Kolom
Ketika Kesepian Menjadi Wajah Baru Krisis Sosial

Yoursay.id - Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang teman lama yang kini sukses membangun karier di ibu kota. Perbincangan kami mengalir, membahas pencapaian, kesibukan, hingga hal-hal remeh. Namun, di sela tawa dan cerita, ada jeda panjang yang sunyi. Ia menatap ke luar jendela kafe, memandangi keramaian jalan raya yang tak pernah tidur, lalu berujar lirih, "Gue merasa, makin banyak kenalan, makin sedikit teman."
Kalimat itu seperti petir di siang bolong, menusuk langsung ke inti persoalan yang selama ini mungkin kita semua rasakan, tapi terlalu malu untuk akui. Kesepian. Bukan kesepian ala Romeo yang meratapi cinta tak sampai, bukan juga kesepian klasik di pondok reot tengah hutan. Ini adalah kesepian modern. Itu adalah sebuah paradoks yang terjadi di tengah hingar-bingar kota, di antara riuhnya notifikasi, dan di balik layar-layar media sosial yang penuh senyuman palsu. Kesepian yang kini menjadi wajah baru krisis sosial kita.
Kota, Gawai, dan Paradoks Pergaulan
Hidup di kota besar adalah sebuah perlombaan. Pagi, kita berpacu dengan kemacetan; siang, kita berpacu dengan tenggat waktu; malam, kita berpacu dengan kelelahan. Dalam ritme secepat itu, interaksi sosial kita tereduksi menjadi serangkaian transaksi. Kita bertegur sapa dengan rekan kerja sebatas "sudah makan?", atau dengan tetangga hanya "izin lewat ya". Pertemanan yang dulu dibangun di pos ronda atau lapangan bulu tangkis kini beralih ke grup obrolan. Di sana, kita bisa tertawa bersama stiker konyol, tapi saat butuh bahu untuk bersandar, layar gawai menjadi terlalu dingin untuk dirangkul.
Ini yang disebut para sosiolog sebagai pergeseran menuju “komunitas pilihan”. Dulu, kita punya tetangga, saudara, dan teman sekolah yang menjadi jejaring sosial alami. Sekarang, kita harus "mencari" dan "memilih" teman berdasarkan hobi, minat, atau pekerjaan yang sama. Komunitas penggemar kopi, klub lari, atau grup sesama pejuang karier—semua itu dibangun atas kesamaan, bukan kedekatan emosional. Hubungan ini seringkali rapuh, seperti fondasi rumah yang hanya terbuat dari biskuit. Sekali kena hujan, lumer sudah.
Data dari Erica et al. (2024) menguatkan hal ini bahwa di tengah kota yang padat, individu justru sulit membangun hubungan yang bermakna sehingga mencari pelarian ke dunia maya. Ironis, bukan? Kita mencari koneksi di ruang yang justru seringkali memperdalam isolasi. Media sosial, yang konon mendekatkan yang jauh, justru membuat yang dekat menjadi asing. Kita lebih tahu kabar liburan teman yang tak pernah kita temui daripada kabar duka tetangga di sebelah rumah.
Generasi Kesepian, Status Lajang, dan Tekanan untuk "Cemerlang"
Kesepian ini tak mengenal usia, tapi terasa lebih tajam pada generasi muda. Mereka yang dibesarkan di era digital, dengan segala kemudahan informasi dan koneksi, justru menjadi kelompok yang paling vokal menyuarakan perasaan ini. Mereka memiliki puluhan, bahkan ratusan, “teman” di media sosial, namun merasa sendirian saat menghadapi masalah. Tekanan untuk selalu tampil "cemerlang"—kuliah di kampus top, bekerja di perusahaan bergengsi, dan memiliki kehidupan yang terlihat sempurna di Instagram—membuat mereka enggan menunjukkan kerapuhan. Memiliki masalah pribadi dianggap aib, apalagi jika menyangkut kesepian. "Kok bisa sepi? Kan kamu punya banyak teman?" Begitu biasanya respons yang didapat.
Bonsaksen et al. (2023) mencatat bahwa usia muda, status lajang, pengangguran, dan tingkat pendidikan rendah berhubungan dengan tingkat kesepian yang lebih tinggi. Ini bukan kebetulan. Ini adalah manifestasi dari sebuah sistem yang menuntut individu untuk mandiri secara ekstrem. Jika kamu lajang, seolah-olah kamu harus kuat sendirian. Jika kamu pengangguran, kamu dianggap gagal dan tidak punya "nilai jual" sosial. Kesepian akhirnya menjadi semacam hukuman bagi mereka yang dianggap tidak memenuhi standar masyarakat.
