Kolom
Chikungunya Mengintai: WHO Desak Tindakan Darurat Global

Yoursay.id - Barangkali dulu kita menganggap nyamuk cuma sekadar makhluk kecil pengganggu tidur atau soundtrack abadi kamar kos yang pengap. Tapi tahun 2025 berkata lain.
WHO baru saja memukul genderang perang global melawan virus chikungunya yang kian ganas, menyelinap dari celah-celah iklim tropis, menumpang pesawat jet, dan mampir ke halaman belakang negara-negara berkembang—bahkan negara maju.
Ya, nyamuk tak perlu visa, tak kenal paspor, dan tak terhalang tembok politik. Satu-satunya imigran ilegal yang dibiarkan hidup bebas justru tengah membawa ancaman yang bikin badan meriang dan sendi remuk: chikungunya.
Lonjakan kasus sejak awal 2025 di Samudra Hindia—Reunion dan Mayotte jadi titik panasnya—hanya prolog dari drama panjang yang kini mengancam 5,6 miliar jiwa di 119 negara.
Virus ini menyebar cepat, sulit dikenali, dan lebih susah move on daripada mantan toxic. Maka tak heran WHO akhirnya mendesak tindakan darurat global, mengingat sejarah 2004–2005 yang membuktikan: ketika chikungunya datang, ia gak cuma mampir.
Nyeri Sendi dari Nyamuk: Epidemi yang Menyamar
Chikungunya adalah penyamar ulung. Ia datang dengan demam, ruam, dan nyeri sendi yang bisa bikin kita meragukan seluruh evolusi homo sapiens.
Gejalanya sering tertukar dengan dengue dan Zika—dua saudaranya dalam drama nyamuk tropis. Tapi jangan salah, chikungunya punya kemampuan istimewa: rasa sakit sendinya bisa bertahan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Mirip utang KPR.
Menurut Farmer et al. (2025), salah satu tantangan utama adalah sifat epidemi chikungunya yang tiba-tiba dan sulit diprediksi. Ini bukan flu musiman yang bisa dilacak pola tahunnya. Ia muncul seperti mantan yang tiba-tiba ngechat: "Hai, lagi apa?" Di saat kita lengah, ia menular cepat lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Ironisnya, penyebar utama virus ini justru nyamuk yang selama ini kita biarkan berkembang biak di genangan air, kaleng bekas, dan pot bunga. Kita tak cuma membiarkan musuh tidur di rumah, kita bahkan memberinya tempat spa.
Ketika Iklim Ikut Menyiram Bahaya
Perubahan iklim, yang selama ini jadi bahan ceramah para aktivis lingkungan, kini benar-benar mengetuk jendela rumah kita. Bukan hanya lewat suhu ekstrem atau banjir, tapi lewat perluasan wilayah nyamuk vektor chikungunya.
Dulu kita bisa bilang, "Tenang, itu penyakit tropis." Tapi sekarang? Nyamuk harimau Asia sudah menari-nari di taman-taman Eropa.
Menurut de Souza et al. (2024), penyebaran Aedes albopictus yang dulunya terbatas di Asia kini telah meluas ke Eropa dan Amerika karena suhu yang menghangat. Artinya, chikungunya bukan lagi masalah negara berkembang. Ini masalah bersama, global, lintas batas, dan lintas AC.
Lebih tragis lagi, mutasi virus chikungunya kini membuatnya lebih mudah beradaptasi pada nyamuk vektor (Ning et al., 2024). Ini bukan cuma nyamuk yang makin pintar, tapi juga virus yang makin licin.
Kalau dulu kita punya satu atau dua strategi pengendalian, kini mereka harus direvisi. Dan seperti biasa, negara-negara miskin yang paling dulu kena, dan paling akhir disembuhkan.
Mobilitas Global: Tiket Gratis untuk Chikungunya
Kita hidup di zaman mobilitas tinggi. Dari backpacker ke pebisnis, dari mudik ke piknik, manusia tak pernah diam. Sayangnya, nyamuk dan virus pun ikut dalam koper kita.
Virus chikungunya tak hanya mengandalkan nyamuk, tapi juga tangan manusia sebagai kurir internasional. Tiket pesawat murah membuka peluang tak hanya untuk pariwisata, tapi juga penyebaran penyakit.
Dengan jaringan penerbangan yang begitu luas dan padat, perjalanan antarbenua bisa dilakukan dalam hitungan jam. Virus yang sebelumnya butuh waktu berminggu-minggu untuk lintas benua, kini hanya butuh satu penerbangan langsung.
Kasus chikungunya di Italia, Perancis, bahkan Florida membuktikan hal itu. Ini bukan cerita tropis eksotis yang hanya terjadi di Madagaskar atau Somalia. Ini cerita dunia, cerita tentang sistem kesehatan yang tak siap dengan ancaman baru, dan cerita tentang bagaimana virus bisa mengalahkan birokrasi dengan mudah.
Solusi Setengah Hati, Tanggung Jawab Penuh
WHO sudah memperingatkan. Tapi seperti biasa, peringatan dari organisasi internasional sering berakhir sebagai berita selingan di tengah heboh politik lokal dan selebritas cerai. Padahal, deteksi dini dan peningkatan kapasitas sistem kesehatan bukan tugas esok hari. Ini kerja hari ini, sekarang, dan kalau bisa—kemarin.
Tapi kita tahu, realitasnya tak semudah itu. Di banyak negara, dana kesehatan masih kalah saing dengan dana pembangunan jalan tol. Vaksin chikungunya belum tersedia luas, pengobatan hanya suportif, dan upaya pencegahan tergantung kesadaran warga yang kadang lebih takut ketinggalan flash sale ketimbang gigitan nyamuk.
Namun, di sinilah titik cerah bisa lahir. Edukasi masyarakat tentang kebersihan, pengelolaan air, dan pentingnya penggunaan obat anti-nyamuk bisa jadi senjata awal. Mungkin terdengar sepele, tapi perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil.
Dan jika pemerintah mampu mengemas kampanye ini dengan menarik—katakanlah lewat sinetron atau konten viral—maka harapan tetap ada.
Saatnya Bangun dari Tidur Nyenyak Tanpa Kelambu
Chikungunya bukan sekadar penyakit. Ia cermin dari dunia yang saling terhubung, dari iklim yang berubah, dan dari sistem kesehatan yang kerap tertidur pulas. WHO sudah menyalakan alarm, tapi suara alarm tak berarti jika kita tetap memilih tidur.
Dan nyamuk—si kecil bersayap hitam—akan terus mengintai, menunggu saat yang tepat untuk menyuntikkan lebih dari sekadar gatal.
Mungkin sudah waktunya kita tak hanya bicara tentang pembangunan infrastruktur, tapi juga membangun benteng kesehatan masyarakat. Sebab apa gunanya jalan tol jika menuju rumah sakit yang penuh? Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika terhenti oleh demam sendi dan migrain tak berkesudahan?
Chikungunya mungkin kecil. Tapi ia mengajarkan satu hal besar: dunia bisa roboh bukan karena perang nuklir, tapi karena seekor nyamuk.