Kolom
Setelah Jadi Ibu, Mimpi Harus Diarsipkan: Saat Perempuan Tetap Butuh Mimpi

Yoursay.id - “Kalau sudah menikah dan punya anak, mimpimu harus dikompromikan.”
Kalimat itu mungkin terdengar biasa, tapi diam-diam menyakitkan. Bagi sebagian besar perempuan, ini bukan sekadar anjuran, tapi jadi standar sosial yang pelan-pelan meredam semangat.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 mencatat bahwa lebih dari 58% perempuan di Indonesia memilih berhenti bekerja setelah menikah atau punya anak. Bukan karena tidak mampu, tapi karena sistem dan ekspektasi sosial membuat mereka sulit bertahan. Perempuan dianggap “sudah cukup” ketika berhasil menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh pengabdian. Lalu, bagaimana nasib mimpi-mimpi yang dulu pernah tumbuh sebelum menikah?
Banyak dari kita tumbuh dengan harapan besar—ingin lanjut S2, punya usaha kecil, jadi profesional di bidang yang disukai, atau sekadar punya waktu untuk mengejar passion yang lama tertunda. Tapi kenyataan kadang tidak seideal rencana. Setelah menikah, ritme hidup berubah total. Setelah punya anak, waktu dan energi terkuras habis.
Saya pernah mendengar cerita dari seorang teman. Ia adalah lulusan cumlaude, bekerja di perusahaan multinasional. Tapi setelah menikah dan tahu akan dimutasi keluar kota, ia memutuskan resign karena tak ingin jauh dari keluarga.
“Kata orang aku sayang karir, tapi sebenarnya aku lebih takut kehilangan keseharian anak-anakku,” katanya. Dan saya mengerti.
Begitu juga cerita Dian Sastrowardoyo, yang dalam sebuah podcast mengaku sempat menunda studi lanjutnya demi fokus pada anak-anak. Padahal ia punya akses, privilege, dan support system. Tapi panggilan hati sebagai ibu tetap yang paling kuat.
Jujur, tidak ada yang salah dari keputusan-keputusan itu. Justru sangat mulia. Ketika seorang perempuan memilih berhenti sejenak demi rumah tangga, dampaknya bisa sangat besar. Suami lebih fokus bekerja, karirnya meningkat karena rumahnya kondusif. Anak-anak tumbuh dengan penuh kasih, merasa aman dan disayang sepenuhnya. Itu semua luar biasa.
Tapi yang sering luput adalah, bagaimana perasaan si ibu saat anak-anak sudah tumbuh dan mulai sibuk dengan dunianya sendiri?
Saat mereka sudah banyak main, ikut les, dan tidak lagi tergantung sepenuhnya pada ibunya, ruang kosong itu muncul. Dan banyak perempuan merasa: aku siapa sekarang? aku punya apa?
Inilah kenapa menurut saya, perempuan tetap harus punya mimpi. Sekecil apapun itu.
Ada alasan mengapa tetap punya mimpi menjaga kita tetap jadi diri sendiri. Mimpi membuat kita tidak hilang dalam peran. Kita tetap bisa merasa bangga pernah mencapai sesuatu, punya arah, punya tujuan.
Tidak harus langsung besar. Tidak harus sempurna. Yang penting ada progres, meski pelan.
Kalau belum bisa kerja lagi, mungkin bisa ikut kelas daring 1 jam seminggu.
Kalau belum bisa buka usaha, mungkin bisa mulai riset pasar dari rumah.
Kalau belum bisa lanjut sekolah, mungkin bisa mulai baca jurnal atau cari beasiswa.
Yang penting: jangan matikan api itu sepenuhnya.
Saya percaya, perempuan bisa jadi ibu yang hebat dan individu yang punya mimpi. Keduanya bisa berjalan bersama, asal dilakukan dengan sadar dan proporsional.
Maka untuk kamu yang hari-harinya sibuk ngurus rumah, kerja lembur tanpa gaji di dapur, atau sering merasa “kehilangan diri sendiri”—yakinlah, kamu masih bisa punya sesuatu yang milikmu sendiri. Mimpi itu tidak egois. Justru itu penyelamat.
Karena saat kita menjaga mimpi tetap hidup, kita menjaga diri kita tetap utuh. Dan saat anak-anak suatu hari bertanya, “Mama dulu cita-citanya apa?”, kita bisa menjawab dengan bangga: Mama masih menjalaninya sampai sekarang.