Sistem yang Salah, Bukan Individu yang Lemah
Penting untuk dipahami. Kesepian bukan hanya kelemahan personal, seperti kurang berani menyapa atau tak pandai bergaul. Kesepian adalah gejala dari sistem sosial yang kurang sehat. Urbanisasi dan gaya hidup cepat, sebagaimana diulas Fardghassemi & Joffe (2021), dapat meningkatkan perasaan terisolasi, meskipun kita dikelilingi banyak orang. Kita hidup di tengah lautan manusia, tapi merasa seperti di pulau terpencil.
Infrastruktur kota kita, misalnya, lebih banyak dibangun untuk mobil daripada untuk manusia. Jalan lebar, gedung tinggi, dan mal raksasa menggerus ruang-ruang publik yang menjadi tempat interaksi sosial informal. Di mana lagi kita bisa bertemu tetangga dan mengobrol tanpa tujuan? Dulu ada warung kopi di pinggir jalan, pos kamling, atau lapangan kecil. Kini, semuanya tergantikan oleh kafe mahal dan pusat kebugaran berbayar, tempat di mana interaksi dibatasi oleh kepentingan komersial. Kita harus membayar untuk bisa berinteraksi. Sungguh ironi yang memilukan.
Kita juga terlalu sering terjebak dalam mitos "individualisme yang kuat". Kita didorong untuk menjadi manusia super yang bisa melakukan segalanya sendiri. Kita harus mandiri secara finansial, emosional, bahkan spiritual. Saat kita merasa butuh bantuan, kita ragu meminta, takut dianggap lemah. Padahal, fitrah manusia adalah makhluk sosial. Kita butuh orang lain, dan itu bukan kelemahan, melainkan kebutuhan dasar.
Mencari Jawaban yang Terlupa: Membangun Ulang Komunitas
Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya bukan cuma menambah teman di media sosial, tapi membangun kembali fondasi sosial yang kokoh. Ini adalah panggilan kolektif, bukan tanggung jawab pribadi semata.
Pemerintah dan pemangku kebijakan harus melihat kesepian sebagai masalah serius, bukan remeh-temeh. Ruang-ruang publik yang ramah interaksi harus diperbanyak dan dirancang ulang. Taman kota, perpustakaan, atau pusat komunitas harus menjadi tempat yang hidup, di mana orang bisa berkumpul tanpa harus mengeluarkan uang. Kebijakan sosial harus mendukung pembentukan komunitas yang inklusif, bukan fokus pada pertumbuhan ekonomi semata.
Setiap individu perlu berani untuk rehat dari layar gawai dan kembali ke dunia nyata. Menyapa tetangga, bergabung dengan komunitas lokal yang bermakna, atau bahkan cuma duduk di bangku taman sambil mengamati sekeliling. Beranikan diri untuk menunjukkan kerapuhan kita kepada orang yang dipercaya. Karena, seringkali, dengan mengakui bahwa kita sepi, kita akan menemukan bahwa orang lain juga merasakan hal yang sama. Kesepian adalah beban, tapi beban yang ditanggung bersama akan terasa lebih ringan.
Saatnya Pulang ke Rumah Manusia
Kesepian adalah alarm. Ia bukan desisan bisu di relung hati semata, melainkan teriakan kencang dari sistem sosial yang mulai retak. Di balik setiap wajah yang menunduk melihat layar, ada kisah tentang kerinduan akan koneksi yang otentik. Kita telah membangun kota-kota yang megah, menciptakan teknologi yang canggih, dan mengumpulkan kekayaan yang melimpah, tapi kita lupa membangun hal yang paling esensial, yaitu rumah bagi jiwa manusia yang bisa saling terhubung.
Sudah saatnya kita berhenti memperlakukan kesepian sebagai masalah personal yang bisa disembunyikan. Sudah saatnya kita melihatnya sebagai panggilan kolektif untuk membangun ekosistem sosial baru yang memulihkan fitrah manusia sebagai makhluk yang saling terhubung. Kita tidak harus menjadi pahlawan super sendirian. Kadang-kadang, pahlawan terbaik adalah mereka yang berani mengakui bahwa mereka butuh teman, dan berani untuk menjadi teman bagi orang lain. Karena pada akhirnya, kita semua hanya ingin pulang ke rumah yang hangat, di mana kita merasa terhubung, bukan sendirian.