kolom
Bukan Perspektif Antikucing: Sederhana, tapi Bikin Cat Lovers Darah Tinggi

Yoursay.id - Mari kita bicara jujur. Siapa di antara kita yang tak luluh melihat tatapan mata kucing yang kelaparan? Rasanya tangan ini gatal ingin segera memberinya makan. Apalagi jika kita adalah cat lovers. Niatnya baik, sungguh. Kita ingin berbagi rezeki, meringankan penderitaan mereka.
Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan, apakah niat baik ini selalu berujung baik? Sering kali, justru kebiasaan memberi makan kucing sembarangan inilah yang menjadi akar masalah, menciptakan penderitaan baru, dan ironisnya, merugikan banyak pihak, terutama mereka yang tanpa sengaja menjadi "korban" dari kebaikan kita.
Ini bukan soal melarang kepedulian, tetapi soal kepedulian yang bertanggung jawab. Kucing, meskipun menggemaskan, adalah makhluk yang sangat adaptif dan oportunistik.
Begitu mereka menemukan sumber makanan yang stabil dan mudah diakses, mereka akan segera menetapkan tempat itu sebagai kantor pusat mereka. Ini bukan lagi sekadar singgah; mereka akan menetap, membentuk koloni, dan yang paling paring parah, beranak pinak tanpa henti.
Dari satu ekor, bisa jadi puluhan, lalu ratusan dalam waktu singkat. Anda yang awalnya hanya ingin memberi makan "satu atau dua ekor," tanpa sadar telah menciptakan sebuah bom waktu populasi.
Dampaknya? Oh, jangan ditanya. Bagi pemilik properti yang wilayahnya jadi pusat katering kucing, ini adalah mimpi buruk. Bayangkan, tumpukan kotoran dan urine kucing yang berserakan di mana-mana, menciptakan bau tak sedap yang menyengat dan menjadi sarang penyakit.
Lingkungan yang tadinya bersih mendadak jadi kumuh, penuh dengan sisa-sisa makanan busuk yang mengundang lalat dan tikus. Ini bukan cuma masalah estetika; ini adalah masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kulit seperti kurap, kudis, hingga infeksi bakteri bisa saja menular ke manusia atau hewan peliharaan lain.
Belum lagi kerusakan properti yang tak terhindarkan. Kucing-kucing itu akan menggaruk mobil, merusak tanaman hias, mengotori teras, atau bahkan masuk ke dalam rumah jika ada kesempatan. Mereka akan mencari tempat berlindung, kawin, dan bertengkar, menciptakan kebisingan yang mengganggu ketenangan, terutama di malam hari.
Tidur terganggu oleh suara kucing yang kawin atau bayi kucing yang mengeong lapar di tengah malam? Itu adalah realitas yang harus dihadapi oleh mereka yang propertinya jadi zona makan kucing.
Yang paling menyedihkan, kita sebenarnya tidak membantu mereka sepenuhnya. Kita menciptakan ketergantungan. Kucing-kucing itu kehilangan insting berburu alami mereka, menjadi lemah, dan rentan terhadap penyakit karena nutrisi yang tidak seimbang dari sisa-sisa makanan manusia.
Mereka tidak akan pernah benar-benar mandiri, terus menunggu belas kasihan. Ketika Anda tidak datang, mereka kelaparan, dan siklus ini terus berulang. Apakah ini yang kita sebut sebagai menyayangi?
Bukankah ketika populasi kucing mulai menggila, si empunya tanah akan membuang mereka ke tempat lain yang lebih jauh supaya tidak lagi mengganggu. Bahkan di puncak kekesalannya, mereka bisa saja membunuh kucing-kucing itu. Bukankah efeknya sangat fatal?
Jujur, saya bukan termasuk pencinta kucing, sedikit kesal dengan kucing, tapi tidak menolak keberadaan mereka. Layaknya hewan lain, mereka saya tempatkan sebagai hewan liar yang memang seharusnya hidup dengan usahanya sendiri.
Barangkali di kampus tempat yang selalu saya kunjungi, menjadi satu tempat yang saya kesali juga karena puluhan kucing beranak-pinak di sana. Plusnya, ada puluhan mahasiswa cat feeder yang sulit untuk dinasihati. Apa yang terjadi kemudian? Kucing-kucing itu menjadi semakin agresif dan serakah.
Begitu melihat seseorang membuka bekal makanan, mereka langsung mengerubungi, meminta dengan cara yang sedikit brutal, bahkan tak jarang nekat mencuri. Mereka tidak lagi takut pada manusia, melainkan justru melihat manusia sebagai mesin penyedia makanan instan. Populasi mereka terus membengkak, seiring dengan jumlah cat feeder yang juga tak surut.
Saya sering kali hanya bisa menghela napas melihat bagaimana petugas kebersihan kampus harus bersusah payah mengusir mereka agar tidak mengacak-acak tempat sampah, atau membersihkan tumpukan kotoran yang ditinggalkan. Ini adalah pekerjaan ekstra yang tak terlihat, beban yang ditanggung oleh orang-orang yang seharusnya bisa fokus pada tugas utama mereka membersihkan kampus.
Sementara itu, para cat feeder tadi? Mereka hanya akan terus datang, "bertugas" memberi makan, seolah tugas mereka selesai sampai di situ. Hampir bisa dipastikan, mereka tidak akan pernah sudi membersihkan kotoran kucing yang notabene mereka beri makan.
Mereka hanya peduli pada aksi memberi makan itu sendiri, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang dan dampak buruk yang ditimbulkannya pada lingkungan dan orang lain. Bukankah ini sebuah bentuk tanggung jawab yang pincang?
Ini saatnya kita menggeser paradigma. Niat baik harus dibarengi dengan tindakan yang cerdas dan bertanggung jawab. Bukan dengan asal tabur makanan, tapi dengan upaya yang benar-benar memecahkan masalah, bukan malah menambahnya.
Pertama dan paling utama, stop memberi makan kucing sembarangan. Kedengarannya kejam? Tidak. Ini adalah langkah awal untuk memutus lingkaran setan ketergantungan dan ledakan populasi. Jika Anda benar-benar peduli, salurkan energi dan niat baik itu pada program yang terbukti efektif.
Dukung dan ikut serta dalam program Trap-Neuter-Return (TNR). Ini adalah metode yang paling etis dan efektif untuk mengelola populasi kucing liar. Kucing-kucing itu akan ditangkap, disterilkan (agar tidak bisa bereproduksi), divaksinasi untuk kesehatan mereka, lalu dikembalikan ke lingkungan asalnya, atau jika memungkinkan, dicarikan rumah baru.
Dengan TNR, kita mengendalikan populasi secara manusiawi, mengurangi risiko penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup mereka tanpa harus merugikan lingkungan sekitar.
Jika Anda punya kemampuan dan kesempatan, adopsilah satu atau dua ekor kucing yang Anda lihat. Berikan mereka rumah yang layak, makanan bergizi, dan perawatan medis yang memadai. Itu jauh lebih mulia daripada sekadar menyisakan remahan makanan di jalanan.
Christina Natalia Setyawati
S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung
Total Artikel 139