kolom

Jempol Lincah, Otak Rebahan: Fenomena Nyinyir Zaman Now

Jempol Lincah, Otak Rebahan: Fenomena Nyinyir Zaman Now
Shut Up (Pexels: Andrea Piacquadio)

Suara.com - Selamat datang di zaman di mana kita bisa mengetahui segalanya tanpa pernah sekalipun benar-benar memahami apa pun. Di zaman yang serba instan ini, ketika sebuah layar ponsel menjadi jendela dunia, tapi seringkali tak lebih dari sebuah cerminan ego. Informasi, opini, isu sosial, skandal selebriti, bahkan hingga ke teori-teori konspirasi, semuanya datang silih berganti, dengan cepat dan juga deras. Namun pertanyaanya ialah apakah kita dapat benar-benar berpikir?

Kita sering sekali scroll, klik, like, terkadang komen, lalu berpindah begitu saja. Kita hanya senang menyerap potongan-potongan kecil sebuah informasi seperti sebuah cemilan digital yang menggugah emosi tapi miskin akan gizi keintelektualan. Kita seringkali sibuk untuk menilai, bukan untuk memahami, sibuk untuk beraksi, bukan untuk merefleksi.

Carl Gustav Jung pernah menuliskan sebuah kutipan yang amat tajam, yakni: “Thinking is difficult, that’s why most people judge.” Kalau di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kira-kira seperti ini: “Berpikir itu sulit, karena itu banyak orang suka menilai.” Dan lihatlah saat ini, memang seringkali terjadi ketika seseorang sudah malas untuk repot-repot membaca Panjang, mencerna secara perlahan, atau mempertimbangkan sudut pandang lain, kalau bisa langsung kenapa mempersulit diri, kaya berkata “Dia salah!”, “Dia bodoh!”, atau “Unfollow aja!”

Menilai Itu Enak, Berpikir Itu Berat

Advertisement

Kita kini hidup di zaman nyinyir. Di mana semakin lantang seseorang memaki, maka semakin dianggap peduli. Di mana menyodorkan opini panas lebih dipuji dan disanjung ketimbang menyodorkan sebuah pemahaman. Karena jujur saja, menilai itu memberikan sebuah rasa superioritas yang instan, cepat dan juga memuaskan.

Menilai seseorang sebagai “salah kaprah” membuat kita merasa “lebih benar.” Menyebut sesuatu dengan “toxic” membuat kita tampak bijak, padahal bisa saja itu hanya pelampiasan frustasi pribadi yang masih belum sempat untuk di proses. Di dunia maya, penilaian begitu cepat merupakan sebuah mata uang yang value nya terus menanjak naik, semantara sebuah refleksi dan kontemplasi menjadi sebuah barang antic yang letaknya berada di pojok museum digital, diabaikan bahkan dianggap tidak lagi relevan.

Mari kita perhatikan, kita lebih asik menyebarkan berbagai cuplikan video kontroversial ketimbang menonton videonya secara utuh dan menyeluruh. Kita lebih nyaman untuk menikmati berbagai meme politik ketimbang membaca kebijakan-kebijakan publik secara menyeluruh dan kira lebih cepat tersulut amarah ketimbang dengan santai memahami segalanya. Mengapa hal ini terjadi? Ya karena berpikir itu membutuhkan waktu, energi, dan tentunya kerendahan hati. Sedangkan nyinyir itu lebih mudah karena yang dibutuhkan itu jempol yang lincah menari di keyboard dan tentunya akses internet yang cepat.

Cancel Culture: Siapa Cepat, Dia Benar

Advertisement

Salah satu manifestasi paling nyata dari sebuah kemalasan untuk berpikir itu ialah hadirnya Cancel Culture. Satu kesalahan, satu tweet masa lalu, satu kata yang tidak sengaja keluar dari konteks, cukup untuk membunuh sebuah reputasi seseorang. Tak peduli, niat, proses, atau perubahan yang sudah ia tempuh.

Cancel Culture itu bukanlah sebuah keadilan. Ia merupakan versi terbaru dari digital sebuah pembakaran massa. Bukan juga karena kita memperjuangkan sebuah nilai, namun karena kita menikmati sebuah kekuasaan ilusi: kekuasaan untuk “mengadili” tanpa menjadi “adil”. Dibalut dengan semangat “peduli isu,” kadang juga bersembunyi dari sebuah semangat untuk membalas dendam dan kebanggan moral yang semu.

Kita sering lupa bahwa manusia ini bukan hanya menjadi sebuah produk dari suatu momen saja, namun terlahir dari sebuah perjalanan yang Panjang. Tapi kembali lagi, siapa yang peduli? Lebih seru dan mengasyikkan jika kita menjadi jaksa, hakim, juri, sekaligus algojo dalam kolom komentar saja.

Algoritma: Sang Dewa Baru

Mari kita sama-sama jujur, ada sebuah entitas yang tak kasat mata dan mempunyai sebuah andil besar dalam semua ini: Namanya ialah ALGORITMA.

