Kolom
Sekolah Penggerak: Revolusi Senyap di Kelas atau Sekadar Ganti Kemasan?

Yoursay.id - Jujur saja, setiap kali ada program baru dari kementerian pendidikan, sebagian dari kita mungkin sedikit skeptis. Rasanya seperti menonton sinetron dengan judul baru tapi alur ceritanya mirip.
Program Sekolah Penggerak (PSP), yang digulirkan beberapa tahun lalu sebagai salah satu episode utama Merdeka Belajar, datang dengan janji besar: menjadi katalisator, akselerator, dan agen perubahan untuk pendidikan Indonesia.
Kini, di pertengahan tahun 2025, setelah euforia awal mereda, inilah saat yang tepat untuk melihatnya tanpa kacamata promosi: Apa saja capaian nyata yang bisa kita banggakan, dan apa kritik pedas yang tak bisa lagi kita abaikan?
Program ini dirancang bukan sebagai perubahan serentak, melainkan sebagai penciptaan inovasi yang harapannya bisa menularkan semangatnya ke sekolah-sekolah di sekitarnya.
Sebuah ide yang logis dan terdengar indah. Namun, realita di lapangan seringkali jauh lebih kompleks daripada rencana di atas kertas. Mari kita bedah dua sisi mata uang dari program ambisius ini.
Capaian Tak Kasat Mata: Mengubah Arah Kompas Pendidikan
Jika kita hanya mencari capaian dalam bentuk angka dan grafik, mungkin kita akan sedikit kecewa. Capaian terbesar dari Program Sekolah Penggerak justru bersifat tak kasat mata, yaitu keberhasilannya mengubah arah kompas percakapan pendidikan nasional.
Sebelum era Merdeka Belajar, diskusi di ruang guru dan rapat dinas didominasi oleh target kurikulum yang kaku, persiapan Ujian Nasional, dan beban administrasi yang seolah tak ada habisnya. Sekolah seakan berlomba dalam kepatuhan, bukan inovasi.
Di sinilah PSP berhasil mendobrak. Istilah-istilah seperti pembelajaran berdiferensiasi, asesmen formatif, projek penguatan profil pelajar Pancasila, dan kesejahteraan murid kini menjadi kosakata umum.
Bahkan di sekolah yang belum menjadi bagian dari PSP sekalipun, para guru mulai membicarakan hal ini. Program ini, secara perlahan namun pasti, telah menanamkan gagasan bahwa tujuan utama pendidikan bukanlah sekadar mentransfer materi, melainkan menumbuhkan potensi unik setiap anak.
Terjadi pergeseran fundamental dari teacher-centered ke student-centered. Mengubah cara pandang dan bahasa sebuah ekosistem adalah sebuah revolusi senyap, dan ini adalah capaian yang harus kita akui punya dampak jangka panjang.
Kritik dari Akar Rumput: Ketika Digitalisasi Menjadi Distraksi
Di sisi lain, kritik terhadap PSP juga tak kalah nyaring, terutama dari para praktisi di akar rumput. Ironisnya, salah satu alat utama yang dirancang untuk membebaskan guru, yaitu Platform Merdeka Mengajar (PMM), justru sering kali menjadi sumber tekanan baru.
Inilah gagasan yang perlu kita soroti: telah terjadi pergeseran dari esensi kemerdekaan mengajar menjadi obsesi pada administrasi digital.
Guru didorong untuk terus mengunggah bukti karya, mengikuti puluhan webinar demi sertifikat, dan melaporkan setiap aktivitas di platform e-kinerja yang terintegrasi.
Niat awalnya mulia, yaitu untuk berbagi praktik baik dan memonitor perkembangan. Namun, implementasinya terasa seperti tirani platform. Fokus guru jadi terbelah. Alih-alih menghabiskan waktu merancang pembelajaran kreatif di kelas, waktu mereka tersita untuk memastikan semua centang hijau di PMM terpenuhi.
Kemerdekaan yang dijanjikan terasa semu saat dibebani oleh tuntutan pembuktian digital yang tiada henti. Ini menciptakan sebuah paradoks, semangat Merdeka Belajar yang membebaskan, dibungkus dalam sistem digital yang terasa mengawasi. Inilah kritik paling substantif, di mana alat yang seharusnya melayani visi, justru berpotensi mendistorsi visi itu sendiri.
Dilema Keberlanjutan: Inovasi Musiman atau DNA Baru Sekolah?
Pertanyaan terbesar yang menggantung di tahun 2025 ini adalah soal keberlanjutan. Apakah semangat Sekolah Penggerak ini akan menjadi DNA baru dalam sistem pendidikan kita, atau hanya akan dikenang sebagai inovasi musiman yang terikat pada masa jabatan menteri tertentu?
PSP telah berhasil menyuntikkan suplemen inovasi ke dalam tubuh sekolah-sekolah yang terpilih. Mereka diberi pelatihan, pendampingan, dan sumber daya ekstra. Namun, apakah perubahan ini sudah terinternalisasi dan menjadi budaya?
Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana prinsip-prinsip PSP fleksibilitas kurikulum, otonomi guru, dan pembelajaran berbasis projek bisa hidup dan berkembang secara organik di semua sekolah, bahkan setelah label Sekolah Penggerak dan pendanaan khususnya berakhir.
Jika semangat ini hanya hidup di sekolah yang digerakkan oleh program, maka kita belum berhasil. Keberhasilan sejati baru akan tercapai ketika sekolah-sekolah mulai bergerak sendiri karena mereka percaya pada filosofinya, bukan karena tuntutan proyek.
Ini adalah pekerjaan rumah terbesar bagi pemerintah, mengubah program yang eksklusif menjadi sebuah gerakan yang inklusif dan berkelanjutan, memastikan api inovasi ini tidak padam saat musim berganti.
Rial Roja Saputra
Hai! Saya seorang penulis yang jatuh cinta dengan kata-kata dan cerita.
Total Artikel 114