
Crab Mentality: Ketika Kesuksesan Teman Justru Jadi Beban

Yoursay.id - Apakah kamu pernah mendengar istilah mentalitas kepiting atau crab mentality? Jika kamu pernah melihat kepiting-kepiting dalam sebuah ember, kamu akan menyadari fenomena unik, ketika satu kepiting mencoba memanjat keluar dan meraih kebebasan, kepiting-kepiting lain akan menariknya kembali ke bawah. Tidak peduli seberapa keras ia berusaha, ia akan terus ditarik oleh yang lain.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan perilaku manusia di mana seseorang sengaja menghalangi atau menjatuhkan orang lain yang sedang berusaha meraih kesuksesan, hanya karena ia tidak ingin orang lain berhasil lebih darinya.
Sayangnya, mentalitas kepiting ini kini menjadi sebuah fenomena yang semakin sering terlihat di kalangan generasi muda.
Di era di mana persaingan begitu ketat dan media sosial menjadi panggung utama untuk pamer pencapaian, crab mentality menjadi sebuah virus berbahaya yang menggerogoti potensi dan kebersamaan.
Bukan hanya di dunia kerja, mentalitas ini juga sering muncul dalam lingkungan pertemanan, akademis, bahkan di dalam keluarga.
Lantas, mengapa mentalitas kepiting ini begitu mudah menjangkiti generasi muda? Salah satu akar masalahnya adalah tekanan untuk mencapai kesuksesan yang seragam.
Di zaman sekarang, standar kesuksesan seringkali terlihat sangat tunggal, punya pekerjaan bergengsi, gaji besar, punya aset, traveling ke luar negeri, atau memiliki hubungan yang sempurna.
Ketika seorang teman berhasil mencapai salah satu dari standar tersebut, alih-alih ikut bahagia, sebagian orang justru merasa terancam, muncul perasaan tidak cukup atau insecurity yang kuat. Perasaan inilah yang kemudian memicu kecenderungan untuk menarik teman tersebut ke bawah, baik secara terang-terangan maupun secara halus.
Contoh sederhananya bisa kita temui di lingkungan kampus atau sekolah. Ketika seorang teman mendapatkan nilai bagus, alih-alih memberikan selamat dan dukungan, ada yang justru melontarkan komentar sinis seperti, "Ah, pasti nyontek," atau, "Dia kan cuma beruntung aja."
Dalam dunia kerja, ketika seorang rekan kerja mendapatkan promosi, respons yang muncul terkadang bukan pujian, melainkan gosip negatif atau usaha untuk mencari-cari kesalahannya. Ini adalah bentuk-bentuk crab mentality yang terjadi secara halus, namun dampaknya bisa sangat merusak motivasi dan mental seseorang.
Selain itu, lingkungan kompetitif yang tidak sehat juga turut berperan. Sejak sekolah, kita sudah diajarkan untuk berkompetisi demi nilai terbaik, peringkat pertama, atau posisi yang paling diakui.
Sayangnya, kadang persaingan ini tidak dibingkai dalam semangat positif untuk saling memotivasi, melainkan dalam semangat untuk menang dengan cara apapun, termasuk dengan menjatuhkan orang lain. Budaya ini terus terbawa hingga dewasa, membuat banyak orang melihat kesuksesan orang lain sebagai kekalahan bagi diri sendiri.
Namun, yang paling mengerikan dari crab mentality ini adalah dampak psikologisnya yang luas. Bagi mereka yang menjadi korban, mentalitas kepiting bisa menimbulkan rasa sakit hati, keraguan diri, dan bahkan trauma.
Mereka merasa tidak bisa mempercayai lingkungan di sekitarnya dan enggan berbagi pencapaian atau kabar baik karena takut akan reaksi negatif. Akibatnya, mereka menjadi tertutup dan terisolasi.
Sementara itu, bagi mereka yang menjadi pelaku, mentalitas ini juga tidak memberikan kebahagiaan. Seseorang yang sibuk menjatuhkan orang lain akan terus diselimuti oleh perasaan iri, dengki, dan ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri. Ia tidak akan pernah bisa benar-benar merasakan kebahagiaan karena pikirannya terus dipenuhi oleh kesuksesan orang lain.
Lalu, bagaimana cara mengatasi mentalitas kepiting ini di kalangan generasi muda? Langkah pertama adalah menyadari dan mengakui adanya masalah ini.
Penting untuk membuka diskusi tentang dampak buruk dari mentalitas ini dan bagaimana ia bisa merusak persahabatan serta lingkungan kerja. Kita perlu membangun budaya di mana kesuksesan orang lain adalah sumber inspirasi, bukan ancaman.
Kedua, fokus pada pengembangan diri. Daripada sibuk membandingkan diri dengan orang lain, lebih baik kita mengarahkan energi untuk meningkatkan kemampuan, mengejar tujuan, dan merayakan pencapaian kecil yang kita raih. Ketika kita memiliki tujuan yang jelas dan sibuk dengan diri sendiri, kita tidak punya waktu untuk merasa iri atau menjatuhkan orang lain.
Ketiga, membangun lingkungan yang positif dan suportif. Pilihlah teman atau komunitas yang merayakan kesuksesan satu sama lain. Lingkungan yang sehat akan mendorong kita untuk maju, bukan menarik kita ke bawah. Di lingkungan seperti ini, kegagalan bukan dipandang sebagai aib, melainkan sebagai proses belajar, dan kesuksesan teman adalah milik bersama.
Mentalitas kepiting adalah penyakit sosial yang berbahaya. Ia tidak hanya merusak individu, tetapi juga menghambat kemajuan diri. Generasi muda memiliki potensi besar untuk mengubah dunia, namun hal itu hanya bisa terwujud jika mereka saling mendukung dan mendorong satu sama lain untuk mencapai potensi maksimalnya.
Kita harus belajar untuk tidak menjadi kepiting yang menarik, melainkan menjadi cheerleader yang memberikan semangat, karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati datang dari keberhasilan bersama, bukan dari kegagalan orang lain.