Ia tidak akan peduli apakah kit aini Cerda atau tidak. Ia Cuma peduli satu hal saja, yakni: Keterlibatan, semakin kita klik, semakin sering kita lihat. Ya karena manusia ini cenderung lebih tertarik pada emosi daripada pemahaman, maka yang akan disajikan ke kita tentu saja sebuah konten yang mematik amarah, kematian, atau histeria kolektif.

Kita dipelihara dalam ruang gema yang memperkuat keyakinan kita sendiri. Kita jarang melihat perbedaan sebagai bahan diskusi, karena algoritma memastikan kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat. Akibatnya, kita tumbuh sebagai makhluk yang tahu banyak, tapi memahami sedikit. Kita ini seperti anak kecil yang punya akses ke perpustakaan raksasa, tapi hanya membaca sampulnya.

Berpikir Itu Berat, Tapi Perlu

Seorang psikolog asal Amerika Serikat yakni Daniel Kahneman dalam bukunya yang berjudul Thinking, Fast and Slow membagi cara kerja otak manusia itu ke dalam dua sistem, yakni:

·       Sistem 1: cepat, intuitif, impulsif. Ini yang aktif saat kita menilai seseorang dari headline, tanpa baca isi beritanya.

·       Sistem 2: lambat, reflektif, rasional. Ini yang seharusnya kita pakai saat membaca, berdiskusi, atau mengambil keputusan penting.

Disinilah sebuah letak masalahnya, sistem 1 ini lebih mendominan. Ya karena ia lebih hemat energi, dan energi kognitif kita sering kali sudah habis terlebih dahulu untuk hal-hal yang remeh. Serta akibatnya, kita jadi malas untuk berpikir. Kita lebih suka untuk menilai dengan cepat, karena rasanya lebih ringan dan mudah. Tapi lama-kelamaan, ringan inilah yang bisa membuat kita kosong.

Kalau Terus Malas Mikir, Kita Akan Jadi.

…boneka. Ya boneka dari Algoritma, boneka dari sebuah opini publik, boneka dari sebuah viralitas semu yang membuat kita lebih reaktif ketimbang reflektif. Kita jadi lebih gampang percaya akan hoaks yang bertebaran, gampang terbawa oleh arus, dan gampang marah tanpa tahu kenapa sebabnya. Kita akan mudah terombang-ambing oleh berbagai narasi besar tanpa pernah tahu duduk persoalannya. Bahkan lebih parahnya lagi, kita akan kehilangan satu hal yang paling berharga menjadi manusia, yakni: Kebebasan Berpikir.

Kebebasan berpikir itu bukan Cuma soal bisa punya pendapat sendiri. Ia merupakan sebuah fondasi dari kemanusiaan kita. Tanpa adanya kebebasan untuk berpikir, kita hanya menjadi sebuah gema dari suara orang lain, tidak lebih dari loudspeaker yang dipakai oleh siapa saja untuk menyuarakan sebuah kepentingan. Kita akan jadi manusia yang hanya “ikut rame”, bukan “ikut mikir”. Kita akan hanya ramai di permukaan, namun begitu sepi dari dalam.

Inilah bahayanya, karena ketika berpikir digantikan oleh mengikuti, maka kebeban kita perlahan akan hilang, tanpa suara, dan tanpa alarm. Kita masih merasa Merdeka, padahal yang kita pikirkan, rasakan, bahkan benci atau cintai, bukan lagi milik kita. Kita hanya menyali emosi dari linimasa saja, meniru segala amarah yang ada di kolom komentar, dan menanamkan sebuah kebencian yang sebenarnya kita tak mengetahui akarnya. Itulah sebuah jebakan halus di zaman digital: kita percaya sedang memilih, padahal sedang diarahkan. Kita merasa sedang berpikir, padahal sedang dikendalikan.

Jangan Sampai Otak Kita Belumut

Maka sebelum kita terbiasa hidup dengan kepala penuh tapi pikiran kosong, mari hentikan sejenak. Tahan jempol, tarik napas. Tanyakan dulu: ini informasi dari mana? Ini opini berdasarkan apa? Ini emosi milik siapa?

Berpikir memang tidak seasyik scroll TikTok. Tidak seseru adu komen di X (dulunya Twitter). Tapi jika kita ingin menjadi manusia yang tetap merdeka di tengah kebisingan digital, kita harus melawan rasa malas berpikir itu. Karena kalau tidak, kita akan jadi makhluk yang sekadar hidup dari klik, scroll, dan nyinyir. Bukan manusia yang menghidupi pikirannya. Jadi, kalau hari ini kamu merasa dunia ini kacau, jangan buru-buru menyalahkan orang lain. Coba tengok ke dalam: kapan terakhir kali kamu benar-benar berpikir? Dan ingatlah, jika otak jarang dipakai buat mikir, siapa tahu bukan cuma berlumut. Bisa jadi... sudah expired.

Suhendrik Nur

Suhendrik Nur

Hanya Manusia Biasa yang Mengharapkan Ridho Tuhan

Total Artikel 47

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda